Kolom

Dan Lampu Stadion Pun Padam di Stadion Vicente Calderon

Lampu telah dipadamkan, gerbang stadion pun ditutup. Setelah lima puluh tahun tinggal di rumah yang nyaman, Atletico Madrid akhirnya mengucapkan selamat tinggal kepada Stadion Vicente Calderon.

Atletico Madrid akan segera pindah ke stadion baru yang lebih modern, bernama Stadion Wanda Metropolitano. Stadion baru ini merupakan aset yang didirikan pemerintah comunidad Madrid yang kemudian diakuisisi oleh grup bisnis Wanda Group dari Cina.

Sadar akan keharusan memberi kesan terakhir yang manis, Atleti mempertontonkan pertunjukan terakhir yang berkesan di Vicente Calderon. Mereka melumat Athletic Bilbao dengan skor 3-1, melalui dua gol Fernando Torres dan Angel Correa. Gol satu-satunya bagi lawan dicetak oleh Inaki Williams.

Correa boleh menjadi pencetak gol penutup sejarah stadion Calderon, tapi pusat perhatian sebenarnya adalah Fernando Torres. Gol-gol yang dicetak Pangeran Atleti mengingatkan kembali pada pembukaan stadion tersebut di tahun 1966

Sewaktu pertama kali diresmikan pada tahun 1966, stadion ini awalnya bernama Stadion Manzanares. Nama tersebut diberikan karena letak bangunan stadion yang tepat di bibir sungai Manzanares. Penamaan ‘Vicente Calderon’ barulah diberikan pada tahun 1972, diambil dari nama mantan presiden Atleti.

Dalam perjalanannya, Vicente Calderon menjadi tempat pelaksanaan berbagai pertandingan penting. Empat belas final Copa del Rey sudah terlaksana di stadion ini, termasuk akhir Mei 2017 nanti antara Barcelona melawan Alaves. Selain itu, Calderon juga pernah menjadi salah satu lokasi Piala Dunia 1982 sewaktu Spanyol menjadi tuan rumah.

Bukan hanya sekadar stadion

Selama lima dekade menjadi kandang Atletico Madrid, para Atleticos sudah melalui berbagai situasi suka maupun duka. Seolah melengkapi masa bulan madu, Atletico merayakan tiga gelar juara La Liga di dekade 1970-an. Setelah itu, mereka harus menunggu dua dekade hingga akhirnya kembali memboyong trofi La Liga ke Manzanares pada tahun 1996.

Jeda dua dekade mereka rasakan kembali sebelum akhirnya menjuarai trofil liga untuk pertama kalinya di era milenium, yaitu pada akhir musim 2013/2014 lalu. Meski demikian, cukup banyak pula trofi lain yang mereka nikmati, antara lain Piala Winners, Liga Europa dan Copa del Rey dalam lima dekade tersebut. Melihat gelimang trofi tersebut, siapa pun harus menyesal jika menggolongkan Atleti sebagai tim gurem.

Sayangnya, duka yang dialami para Atleticos di stadion bersejarah ini juga tidak sedikit. Pada tahun 1974, ketika Liga Champions masih bernama ‘European Cup’, Atletico Madrid menyingkirkan Glasgow Celtic di semifinal untuk melangkah ke pertandingan puncak. Di partai final yang berlangsung di Stadion Heysel, Brussels, Atleti tinggal menunggu peluit tanda pertandingan berakhir untuk mengangkat trofi bergengsi itu untuk pertama kalinya.

Sayang, lawan mereka, Bayern Muenchen, mencetak gol balasan di menit-menit akhir untuk memaksakan kedudukan imbang. Atleti pun menyerah di pertandingan ulang dan harus merelakan gelar klub terbaik Eropa jatuh ke tangan Bayern.

Sejarah sedih itu kembali berulang di tahun 2014, ketika Sergio Ramos mencetak gol di injury time ke gawang Atleti untuk memaksakan skor imbang. Real Madrid kemudian akhirnya keluar sebagai juara setelah memenangi babak perpanjangan waktu. Seolah penderitaan Atleti di Liga Champions tak berkesudahan, dua tahun kemudian mereka menyerah lagi di tangan rival sekota mereka itu melalui adu penalti.

Namun, esensi menjadi seorang Atleticos memang bukanlah gelar juara dan kejayaan. Setidaknya itulah filosofi mereka, menurut seorang suporter yang menulis spanduk besar ketika Atleti kembali kandas di tangan Real Madrid di semifinal Liga Champions 2016/2017 baru-baru ini. Apalah arti menjadi pemain terbaik dunia jika bermain sepenuh hati pun masih disiuli dan bahkan dihina-hina pendukung sendiri? Begitu sindiran seorang Atleticos kepada suporter dan (mungkin) pemain Real Madrid.

Magis Manzanares dan passion para Atleticos memang luar biasa. Mereka justru mencatat rekor rata-rata penjualan tiket tertinggi dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2002, justru pada saat mereka terpuruk di kasta kedua. Selain itu, di tahun 2016, tiga puluh ribu orang masih memadati Vicente Calderon untuk menyambut kepulangan pahlawan mereka, Fernando Torres, pada awal 2015. Padahal kita tahu bersama, reputasi Torres pada saat itu sedang berada di titik terendah setelah dianggap gagal di Chelsea dan AC Milan.

Sang kapten, Gabi Fernandez, sampai berujar, “Saya bangga menjadi bagian dari Atletico Madrid. Kebanggaan ini akan terus berlanjut kepada anak dan cucu saya.

Di pertandingan melawan Athletic Bilbao pada 21 Mei 2017, Atleticos pun mengucapkan salam perpisahan kepada Vicente Calderon dan Manzanares. Bahkan pada 27 Mei 2017, Paus Fransiskus dikabarkan akan ikut memberi doa perpisahan dari Vatikan bagi stadion penuh kenangan ini.

Selamat beristirahat, Vicente Calderon!

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.