Pada sebuah pertandingan musim 2006/2007 di Stadion Anfield, nyanyian dari pendukung Liverpool berkumandang, “We‘ve got the best midfield in the world. We’ve got Xabi Alonso, Momo Sissoko, (Steven) Gerrard and (Javier) Mascherano!” Namun, chants suporter The Reds kala itu dianggap manajer Rafael Benitez perlu penyempurnaan. Hingga akhirnya, datanglah gelandang muda asal Brasil, Lucas Leiva, pada musim panas 2007.
Kehadiran Lucas diharapkan bisa jadi pelapis yang perlahan menggantikan salah satu peran keempat gelandang utama Liverpool di starting eleven. Ekspektasi besar langsung diemban karena meski baru berusia 20 tahun, pemain yang kala itu identik dengan rambut gondrong tersebut, meraih banyak pencapaian prestisius bersama klub lamanya, Gremio.
Di klub asal Brasil itu, Lucas yang dipercaya menjadi kapten, berhasil mempersembahkan trofi Campeonato Gaucho atau juara liga kasta tertinggi wilayah Rio Grande do Sul dan titel Copa America U-20 2007 untuk timnas junior Brasil. Dirinya juga sukses bawa Gremio ke final Copa Libertadores sebelum dikandaskan Boca Juniors.
Ekspektasi pendukung Liverpool juga semakin besar mengingat Lucas merupakan sosok termuda yang pernah raih Pemain Terbaik Liga Brasil atau Bola de Ouro 2006. Gelar ini membuatnya sejajar dengan legenda Selecao semisal Zico, Romario, Robinho, dan Ricardo Kaka. Bayang-bayang skill menawan khas pesepak bola Brasil dinanti publik Anfield.
Kambing hitam di Anfield
Sayangnya, tak semuanya berjalan sesuai rencana. Setelah menjalani debut kontra Toulouse pada kualifikasi Liga Champions, Lucas sempat menyita perhatian pada derbi Merseyside, Oktober 2007. Awal tahun berikutnya, pemain kelahiran Dourados itu memang sukses mencatatkan gol pertama kontra Havant & Waterlooville di Piala FA, tetapi setelahnya tampak membingungkan baginya. Didapuk sebagai pelapis Gerrard dan Alonso, Lucas tampak kebingungan dan tak bisa jadi sosok metronom di lapangan tengah The Red.
Musim berikutnya bahkan terasa lebih buruk baginya. Lucas yang kembali ke Liverpool dengan medali perunggu Olimpiade 2008, jadi kambing hitam atas serangkaian hasil buruk Liverpool dan bahkan sempat mendapat cemoohan dari suporter sendiri. Permainannya dinilai kaku dan tak bisa menyesuaikan dengan ritme tim.
Meski demikian, pembelaan terus diberikan. Salah satu yang paling diingat adalah ketika Benitez menyebut tak semua orang tahu kehebatan sesungguhnya dari seorang Lucas. Ironisnya, dia malah tampil amat buruk di tiga laga selanjutnya. Padahal Liverpool tengah tampil apik dan jadi pesaing gelar Liga Primer Inggris bersama Manchester United.
Perlahan kepercayaan Benitez coba tak disia-siakan Lucas. Kerja keras dan dedikasinya pada Liverpool akhirnya berbuah hasil. Menariknya kebangkitan Lucas terjadi saat posisi Benitez tengah digoyang. Dia langsung didapuk mengisi pos yang ditinggal Alonso. Cedera yang terus dialami sang pengganti, Alberto Aquilani, turut memainkan peran.
Musim 2009/2010 jadi titik balik karier Lucas di Liverpool. Pemain bernama lengkap Lucas Pezzini Leiva itu jadi gelandang bertahan andalan The Reds. Keahliannya sebagai gelandang yang bergerak box-to-box juga mulai terlihat. Saat Gerrard mendikte permainan, Lucas jadi jaminan pelindung untuk back four The Anfield Gank.
Kecemerlangan Lucas berlanjut meski Benitez diganti Roy Hodgson hingga Kenny Dalglish. Dia terus jadi pilihan utama meski Liverpool baru saja mendatangkan gelandang anyar, Christian Poulsen. Hingga akhirnya, Lucas diberi gelar Pemain Terbaik Liverpool 2010/2011.