Minggu siang tak pernah terasa secerah itu bagi publik Amsterdam Arena. Harapan yang mulai pupus seiring selisih enam poin dengan Feyenoord Rotterdam di puncak klasemen Eredivisie, sukses kembali ditumbuhkan Ajax Amsterdam. Kemenangan pada laga sarat gengsi bertajuk De Klassieker jadi momentum sempurna pertaruhan asa De Godenzonen musim ini.
Tiga pekan berikutnya Ajax tampil perkasa dengan menyapu bersih kemenangan berkat parade 14 gol. Sementara Feyenoord, tertahan di markas PEC Zwolle pada speelronde 30. Asa Ajacied mulai kembali terangkat mengingat selisih dengan Feyenoord di puncak klasemen tinggal satu poin dimana Eredivisie hanya menyisakan tiga pertandingan lagi.
Pekan selanjutnya, Kasper Dolberg dan kawan-kawan bakal menjalani laga final sesungguhnya, menghadapi PSV Eindhoven di kandang lawan. PSV yang secara matematis masih berpeluang juara, dipastikan bakal memberikan perlawanan alot. Sementara dua partai pamungkas mempertemukan Ajax dengan tim juru kunci, Go Ahead Eagles dan Willem II Tillburg, seraya menanti kejatuhan Feyenoord.
Kini, harapan suporter De Godenzonen dipertaruhkan pada tim asuhan Peter Bosz yang sejauh ini mengusung sepak bola menyerang nan atraktif yang terinspirasi dari legenda terbesar sepak bola Belanda, The Phytagoras in Boots, Johan Cruyff.
Transformasi tak terduga
Kilas balik sejenak ke musim panas tahun lalu, suporter Ajax dibuat ketar-ketir akan suksesor pelatih Frank de Boer yang memilih hijrah ke Internazionale Milan. Setelah sukses meraih empat titel Eredivisie beruntun, de Boer meninggalkan beban berat untuk penggantinya mengingat dalam dua musim terakhir, gelar harus direlakan ke tangan PSV.
Publik Amsterdam semakin gelisah setelah mendengar kabar bahwa pihak klub resmi menunjuk pelatih yang sedang berkarier di Liga Israel, Peter Bosz, untuk jadi arsitek tim dengan masa kontrak tiga tahun. Sontak banyak pertanyaan timbul, bagaimana reputasi Bosz? Dan terpenting, apakah dia punya kapabilitas untuk bawa Ajax bangkit
Satu yang pasti, sejauh ini manajemen Ajax tak salah dalam memilih pelatih. Bosz ternyata merupakan penerus ideal atas permainan atraktif yang dibangkitkan De Boer.
Spesifiknya, pelatih yang memulai kariernya di AGOVV Apeldoorn ini punya filosofi serupa legenda Ajax dan timnas Belanda, Johan Cruyff. Label yang diberikan jurnalis Inggris, David Miller terhadap Cruyff, Phytagoras in Boots, benar-benar diaplikasikan Bosz ke Ajax.
Phytahoras in Boots, merujuk pada gaya permainan Cruyff yang progresif dan penuh inteligensi, dengan jeli memanfaatkan ruang dan sudut sempit di lapangan. Akurasi umpan juga jadi pokok penting dalam filosofi ala Cruyff. Satu lagi, kualitas permainan juga amat diperhatikan, selain hasil akhir.
“Jika ada orang yang pantas menjadi suksesor filosofi Cruyff, dia adalah Peter Bosz. Dia tipe pelatih yang merasa lebih baik menang 5-4 ketimbang 1-0. Ya, dia memang keras kepala,” sebut eks Direktur Teknik AGOVV, Huib Rouwenhorst kepada Benefoot.
Bosz memang tak pernah ditangani langsung oleh Cruyff. Namun, dia dan saudaranya kerap datang ke Amsterdam hanya untuk menyaksikan pertandingan sang maestro, yang lantas membuatnya terinspirasi.
Musim ini, Bosz tampak melengkapi apa yang dirasa kurang dari strategi De Boer dalam dua musim terakhir: Kualitas individu pemain. Meski ditinggal banyak pemain inti semisal Arkadiusz Milik, Jasper Cillessen, hingga Anwar El Ghazi, Ajax tetap mampu bangkit.