Turun Minum Tribe Travel

Cerita Kehangatan Sepak Bola dari Sarajevo

“Apa? Kamu lagi di Sarajevo?”

Itu reaksi pertama ayah saya ketika saya berbicara dengannya di telepon. Saya langsung was-was, apakah dia akan mengkhawatirkan keselamatan saya, mengingat bagi banyak orang, memori tentang Sarajevo yang membekas adalah masa-masa perang.

“Jangan lupa datang ke Masjid Soeharto, ya!” sambung ayah saya di telepon. “Hah?” saya langsung mengira saya salah dengar. “Iya, di Bosnia ada Masjid Soeharto. Namanya begitu karena itu hadiah pemerintah Indonesia sewaktu Bosnia dilanda perang,” pungkas ayah saya di telepon yang tentu saja menggugah rasa ingin tahu saya

Keesokan harinya, saya langsung mencari lokasi ‘Masjid Soeharto’ di Google Map. Ternyata masjid yang dimaksud bernama asli ‘Masjid Istiqlal’. Nama itu dipilih karena menyesuaikan dengan nama masjid besar di Jakarta. ‘Istiqlal’ sendiri mengandung arti ‘kemerdekaan’.

Mungkin sewaktu menghadiahkan masjid tersebut bagi rakyat Bosnia, Presiden Soeharto mendoakan negara Balkan tersebut segera merdeka dari perang berkepanjangan. Meski demikian, pembangunan masjid Istiqlal Sarajevo sempat terhenti seiring lengsernya Soeharto dari jabatan presiden. Masjid itu baru bisa diresmikan oleh Presiden Megawati pada tahun 2001.

Saya akhirnya tiba di ‘Masjid Istiqlal’ yang juga disebut ‘Masjid Soeharto’ oleh beberapa kalangan, termasuk orang-orang Bosnia sendiri. Penjaga masjid memanggil saya dan istri saya yang tadinya hanya foto-foto di luar masjid. Ia menyuruh kami untuk masuk, dan saya pun mengagumi keindahan masjid tersebut dari dalam ruangan.

Masjid Istiqlal yang juga disebut ‘Masjid Soeharto’. Kredit: Penulis

 

Desain interior masjid Istiqlal memang berbeda dengan masjid-masjid kebanyakan di Eropa, yang sebagian besar merupakan peninggalan Kerajaan Ottoman pada sekitar abad ke-12 hingga 15. Masjid Istiqlal lebih terlihat seperti sebuah masjid Indonesia, baik terlihat dari luar maupun di dalamnya. Sebuah kubah bundar terlihat jelas diapit oleh dua menara, dengan cat bernuansa biru muda dominan di tembok luar.

Setelah puas berfoto sebagai bahan laporan untuk ayah saya, kami pun keluar dari masjid. saya langsung menyadari bahwa tepat di seberang masjid tersebut terdapat sebuah fasilitas stadion sepak bola. Stadion tersebut memang bukan Stadion Asim Ferhatovic, yang menjadi stadion nasional dan kandang klub bersejarah, FK Sarajevo.

Stadion di tepi sungai Milhajka itu hanya merupakan salah satu fasilitas olahraga di Distrik Novi Grad. Namun, stadion itu cukup menjadi pengingat bagi saya untuk lebih memerhatikan tanda-tanda kehidupan sepak bola selama tiga hari liburan saya di Sarajevo.

Sepak bola memang menjadi simbol kegairahan Bosnia. Ini sangat penting untuk menghapus luka akibat sejarah kelam 20 tahun lalu. Jika Anda tumbuh besar di dekade 1990-an, Anda pasti akrab dengan berita Perang Bosnia yang sering muncul di Dunia Dalam Berita dulu.

Saya dan istri saya memang sengaja berkunjung ke Sarajevo karena sejak kecil saya tertarik dengan kisah perang Bosnia. Pada tahun 1992, seiring dengan kejatuhan paham komunis di seluruh dunia, Yugoslavia pun mengalami perpecahan. Federasi Bosnia-Herzegovina pun melepaskan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992, menyusul Slovenia dan Kroasia yang lebih dulu memproklamirkan kemerdekaan mereka.

Pemerintah Yugoslavia lalu mengirimkan pasukan militer mereka ke Bosnia dan melakukan pembersihan etnis Bosnia yang dominan beragama Islam. Sebanyak 8.300 jiwa menemui ajal mereka di kota Srebrenica, di wilayah timur Bosnia.

Tentara Serbia (hasil dari Republik Federasi Yugoslavia yang bubar) sudah siap mengambil alih kembali Bosnia. Mereka menempatkan penembak jitu mereka di gedung-gedung bertingkat dan mengepung kota Sarajevo. Namun, masyarakat Bosnia tak mau menyerahkan ibu kota mereka begitu saja ke tangan tentara Serbia. Selama tiga tahun, perang tersebut berlangsung sampai akhirnya tentara NATO mengintervensi perang yang sudah menelan sekitar seratus ribu lebih jiwa tersebut.

Setelah perang berakhir, Sarajevo beranjak pulih dan saat ini sudah dikunjungi banyak wisatawan, dan masyarakat kota pun merespons dengan menunjukkan keramahan mereka. Kafe-kafe tenda terlihat di mana-mana, meskipun di berbagai sudut kota masih terlihat lubang bekas peluru pada tembok luar gedung atau rumah.

Meski demikian, 20 tahun ternyata masih menyisakan luka mendalam akibat perang tersebut. Negara Bosnia-Herzegovina terbagi menjadi dua, yaitu Federasi Bosnia-Herzegovina dan Republika Srpska. Nama kedua adalah negara di dalam negara yang didirikan para warga Bosnia beretnis Serbia. Tidak hanya terpisah secara politik, Republika Srpska juga tak sudi menggabungkan liga sepak bola profesionalnya dengan Liga Bosnia-Herzegovina.

Kedua liga tersebut sempat berjalan sendiri-sendiri sebelum akhirnya dibentuk liga utama (Premier League) sebagai kasta tertinggi liga negara tersebut. Meski demikian, kedua liga tadi sama sekali tidak dilebur, melainkan tetap berjalan terpisah dan menjadi kasta lebih rendah dari Liga Utama. Mulai tahun 2016 lalu, nama Liga Utama Bosnia resmi menggunakan nama sponsor, yaitu BH Telecom Premier League.

Di beberapa sudut kota Sarajevo, saya melihat beberapa lapangan berumput yang tentu saja dikhususkan untuk dipakai bermain sepak bola. Saya jadi langsung teringat salah satu cerita di buku non-fiksi tentang Perang Bosnia berjudul ‘Logavina Street’.

Di buku itu diceritakan bahwa demi menunjukkan masyarakat mereka tak terkoyak oleh perang, para wanita tetap berdandan dan berpakaian rapi ketika keluar rumah. Bagi kaum pria, mereka tetap berkumpul di sudut kota yang terlindung dari pandangan penembak jitu demi bermain sepak bola. Mereka kapan pun bisa mati terkena bom atau tembakan para penembak jitu, tapi mereka tak sudi mati akibat kehilangan kegairahan.

Ketika jam sudah menunjukkan waktu makan siang, saya dan istri saya pun masuk ke sebuah rumah makan dan memesan cevapi. Satu hal yang membuat saya tertegun adalah poster tim nasional Bosnia yang terpasang besar-besar di dinding restoran tersebut. Ya, itu adalah tim bersejarah asuhan Safet Susic yang sukses menembus putaran final Piala Dunia 2014 lalu.

Menurut pengamatan saya, masyarakat Bosnia memang sepertinya bangga akan dua hal. Yang pertama adalah cevapi, makanan dari daging yang sudah dianggap sebagai makanan nasional Bosnia. Nyaris semua rumah makan, bahkan pub dan kafe pasti menyelipkan makanan yang disajikan dengan roti tersebut. Yang kedua, tentu saja sepak bola. Anda akan mudah mendapatkan replika jersey pemain-pemain nasional mereka di setiap sudut jalan, antara lain Edin Dzeko, Miralem Pjanic dan Asmir Begovic.

Foto-foto dan pernak-pernik para pemain tim nasional Bosnia-Herzegovina lain yang tampil di piala Dunia 2014 bisa dilihat nyaris di setiap kafe atau bar. Ini mungkin menandakan bahwa para pejuang di lapangan hijau ini lebih dicintai dibandingkan para politisi yang pernah membuat negara mereka porak-poranda.

Setelah selesai makan, kami berjalan-jalan lagi sedikit di sekitar wilayah Bascarsija (sejenis Kota Tua) Sarajevo. Kami menyeberangi Latin Bridge, sebuah jembatan peninggalan abad ke-16 yang terkenal sebagai lokasi pembunuhan Pangeran Franz Ferdinand pada tahun 1914, insiden yang memicu Perang Dunia pertama.

Latin Bridge. Kredit: Penulis

Lalu kami mampir di sebuah kedai es krim di dekat jembatan tersebut. Hampir semua pub dan kafe memasang agenda nonton bareng pertandingan penysihan Piala Dunia 2018 antara Bosnia-Herzegovina melawan Gibraltar.

Sayang, pertandingan tersebut berlangsung di kota Zenica, yang letaknya sekitar 80 kilometer dari Sarajevo. Meski tak sempat menyaksikan tim nasional Bosnia-Herzegovina secara langsung, saya cukup senang bisa merasakan atmosfer sepak bola yang dahsyat di Sarajevo. Ada rasa hangat juga di dalam hati saya melihat kota ini tak lagi menderita. Sebaliknya, mereka sangat optimis menatap masa depan.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.