Tiga hari lalu, PSS Sleman merilis kabar bahwa tim kebanggaan masyakarat Sleman ini akan meladeni salah satu peserta Liga 1, Bali United, pada laga uji coba hari Minggu (19/3) nanti di stadion Maguwoharjo. Terkait status Bali United sebagai peserta Liga 1, pada (15/3) lalu, PSS pun merilis harga tiket untuk laga uji coba di akhir pekan nanti dengan rincian harga tiket termurah senilai 30 ribu rupiah dan tiket termahal ada di nominal 70 ribu rupiah.
Harga tiket inilah yang kemudian banyak ditanggapi beberapa fanbase suporter PSS dan beberapa di antaranya mengeluhkan mengenai tingginya harga tiket yang dipatok untuk sekadar laga bertajuk uji coba. PSS sendiri sudah merespons keluhan suporter setianya dengan merilis lewat situsweb resminya pada (16/3) lalu bahwa harga tiket per kategori dan per tribunnya sudah disesuaikan sesuai dengan status lawan uji tanding mereka yang berasal dari Liga 1.
Sudah selesai sampai situ saja permasalahannya? Saya rasa tidak. Memang masuk akal sekali upaya manajemen PSS Sleman terkait kebijakan mengenai harga tiket, tapi ada sedikit ganjalan yang sekiranya perlu dijadikan pertimbangan oleh manajemen PSS perihal harga tiket yang agak sedikit melambung nominalnya.
Era sepak bola industri bukan lagi dongeng belaka. Dalam satu dekade terakhir, di sepak bola Eropa saja misalnya, eskalasi harga tiket sudah mencapai angka dan perkembangan yang luar biasa mengejutkan dan ironisnya, itu sedikit menyebalkan.
Tiket musiman di Inggris adalah salah satu yang disorot. Sebagai liga paling populer, Inggris dikritik banyak pihak karena sebagian besar suporternya dijerat oleh tim pujaannya dengan harga tiket yang luar biasa mahal. Pandangan bahwa klub beralih menjadikan suporter sebagai “sapi perahan” pun mengemuka dengan jelas di permukaan.
Di Indonesia, sebenarnya, kasus soal harga tiket bukanlah permasalahan utama. Dari era Liga Super, permasalahan utama Indonesia bukanlah harga tiket yang melambung tinggi, tapi tentang kesadaran suporter untuk datang ke stadion dan membeli tiket sebagai biaya masuk untuk menonton sepak bola. Dan ini ironinya: PSS Sleman adalah salah satu pionir bagi tim profesional di sepak bola Indonesia yang menginisiasi kesadaran suporter untuk membeli tiket ketika masuk stadion.
Pada 2012 lalu, PSS memulai kampanye tersebut. Kurang lebihnya, mereka berupaya mengurangi hiasan sponsor di kostum tim dan sedikit ‘memaksa’ suporter untuk membeli tiket sebagai upaya mereka membantu keberlangsungan tim. Seperti kita semua pahami, loyalitas dan kecintaan suporter terhadap klub pujaannya adalah hal irasional yang tidak akan pernah dipahami kalau kamu tidak mengenal sepak bola dengan baik. Dan seperti saya dan kamu ketahui, kampanye PSS tersebut cukup sukses.
Kesadaran suporter Sleman untuk membeli tiket meningkat. Manajemen bisa mendapatkan angka bersih dari tiket di nominal ratusan juta rupiah dan kendati dipotong biaya untuk panitia pertandingan dan sebagainya, angka penjualan dari tiket di satu pertandingan sudah cukup untuk membantu biaya operasional tim.
Dan di sini masalah muncul. Ketika kesadaran suporter untuk membeli tiket sudah ada, klub sebaiknya tidak menjadikan itu sebagai upaya memberi standar harga tiket dengan nominal yang tidak terjangkau untuk masyarakat di segala lapisan. Sepak bola, seperti yang saya dan kamu ketahui, adalah olahraga rakyat yang paling ekonomis. Memang perputaran uang di sepak bola modern sangat besar, tapi di balik angka-angka besar itu, ada masyarakat dari segala lapisan yang menyumbang sedikit dana mereka untuk perputaran uang di sepak bola.
Peran mereka, walau katakanlah hanya 0,001% sekalipun, tetaplah berharga. Sebagai contoh, PSS Sleman. Brigata Curva Sud (BCS) baru saja dinobatkan Copa90 sebagai ultras terbaik di Asia. Apa tandanya? Itu apresiasi besar bahwa militansi dan kreativitas BCS untuk PSS adalah sesuatu yang tak ternilai harganya oleh tiket seharga ratusan ribu rupiah sekalipun. Dan sebaiknya, militansi dan kreativitas itu tidak digunakan manajemen sebagai langkah untuk mencekik suporter dengan harga tiket yang tak terjangkau.
Sebagai perbandingan, saya akan coba komparasikan harga tiket uji coba kontra Bali dengan harga tiket pertandingan PSS Sleman di Piala Presiden 2017 lalu. Dari laga kontra Persipura kala itu, harga tiket ada di nominal 30 ribu, 50 ribu dan 100 ribu rupiah untuk empat sisi tribun. Itu harga tiket untuk sebuah turnamen resmi pra-musim yang diakui oleh PSSI. Dan untuk sebuah laga uji coba, kendatipun mendatangkan tim dengan status mentereng seperti Bali United, apakah masih elok bila PSS menerapkan harga tiket yang tidak berbeda jauh dengan harga tiket kala pertandingan resmi?
Sekadar trivia, tiket termahal untuk menyaksikan PSS di stadion Maguwoharjo pada Piala Presiden 2017 lalu, setara dengan harga tiket termurah (kategori 3) untuk menyaksikan laga semifinal Piala AFF 2016 yang dimainkan timnas Indonesia di stadion Pakansari, Cibinong, Bogor.
Klub memang tidak sepenuhnya salah, tapi mau bagaimanapun, klub perlu menggiatkan upaya mereka untuk memperkuat pendapatan dari sektor sponsor mengingat kesadaran suporter soal urgensi membeli tiket untuk masuk ke stadion sudah cukup baik. Dengan adanya sponsor, saya rasa, keluhan tentang tiket yang kelewat mahal tidak perlu ada lagi. Sponsor, utamanya dengan dana yang gemuk, bisa membuat klub senang di satu sisi, dan di sisi lain, berimbas pada suporter yang tentu saja bahagia bila harga tiket menjadi sangat terjangkau bagi mereka.
Saya rasa, dengan kapabilitas manajemen PSS Sleman yang sudah cukup profesional saat ini, dan didukung dengan brand image mereka yang terbentuk baik berkat kreativitas BCS, bukan hal yang sulit untuk mencari dan menarik sponsor agar mau berinvestasi untuk tim berjuluk Super Elang Jawa ini.
PSS Sleman sudah membuktikan itu dengan sukses menggaet Torabika Torasusu pada bulan Februari lalu yang tercatat akan menggelontorkan dana sebesar 1 miliar rupiah untuk PSS guna mengarungi Liga 2 musim ini. Keputusan ini juga membuat Torabika Torasusu menjadi sponsor resmi PSS sehingga logo mereka berhak tampil di jersey tim Super Elja. Ini adalah kali pertama dalam sembilan tahun terakhir bagi PSS untuk bisa memiliki sponsor resmi yang menyumbang dana sedemikian besar untuk operasional tim. Tentu saja ini adalah sinyal yang sangat bagus. Sekadar info, dari 54 klub yang rencananya akan mengikuti Liga 2, PSS adalah tim pertama yang disponsori oleh Torabika.
Era sepak bola industri sudah merangsek dengan cepat di Indonesia. Beberapa tim sudah banyak menghiasi kostum tim mereka dengan berbagai sponsor dari dalam dan luar negeri. Suporter tidak perlu malu dengan hal itu. Hiasan banyaknya sponsor di jersey kesebelasan idolamu adalah bukti nyata bahwa brand timmu sudah sangat baik dan itu pertanda jelas bahwa secara finansial, tim pujaanmu akan aman dari krisis. Tidak ada gaji pemain yang tertunggak, tidak ada harga tiket yang mahal, klub senang dan tentunya, suporter lebih senang lagi. Win-win solution, bukan?
Isidorus Rio – Editor Football Tribe Indonesia