Saat terakhir kali mengalami masa kejayaannya, Anda bisa bertanya kepada para penggemar AC Milan, siapa pemain yang paling memikat hati mereka. Mayoritas mungkin akan menyebut nama Andrea Pirlo, sang terbuang saat di Internazionale, yang justru menjelma menjadi sang metronom permainan Rossoneri. Atau siapa pula yang tak terkenang akan kepemimpinan Ricardo Kaka, gelandang serang elegan, yang menjadi pemenang Ballon d’Or 2007, sebelum akhirnya persembahan itu melulu didominasi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo?
Di sektor juru gedor, Andriy Shevchenko dan Filippo Inzaghi menjadi penghias hari-hari Milanisti yang mengharap kembalinya kejayaan klub pujaan. Di aspek yang paling identik dengan tim Serie A pun, aspek pertahanan, orang akan terkenang dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, serta gelandang beringas, Gennaro Gattuso.
Ada satu nama penting, yang jarang didendangkan, padahal ia menempati posisi kunci dalam trio gelandang poros permainan AC Milan. Dialah Clarence Seedorf, pemain Belanda berdarah Suriname yang juga pernah menjadi pelatih klub hitam-merah tersebut.
Seedorf mencatatkan namanya di blantika sepak bola bersama generasi emas Ajax Amsterdam yang menjuarai Liga Champions pada 1994/1995. Umurnya baru 19 waktu itu. Ditangani oleh Louis van Gaal, Seedorf menjadi poros dari tim yang terdiri dari perpaduan bakat muda dengan pemain berpengalaman seperti Frank Rijkaard.
Sebelum malam yang menjadi kejayaan terakhir klub Belanda di Eropa tersebut, bakat Seedorf telah diendus Real Madrid empat tahun sebelumnya. Umurnya baru 15 saat itu. Menurut pengakuannya kepada FourFourTwo, keputusan tersebut ia yang ambil sendiri, tanpa ikut campur orangtuanya. Sikap yang sama dapat kita petik ketika ia terus setia membela Milan, yang ia bela selama satu dasawarsa.
Sayang, Seedorf tidak berposisi sebagai pendulang gol. Ia juga bukan bek tangguh yang siap meladeni penyerang-penyerang lawan dengan tekel-tekel keras. Seedorf terus berada di Milan, sampai klub tersebut mengalami masa-masa kelam seperti saat ini. Keputusan yang membuat namanya identik dengan penampilan loyo dan terpaan cedera.
Ia bukan Maldini, bukan Pirlo, bukan pula Gattuso. Ialah Seedorf, putra pasangan imigran Suriname yang menjadi penerus jejak Frank Rijkaard dan Ruud Gullit: darah Suriname yang menjadi pewarna sepak bola Belanda. Mengenai dua nama terakhir, tentu kita akan lagi-lagi menafikan Seedorf: kiprahnya bersama tim kincir angin tak begitu menjulang.
Pemain yang mengidolakan Rijkaard ini dengan berani menerima pinangan Sampdoria, setelah menjalani musim gemilang bersama “The Dream Team” Ajax. Mengenai Rijkaard, ia mengaku bahwa saat masih bocah, ia memiliki target untuk melebihi pencapaian sang idola yang telah merengkuh dua gelar Piala Champions.
“Saat itu (waktu berumur 14 tahun), saya sudah bermimpi untuk memenangi Liga Champions sampai tiga kali. Idola saya, Frank Rijkaard, waktu itu telah memenanginya sebanyak dua kali, maka saya ingin melebihi pencapaiannya,” katanya kepada Guardian (14/2/2010). Rijkaard juga telah memenangi tiga trofi si Kuping Besar, tetapi Seedorf memenanginya bersama tiga klub berbeda: Ajax (1995), Real Madrid (1998), dan Milan (2003 dan 2007).
Kepribadian adalah salah satu karakteristik terkuat Seedorf. Bruno de Michelis, psikolog yang menanganinya saat di Milan menjelaskan hal ini. “Seedorf berbicara seperti pemain 10%, seperti pelatih 70%, dan layaknya manajer perusahaan 20%.” De Michelis juga menguatkan pendapatnya dengan sebuah ilustrasi. Seorang pemain sepak bola akan menuruti titah sang pelatih, bahkan jika pelatihnya menyuruh untuk membuang tahi di lapangan. Tetapi seorang Seedorf akan menuntut sang pelatih untuk lebih memperjelas instruksi, “Anda maunya tahi kami berwarna apa?”
Karakteristik blak-blakan ini mungkin menjadi atribut yang membuatnya mampu menjalani karier secara gemilang, meski berada di klub besar dan ditangani pelatih-pelatih kawakan seperti Fabio Capello, Carlo Ancelotti atau Sven Goran Eriksson. Bandingkan dengan pemain berdarah Suriname seangkatannya, Patrick Kluivert, yang gagal meneruskan sinar harapan di lanjutan kariernya.
Seedorf tidak seperti Gullit, yang menjadi representasi sepak bola seksi, lewat skill aduhai. Ia juga bukan Dennis Bergkamp, yang meski gagal di Inter Milan, lantas menjadi simbol kebangkitan Arsenal dan sepak bola cantiknya. Seedorf bukanlah pemain yang sering mendapat elu-elu dan taburan konfeti.
Setelah mengabdi untuk Milan, pemain yang dulu identik dengan rambut gimbalnya ini memilih untuk berlabuh ke klub Brasil, Botafogo. Belum pernah menapaki karier sebagai pelatih ataupun asisten, Seedorf memilih menerima undangan Silvio Berlusconi untuk menggantikan Max Allegri.
Ditambah prestasi buruk Milan, Berlusconi tak cukup memiliki kesabaran dan lantas memecat Seedorf saat ia belum setengah tahun menangani mereka. Mungkin ini pula yang membuat nama Seedorf seperti tenggelam. Ia justru lebih identik dengan masa-masa suram, selain juga posisi bermainnya yang bukan favorit para penggemar.
Hari ini, sang pemain berulang tahun ke-41. Meski bukan tipe pemain yang bisa dijadikan poster atau pin-up penghias kamar para penggemar, peran Seedorf begitu besar bagi Milan.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com