Sekitar lima atau enam tahun lalu, tidak ada yang mengenal nama klub Leicester City. Pencinta Liga Primer Inggris lebih familiar dengan Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool, Tottenham Hotspurs, dan Manchester City. Namun musim kompetisi, 2015/2016 kehadiran klub berjuluk The Foxes “merusak” semua prediksi dengan menjuarai salah satu liga yang paling ketat persaingannya di Eropa.
Siapa sangka dari klub yang nyaris terdegradasi di musim sebelumnya plus dana yang tidak jor-joran untuk beli pemain bintang (jika dibandingkan dengan klub-klub kaya lain seperti Chelsea atau Manchester City) ternyata bisa membuat kejutan di tahun lalu. Ya, wajar jika pencinta sepak bola beranggapan bahwa Leicester City adalah fenomena.
Dan, kejutan ini berlanjut lagi di Liga Champions Eropa musim 2016/17. Tampil sebagai debutan di tengah para raksasa seperti Bayern Munchen, Real Madrid, Barcelona, dan Juventus, Jamie Vardy dan kawan-kawan berhasil menyingkirkan Sevilla dengan keunggulan gol agregat 3-2 setelah di kandang mereka, King Power Stadium, mengalahkan wakil Spanyol tersebut dengan skor 2-0 lewat gol Wes Morgan dan Marc Albrighton. Penjaga gawang Kasper Schmeichel juga membuktikan bahwa dirinya sama hebatnya dengan bapaknya, kiper legendaris Denmark Peter Schmeichel, karena menyelamatkan dua penalti Sevilla dalam dua leg. Selain cemerlangnya pemain-pemain lain, tampilan kiper timnas Denmark ini patut diacungi jempol.
Di babak delapan besar, lawan-lawan besar sudah menanti. Bisa saja Leicester bertemu tim sekelas Juventus, Bayern Munchen, atau Barcelona. Namun, dengan membuat kejutan masuk delapan besar kompetisi sekelas Liga Champions Eropa, tim yang saat ini diasuh Craig Shakespeare tidak takut berhadapan dengan siapapun, ujar pemain legendaris The Foxes Tony Cottee. Shakespeare sendiri optimis mereka bisa juara UCL musim ini.
Bahkan kiper Juventus Gianluigi Buffon, berharap agar Si Nyonya Tua tidak bertemu Leicester City karena juara Liga Primer Inggris musim lalu bisa tampil tak terduga, penuh semangat dan merepotkan lawan-lawannya.
Di Liga Primer Inggris musim ini, sayangnya Leicester City justru tidak segarang musim lalu. Beberapa analisa mengatakan ini karena semua tim lawan sudah tidak kaget dengan permainan Leicester City. Sempat berada di zona merah degradasi, saat ini Leicester City menduduki peringkat 15 klasemen sementara Liga Primer Inggris.
Penampilan yang jauh dari memuaskan ini memakan korban. Seperti kita ketahui, sang manajer Claudio Ranieri harus dipecat pihak manajemen setelah Leicester menderita tujuh kekalahan dari sembilan laga. Pelatih Italia yang mengantarkan Leicester City from zero to hero ini terpaksa harus mengakhiri kariernya dengan pahit.
Dipecatnya Ranieri membuat para pencinta sepak bola bereaksi. Mereka mengungkapkan rasa prihatinnya atas keputusan klub memecat pelatih berusia 65 tahun tersebut. Media Italia bahkan lebih pedas lagi mengungkapkan bahwa Leicester City tidak tahu terima kasih.
Berada di bawah asuhan pelatih anyar, Craig Shakespeare, menarik diikuti apakah dongeng Leicester City berlanjut di level yang lebih tinggi yaitu Liga Champions. Kisah kejutan Tottenham Hotspur di Liga Champions 2010/2011 saat dilatih Harry Redknapp bisa jadi motivasi. Spurs secara mengejutkan mampu mengalahkan AC Milan 1-0 di leg pertama 16 besar di San Siro, Milan. Sementara di leg kedua di White Hart Lane, Peter Crouch dan kolega menahan imbang AC Milan tanpa gol. Walau kalah telak melawan Real Madrid di babak delapan besar, setidaknya Spurs mampu membalikkan prediksi umum saat itu.
Memang agak mustahil mengharapkan keajaiban Leicester berlanjut di Liga Champions musim ini, mengingat banyak tim besar tersisa di fase perempatfinal. Namun, klub-klub besar patut waspada pada kekuatan baru ini. Berharap klub ini menyamai rekor Madrid atau Barcelona memang masih sangat jauh, namun gaya bermain Leicester yang masih belum diraba para kompetitornya di kompetisi Eropa, bisa menjadi senjata ampuh yang mengagetkan.
Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)