Eropa Italia

Pledoi dari Mbah Budi untuk Mauro Icardi

Menyaksikan laga Fiorentina versus Internazionale Milan pada Minggu dinihari (23/4) kemarin bikin saya, untuk kali kesekian, geleng-geleng kepala. Laga yang berkesudahan dengan skor 5-4 itu sama sekali tak mencerminkan pertandingan antara dua klub dengan nama besar. Masing-masing kubu begitu konsisten membuat kesalahan elementer, khususnya dalam fase bertahan, yang merugikan diri mereka sendiri.

Tanpa bermaksud mengecilkan, ketika menonton laga tersebut saya seperti melihat sebuah laga di Go-Jek Traveloka Liga 1 atau bahkan Indofood Liga 2. Karena apa yang ditampilkan Davide Astori dan kawan-kawan di barisan belakang Fiorentina maupun Joao Miranda dan kolega di sektor pertahanan Inter, keduanya sama-sama komikal.

Mereka tidak terlihat seperti pemain profesional kelas dunia dengan gaji menjulang, malah lebih mirip pemain-pemain amatir yang bermain sepak bola hanya sekadar untuk bersenang-senang.

Dari sekian nama yang menyeruak pada laga tersebut, atensi saya kembali dicuri oleh kapten kesebelasan Inter asal Argentina, Mauro Icardi. Pasalnya, penyerang bernomor punggung sembilan itu berhasil menciptakan tripletta alias tiga gol walau tak mampu menolong La Beneamata dari kekalahan. Alhasil, posisi Inter stagnan di peringkat tujuh klasemen sementara sekaligus memperkecil peluang lolos ke Eropa musim depan.

Tiga gol yang ditorehkan Icardi kemarin malam menggenapi ukiran golnya di Serie A musim 2016/2017 (sampai pekan ke-33) menjadi 24 gol. Siapapun pasti menyadari, mencetak gol sebanyak itu di belantara Serie A bukanlah perkara mudah. Hanya penyerang buas dan berkualitas yang sanggup melakukannya.

Situasi ini juga membuat Icardi kini hanya berselisih satu gol dari Andrea Belotti (Torino) dan Edin Dzeko (AS Roma) yang berbarengan memuncaki daftar capocannoniere alias pencetak gol terbanyak Serie A 2016/2017.

Walau pencapaian pribadinya itu tergolong ciamik, nyatanya oleh sebagian Interisti, sosok berusia 24 tahun tetap konsisten dikritik. Dirinya hanya dianggap sebagai penyerang yang brilian namun bukan kapten yang hebat semisal Giuseppe Bergomi atau Javier Zanetti.

Harus diakui memang jika selama ini Icardi begitu akrab dengan kontroversi. Dirinya pernah tersandung kasus cinta segitiga dengan eks rekan satu tim di Sampdoria sekaligus kawan baiknya, Maxi Lopez. Icardi dianggap sebagai sosok benalu yang merusak rumah tangga Maxi dan Wanda Nara. Nama yang disebut terakhir bahkan kini telah resmi menjadi pasangan hidup Icardi selepas bercerai dengan Maxi.

Di sisi lain, Interisti mungkin masih geram dengan keculasan yang dilakukan Wanda sebagai agen Icardi dengan meminta kenaikan gaji pada musim panas 2016 kemarin walau setahun sebelumnya, Icardi telah meneken kontrak baru dengan nominal gaji yang juga lebih tinggi.

Pun begitu dengan konflik yang sempat dialami Icardi dengan Curva Nord Inter, ultras fanatik La Beneamata, terkait isi otobiografinya yang beberapa waktu lalu dianggap menghina Curva Nord Inter. Wajar bila kemudian Icardi dicap sebagai pribadi yang bengal.

Dengan serentetan kasus seperti itu, Icardi dirasa bukan sosok yang pantas untuk dijadikan kapten. Karena bagaimanapun juga, mereka yang menyandang status ini biasanya sosok yang berwibawa dan dihormati di ruang ganti. Sementara Icardi belum sampai di level tersebut sehingga kepemimpinannya diragukan, khususnya dalam mengayomi dan mengangkat moral rekan-rekannya saat dalam kondisi terpuruk.

Akan tetapi, anggapan semacam ini bisa dengan mudah disanggah. Tak percaya? Mari kita tengok jabatan kapten tim nasional Portugal yang dipegang oleh Cristiano Ronaldo sejak tahun 2008 silam. Siapa yang tak kenal dengan perangai sosok yang satu ini. Dirinya adalah megalomaniak sejati dengan ego setinggi langit.

Namun mengapa Fernando Santos tetap mempertahankan lelaki pesolek itu sebagai kapten? Salah satu alasannya tentu akibat konsistensi permainan dan kemampuannya yang di atas rata-rata pemain Portugal yang lain. Dengan kata lain, Santos berharap jika pemain-pemain Seleccao Das Quinas, julukan Portugal, bisa terpacu dan sanggup mengimbangi level permainan sang kapten.

Saya pribadi merasa penunjukan Icardi oleh Roberto Mancini yang jadi pelatih Inter di musim 2015/2016 lalu untuk memegang ban kapten, punya kemiripan dengan langkah yang dipertahankan Santos di timnas yang jadi kampiun Piala Eropa 2016 tersebut.

Jangan buru-buru menyanggah dengan menyebut Icardi kurang banyak terlibat dalam permainan atau tidak konsisten bahkan sejak Inter ditangani oleh Walter Mazzarri di musim 2013/2014 silam. Anda, para Interisti yang budiman, boleh saja pro ataupun kontra dengan apa yang saya utarakan.

Tapi coba diingat-ingat sekali lagi, meski tak banyak terlibat dalam permainan dan tidak konsisten, siapa sosok yang paling rajin menggelontorkan dua digit gol buat Inter selama tiga musim terakhir di saat kondisi tim begitu kacau balau?

Anda boleh menyebut Icardi belum cukup dewasa, terlebih dengan Wanda Nara sebagai partner in crime-nya. Namun apa yang diperlihatkan sosok asal Argentina ini bagi Inter, sesungguhnya telah menunjukkan bahwa dirinya sangat layak mengenakan seragam biru-hitam sekaligus menyandang ban kapten.

Apalagi di pagelaran Serie A 2016/2017 kal ini, Icardi juga berkontribusi lebih bagi gol-gol yang sukses dibuat Inter dengan menciptakan asis sebanyak delapan buah (masih berpotensi untuk bertambah di sisa musim). Ketajamannya terjaga namun tak selalu egois kala melihat kans yang dimiliki rekannya lebih terbuka untuk mencetak angka.

Sebagai kapten, Icardi memang punya kewajiban untuk bisa mengangkat moral kawan-kawan satu timnya. Dan hal itu sudah ditunjukkannya di atas lapangan dengan gol dan asis yang dibukukannya. Jujur saja, agak ngeri bagi saya untuk berandai-andai Icardi yang seorang penyerang begitu mandul di depan gawang lawan. Hujatan macam apa yang kira-kira bakal dilontarkan Interisti jika itu terjadi? Karena dengan kontribusi maksimal seperti sekarang pun dirinya masih kerap dicaci.

Sungguh terlalu naif bila menyebut persoalan mentalitas skuat semacam ini mutlak jadi tanggung jawab Icardi. Karena pemain-pemain Inter yang lain, utamanya di dalam diri masing-masing, juga punya andil atas bobroknya mentalitas tim ini.

Melihat ekspresi Icardi yang begitu datar meski sukses menciptakan tripletta saat bertemu Fiorentina kemarin adalah hal yang ironis. Akan tetapi, ada hal yang lebih ironis bagi saya pribadi.

Entah sedang menerapkan standar ganda layaknya berpolitik atau apa, Interisti yang mati-matian meminta Gabriel Barbosa diturunkan karena dirasa punya kemampuan ciamik justru alpa memberi pujian bagi kapten mereka yang performanya begitu konsisten dan luar biasa di tengah amburadulnya klub kesayangan mereka.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional