Di banyak negara Eropa, stadion sepak bola kerap kali berubah fungsi dari sekadar arena pertandingan menjadi sebuah teater yang memanggungkan kebencian. Kebencian yang saya maksud bukanlah rivalitas dua kubu yang bertanding di atas rumput hijau atau dua kubu suporter yang berbeda jagoan. Melainkan penghinaan yang dilakukan sekelompok orang dalam wujud rasisme.
Baru-baru ini di Italia, gelandang asal Ghana yang membela Pescara, Sulley Muntari, mendapat perlakuan sangat buruk dari suporter Cagliari saat kedua tim bersua di Stadion San’t Elia (30/4) dalam lanjutan Serie A musim 2016/2017 pekan ke-34. Sang pemain dihujani cemoohan tifosi Gli Isolani.
Ironisnya, disebutkan bahwa pelaku rasis dalam pertandingan itu tak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak. Kenyataan ini jelas semakin mencoreng wajah sepak bola Italia yang begitu sering didera problem seperti ini. Berbagai kampanye untuk menentang rasisme yang dilakukan oleh federasi sepak bola Italia (FIGC), termasuk dengan cara menggandeng pemerintah, seolah masih jauh panggang dari api.
Di sepanjang pertandingan tersebut, Muntari yang turun membela panji I Delfino sejak sepak mula, secara konstan mendapat perlakuan tidak etis. Bagi pesepak bola manapun, selain mengganggu konsentrasi saat berlaga, situasi macam itu juga melukai martabat mereka sebagai manusia mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Terlebih, pelaku kejahatan ini adalah anak-anak yang sepantasnya datang ke stadion buat mendukung pemain dan kesebelasan idola sekaligus mencari kegembiraan hakiki.
Sebagai upaya menghentikan tindakan rasis tersebut, Muntari sampai mendatangi tribun di mana tifosi Cagliari, khususnya anak-anak itu, berada kala turun minum. Dirinya menawarkan kostum yang dikenakannya supaya mereka menghentikan perbuatan tidak terpujinya. Sialnya, usaha eks penggawa AC Milan dan Internazionale Milano itu tak membuahkan hasil.
Ketika peluit babak kedua dibunyikan, cemoohan dan siulan terhadapnya kembali menggema dari salah satu tribun Stadion San’t Elia. Kondisi inilah yang membuat Muntari melakukan protes kepada wasit agar mengambil tindakan atas apa yang terjadi padanya. Seperti yang tercantum dalam aturan FIFA, wasit memang berhak untuk menghentikan pertandingan andai terdapat sesuatu yang mengganggu jalannya laga, salah satunya tentu tindakan rasisme.
Namun nahas, bukannya mendapatkan keadilan, hal itu justru membuat Muntari dihadiahi kartu kuning oleh Daniele Minelli, wasit di laga tersebut. Tanpa tedeng aling-aling, pemain berumur 32 tahun itu pun langsung melangkah ke luar lapangan alias walk out.
Bila mengacu pada aturan pertandingan resmi, keputusan walk out yang dilakukan pesepak bola seperti Muntari memang tidak bisa dibenarkan. Tapi demi keadilan yang seharusnya dia peroleh, apa yang diperbuat pemain bernomor punggung 13 itu sama sekali tidak salah. Menurut saya, Muntari berbuat demikian untuk mempertahankan martabatnya sebagai manusia, bukan karena ego semata.
Walau menimbulkan pro dan kontra, langkah walk out yang dilakukan oleh Muntari mendapat apresiasi dari legenda hidup Juventus, Alessandro Del Piero.
“Muntari menghadapi situasi ini dengan cara yang brilian. Dirinya memberi contoh sempurna kepada kita semua tentang bagaimana mengatasi persoalan serupa di masa yang akan datang. Muntari telah melakukan hal yang benar”, pungkas Del Piero seperti dikutip dari ItalianFootballTV.
Seperti yang telah saya paparkan di bagian sebelumnya, kasus-kasus rasisme di sepak bola Italia adalah hal yang lazim terjadi. Para pendukung AC Milan sudah pasti ingat tentang hinaan yang dialamatkan kepada dua mantan pemain mereka, Kevin Constant dan Kevin-Prince Boateng, beberapa waktu lalu. Sebagai bentuk protes, kedua figur pesepak bola dari benua Afrika itu pun memilih untuk walk out.
Penyerang tim nasional Italia yang punya darah Ghana, Mario Balotelli, jadi salah satu target langganan tifosi di Negeri Pizza untuk dicemooh akibat warna kulit yang berbeda. Tak peduli bahwa Super Mario, julukan Balotelli, memiliki jasa cukup besar bagi timnas Italia.
Sejumlah klub juga sering mendapat sanksi dari FIGC akibat perilaku rasisme yang ditunjukkan oleh suporternya. Misalnya saja suporter AC Milan, AS Roma, Internazionale Milano dan Lazio. Bentuk hukuman yang diberikan FIGC umumnya berupa denda uang atau laga tanpa penonton.
Tragisnya, tindakan rasisme di Italia tak hanya dilakukan oleh suporter saja, beberapa pemain profesional yang merumput di Italia juga kedapatan berbuat rasis. Antara lain Senad Lulic (Lazio) yang pernah menyebut Anthony Rudiger (AS Roma) sebagai penjual kaus kaki dan sabuk di kota Stuttgart. Ucapan Lulic itu mengacu pada banyaknya masyarakat Afrika yang datang ke benua Eropa lalu menjadi pedagang kaki lima guna menyambung hidup.
Kejadian sejenis juga pernah dilakukan oleh gelandang Napoli yang sekarang dipinjamkan ke Atalanta, Alberto Grassi, beberapa tahun lalu. Saat itu dirinya menyebut salah seorang pemain Hellas Verona, Salifu Alimeyaw, sebagai ‘vu’cumpra’. Secara harfiah, kata tersebut bermakna pedagang kaki lima.
Sedikit trivia, pelatih legendaris AC Milan di era 1990-an, Arrigo Sacchi, beserta mantan presiden klub tersebut yang pernah pula menjabat sebagai perdana menteri Italia, Silvio Berlusconi, dan juga presiden FIGC sejak tahun 2014, Carlo Tavecchio, bahkan pernah tersandung masalah rasisme.
Apa yang dilakukan Lulic dan Grassi membuat FIGC melayangkan hukuman larangan bertanding selama beberapa pekan terhadap keduanya. Tapi kenyataannya, bentuk sanksi semacam ini atau seperti yang diterima klub-klub dalam penjelasan saya di paragraf sebelumnya sama sekali tak menghadirkan efek jera.
Masih maraknya kasus rasisme di Italia, memang membutuhkan penanganan khusus. Diperlukan cara-cara yang lebih preventif guna menekan atau bahkan melenyapkan perbuatan tak terpuji yang satu ini. Sanksi berupa denda uang, laga tanpa penonton atau larangan bermain takkan membuat para pelakunya sadar dan berhenti melakukannya.
Eks pelatih AC Milan yang kini menukangi Juventus, Massimiliano ‘Max’ Allegri pernah mengutarakan pendapatnya soal rasisme di sepak bola Italia. Menurutnya, perlu aksi nyata guna mengatasi problem ini.
“Jika tindakan biadab itu terjadi berulang-ulang di stadion. Maka harus ada langkah tegas yang diambil. Salah satunya dengan membatalkan pertandingan, menangkap sang pembuat onar dan melarangnya hadir di stadion untuk selama-lamanya. Pelaku rasis tak pantas mendapatkan hiburan seindah laga sepak bola. Walau hal tersebut bakal mendapat tentangan dari banyak pihak, namun membersihkan stadion dari aroma rasis adalah keharusan”, terang Allegri seperti dikutip dari Daily Mail.
Potret buram rasisme di Italia sendiri tak hanya ada di dunia sepak bola. Beberapa tahun silam, seorang wanita Italia keturunan Afrika bernama Cecile Kyenge yang jadi salah satu menteri dalam kabinet pemerintahan perdana menteri Enrico Letta (2013-2014), juga menjadi sasaran rasisme.
Adalah dedengkot Partai Lega Nord (salah satu partai pendukung Silvio Berlusconi sekaligus penganut paham anti-semitisme dan anti-imigran), Roberto Calderoli, yang kala itu menyebut Kyenge selalu mengingatkannya pada, maaf, orangutan.
Rasisme adalah persoalan klasik di tanah Italia, yang kabarnya lahir sejak pemimpin fasis berjuluk Il Duce, Benito Mussolini, mulai berkuasa. Namun yang pasti, sebagai umat manusia yang diberkahi akal dan hati nurani, membeda-bedakan satu dan lainnya cuma karena warna kulit merupakan perbuatan biadab dan keji.
Di bidang apapun, terlebih di sepak bola, rasisme adalah sesuatu yang wajib dibumihanguskan kini dan nanti!
#SayNoToRacism
Author: Budi Windekind
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional