Sebagai tim yang tak pernah absen dalam sebelas pagelaran terakhir Piala Dunia, kegagalan lolos ke Rusia 2018 akan jadi titik nadir baru bagi timnas Argentina. Sulit dibayangkan pesta sepak bola sejagat tanpa kehadiran Albiceleste. Namun faktanya adalah peluangnya kini sama besar.
Tak mudah membangun semua dari awal, terlebih setelah kembali kalah oleh lawan dan di panggung yang sama. Cile kembali merobek harapan Argentina di final Copa America, kali ini edisi Centenario 2016. Imbasnya terasa masif, pelatih Gerardo ‘Tata’ Martino’ tak lagi menukangi tim, sementara Lionel Messi secara mengejutkan memutuskan untuk pensiun dari sepak bola internasional.
Asa mulai kembali dibangun saat Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA) menunjuk sosok yang sebenarnya masih asing di telinga, Edgardo Bauza. Namun, kehadirannya cukup membuat Messi urungkan niat dan langsung jadi penentu kemenangan pada laga debut sang pelatih melawan Uruguay.
Sayangnya, bulan madu Bauza dan timnas Argentina tak bertahan lama. Empat laga selanjutnya, Angel Di Maria dan kawan-kawan tak pernah menang. Ini termasuk kekalahan memalukan tiga gol tanpa balas atas rival utama, Brasil. Kala itu, keyakinan terhadap Bauza cukup dijaga mengingat kebangkitan instan saat menang meyakinkan atas Kolombia, beberapa hari berselang.
Asa publik Argentina mulai meninggi ketika misi revans atas Cile berjalan sukses lewat gol tunggal Messi. Namun, kekalahan atas Bolivia pada akhir bulan lalu seakan jadi ketok palu untuk karier kepelatihan singkat Bauza di Albiceleste. Setelah delapan laga menangani tim dan hanya meraih tiga kemenangan, pelatih 59 tahun itu dipaksa lengser dari posisinya.
Membedah kompleksitas
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di timnas Argentina? Sebenarnya, tiga final dalam tiga tahun terakhir bukanlah pencapaian yang buruk. Bahkan Albiceleste tercatat hanya kalah lewat babak perpanjangan waktu dan dua drama adu penalti. Mungkin hanya kurang beruntung saja.
Akan tetapi, timnas Argentina sebenarnya punya bom waktu yang kini siap meledak. Jika menilik benang merah pada permasalahan yang terjadi saat ini, jawabannya adalah Lionel Messi. Ketergantungan pelatih mulai dari Martino sampai Bauza kepada pemain berjuluk La Pulga ini sedikit banyak malah merugikan timnas Argentina.
Lihat saja statistiknya di mana ketika Messi absen dalam delapan laga yang mayoritas karena cedera, Argentina hanya mampu menang sekali. Bandingkan saat kapten Barcelona itu tampil, Albiceleste menang lima kali dari enam pertandingan. Menghilangkan Messi-dependencia bakal jadi pekerjaan berat bagi setiap pelatih yang akan ditunjuk menangani tim.
Ketergantungan terhadap Messi juga tak lepas dari menurunnya performa pemain lain. Angel Di Maria yang diharapkan bisa jadi alternatif lini depan, terlihat lebih banyak menggiring bola dan melakukan tembakan tak terarah. Begitu pula dengan Paulo Dybala, yang belum mampu menduplikasi penampilan di klub dengan saat membela timnas.
Satu permasalahan akut lainnya adalah regenerasi. Sejak tak pernah lagi menjuarai Piala Dunia junior, bakat muda Argentina juga mulai patut dipertanyakan. Saat ini saja Albiceleste masih mengandalkan para pemain yang usianya hampir atau di atas kepala tiga.
Seperti diketahui Argentina masih terus memercayakan tempat inti untuk duo gelandang senior, Javier Mascherano dan Lucas Biglia, sebagai penghubung lini belakang dan depan. Di jantung pertahanan, Nicolas Otamendi akan memasuki usia 30 tahun pada 2018 mendatang, setali tiga uang dengan Di Maria dan Gonzalo Higuain.
Revolusi atau hancur
Selepas pemecatan Bauza, AFA bergerak cepat mencari suksesornya. Dua nama diapungkan, Diego Simeone yang kini mengarsiteki Atletico Madrid, atau Jorge Sampaoli yang berstatus pelatih Sevilla. Belakangan, nama terakhir santer dikabarkan bakal kembali ke Argentina setelah memastikan membawa Sevilla mampu lolos ke Liga Champions Eropa musim depan.
Akan tetapi sebesar apapun reputasi Sampaoli, timnas Argentina perlu penanganan segera. Messi dan kolega kini terdampar di posisi kelima klasemen sementara atau satu strip di bawah slot lolos otomatis ke Piala Dunia 2018 dan terancam oleh Ekuador yang hanya berselisih dua poin.
Alhasil laga berikutnya melawan Uruguay pada akhir Agustus 2017 nanti jadi penentuan langkah Argentina selanjutnya. Satu bulan sebelumnya, Albiceleste punya kesempatan menjajal tim lewat dua rencana uji coba melawan Brasil di Australia dan konon kabarnya, timnas Indonesia. Pertandingan yang pantang untuk dilewatkan Sampaoli atau siapapun pelatih Argentina nantinya.
Alasannya, momen ini juga bisa jadi trial bagi tim untuk tampil tanpa kehadiran Messi di atas lapangan menyusul sanksi larangan bermain empat laga yang diterima usai perilakunya terhadap pengadil pada pertandingan kontra Cile. Partai uji coba juga jadi sarana pas dalam memainkan para pemain muda dan memulai regenerasi tim, kecuali jika ada kesepakatan sponsor.
Meski berada pada posisi yang mengkhawatirkan bagi tim sekaliber Argentina, segalanya belum berakhir. Masih ada empat laga pamungkas yang bisa dimenangkan guna menyegel tiket ke Rusia tahun depan.
Performa jeblok Uruguay usai kalah tiga kali beruntun harus dimanfaatkan Argentina. Tiga pertandingan sisa melawan tim di bawahnya, Venezuela, Peru, dan Ekuador, juga wajib hukumnya disapu bersih.
Kalau ingin membuat karier internasional Messi menjadi cerah dan mengembalikan kebahagiaan publik Argentina usai tiga final yang menyedihkan tiga tahun terakhir, AFA harus benar-benar jeli menentukan nakhoda paling tepat untuk menyelamatkan masa depan kekuatan klasik di sepak bola dunia ini.
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho