Persib Bandung sukses membuat gempar. Tim yang identik dengan warna biru itu mengejutkan kita dengan merekrut Michael Essien tepat di hari ulang tahunnya yang ke-84. Di balik gegap gempita perekrutan pemain berpaspor Ghana ini, ada pula beberapa suara yang meragukan keputusan Persib ini.
Pasalnya, karier pemain yang semasa di Chelsea menjadi anak kesayangan Jose Mourinho ini memang telah sedikit redup. Klub yang terakhir ia bela adalah Panathinaikos di musim 2015/2016, yang memutus kontraknya karena cedera yang ia derita tak kunjung pulih.
Selain itu, Aun Rahman juga menjabarkan bahwa kehadiran Essien akan membuat lini tengah Persib semakin gemuk. Ditambah Essien dan Raphael Maitimo yang juga kemungkinan besar akan direkrut, Persib akan mengalami surplus gelandang sebanyak tujuh pemain.
Terlepas dari persoalan di sisi permainan, tidak bisa dipungkiri bahwa nama Essien masih memiliki pesona. Situsweb luar seperti Bleacher dan Eurosport turut memberitakan berita hijrahnya Essien dengan semarak. Jika Anda mengunjungi situs resmi Persib di persib.co.id, Anda akan langsung disuguhi tawaran untuk memiliki kartu resmi keanggotaan Persib, yang disertai dengan foto Essien mengenakan seragam kebanggaan Maung Bandung bernomor punggung 5.
Di rilis resmi klub, ada pernyataan Essien yang saya pikir sebagai gula-gula semata. Mungkin ia menganggap Indonesia bisa pula seperti Cina, yang mana sedang gencar membeli pemain-pemain dunia kelas wahid.
“Semoga saya bisa menjadi awal untuk pemain dunia lainnya merumput di Indonesia. Semoga ini menjadi awal yang baik buat sepakbola Indonesia dan PERSIB,” katanya seperti yang dilansir persib.co.id (14/3).
Harapan Essien tentu menjadi harapan kita juga. Tetapi Essien belum tahu sepak bola nasional seperti jalan di tempat. Jika ia mengetahui beberapa kasus tragis yang menimpa pemain-pemain di Indonesia, tentu ia akan berpikir panjang sebelum mengatakan kalimat itu.
Jika kita mengindahkan pesepak bola lokal, ada dua nama pemain asing yang meregang nyawa akibat buruknya perlakuan klub dan PSSI kepada pemain yang bersangkutan.
Pemain pertama adalah Bruno Zandonadi yang tutup usia pada 13 September 2012. Pemain asal Brasil ini, kala itu membela PSIS Semarang. Ia mengembuskan nafas terakhirnya Rumah Sakit Husada Insani, Tangerang. Penyebab kematian adalah penyakit radang selaput otak yang telah lama ia derita.
Dualisme kompetisi membuat pemain kelahiran 1 Mei 1981 ini kesulitan mendapat klub. Sang istri mengaku bahwa demi menutup biaya pengobatan suami tercinta, ia mengandalkan belas kasih para kerabat. Atas dasar itu pula pihak keluarga tidak sanggup mengebumikan almarhum di kampung halamannya di Brasil.
Kisah selanjutnya menjadi kisah yang paling tragis. Peristiwa ini dialami Diego Mendieta yang saat itu membela Persis Solo.
Sama seperti Zandonadi, Mendieta tak mampu mendapatkan pengobatan optimal karena buruknya manajemen klub dan PSSI. Tak hanya itu, pemain asal Paraguay ini tak mendapatkan haknya sebagai pemain. Gajinya tertunggak selama empat bulan. Selain itu, pihak Persis juga memiliki utang kepadanya dari sisa nilai pembelian. Total ada hak sejumlah 131 juta rupiah yang belum bisa Persis penuhi kepada Mendieta.
Dua kisah ini adalah sekelumit noda di dunia sepak bola kita. Noda harus dibersihkan. Tetapi mesti terus diingat karena ini melibatkan nyawa manusia. Jika saya melengkapi daftar noda-noda yang lain, tentu jumlahnya terlampau banyak.
Saya yakin, Persib adalah klub dengan manajemen yang rapi. Mereka adalah satu dari segelintir klub di Indonesia yang sudah mulai mampu mengoptimalkan sisi marketing untuk memperkuat brand image mereka. Saya berharap keberadaan Essien akan membuat klub-klub lain lebih memperhatikan nasib para penggawanya.
Karena seperti yang telah kita saksikan satu minggu terakhir, nama Essien masih memiliki aura besar di kancah sepak bola global. Satu kesaksian buruk darinya, akan mendapat liputan masif dari berbagai media besar dunia.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com