Kolom Nasional

Tentang Tanah Pasundan dan Produsen Para Gelandang Kreatif

Dari nominasi pemain muda terbaik Piala Presiden 2017 lalu, tiga di antaranya merupakan produk dari pengembangan usia muda tim Persib Bandung. Mereka adalah Febri Hariyadi, Gian Zola yang kini promosi ke tim senior Persib. Dan satu nama lagi yaitu, Hanif Abdurrauf Sjahbandi, yang kini memperkuat Arema FC.

Ada sebuah fenomena yang bisa ditelaah lebih lanjut lagi dari nama-nama yang sudah disebutkan di atas. Yaitu mengenai persamaan tentang Zola dan Hanif sama-sama berposisi di sektor gelandang. Terlepas dari Zola yang bermain lebih menyerang dan Hanif yang lebih sering beroperasi menjaga kedalaman, keduanya tampil memikat sepanjang Piala Presiden lalu. Meskipun masih berusia muda keduanya tidak segan untuk tampil bersanding dengan gelandang yang lebih senior atau bahkan bertarung dengan gelandang senior lain di tim lawan.

Selain kedua nama tersebut, publik sepak bola Indonesia disuguhi oleh aksi gelandang muda lain bernama Abdul Aziz Luthfi yang berhasil membawa timnya, Pusamania Borneo FC, menjadi finalis di ajang turnamen jelang Liga 1 ini. Dan apakah Anda bisa menebak kesamaan di antara ketiga pemain ini?.

Salah satu yang paling mencolok adalah mereka merupakan pemain yang berasal atau pernah menerima pendidikan sepak bola di klub Persib Bandung, klub yang sudah sejak lama diketahui sebagai identitas dan juga representasi dari masyarakat Jawa Barat. Kesamaan lain tentunya seperti yang sudah disebutkan di atas, mereka bermain di sektor gelandang.

Berbeda dengan gelandang lain yang diproduksi di daerah lain di Indonesia yang luas ini, gelandang-gelandang yang diproduksi di daerah Jawa Barat atau tanah Pasundan ini sejak lama terkenal bertipe perancang permainan yang kreatif. Mulai dari era klasik, kala Yusuf Bachtiar dan Yudi Guntara menjadi penggerak permainan Maung Bandung.

Bahkan pencetak gol terbanyak dalam sejarah klub, Adjat Sudrajat pun bisa dikategorikan gelandang, karena area bermainnya berada di belakang penyerang dan sering beroperasi di sepertiga lapangan bagian penyerangan. Trequartista mungkin padanan posisi yang tepat untuk menggambarkan posisi pemain legendaris ini.

Daftar tersebut kemudian berlanjut ke masa Imam Riyadi yang sempat melakukan eksekusi penalti dengan tendangan ala panenka di perebutan medali perunggu Piala Tiger (kini Piala AFF) 1998. Lalu ada nama Yaris Riyadi dan berlanjut ke masa Eka Ramdani.

Di era yang lebih modern saat ini, stok gelandang kreatif asal tanah Pasundan semakin melimpah. Dedi Kusnandar tentu salah satu pemain di sektor tersebut yang berusia paling matang dan saat ini sedang menikmati waktu-waktu terbaiknya. Diikuti oleh generasi yang lebih muda seperti Aziz, Zola, dan Ahmad Basith yang juga promosi ke tim senior pada musim ini.

Belum lagi nama-nama yang sudah mulai menjauh dari Bandung seperti Suhandi yang kini ada di PS TNI, lalu Agung Pribadi yang kini ada di Persela Lamongan. Dan juga nama-nama yang semakin jarang terdengar seperti, Rendi Saputra, dan mantan bocah ajaib, Munadi, yang berhasil membawa Persib menjadi kampiun ISL U-21 pada musim 2009/2010. Jumlah ini tentu belum dihitung para gelandang tim muda Persib yang berhasil secara beruntun memenangi Liga Pelajar dan menempati peringkat ketiga pada Piala Soeratin tahun 2016 lalu.

Lalu pertanyaan besarnya kemudian adalah bagaimana, atau lebih tepatnya, mengapa Persib atau tanah Pasundan secara umum bisa terus memproduksi para pemain di posisi gelandang?

Laiknya penelitian atau karya ilmiah, saya ingin mengajukan dua hipotesis awal sebelum nantinya diperkuat oleh fakta atau penuturan dari narasumber yang bersifat ahli.

Pertama, membludaknya jumlah para gelandang bertipe kreatif di era saat ini merupakan imbas dari adanya missing link ketika Eka Ramdani memutuskan untuk hengkang pada tahun 2011. Padahal, sebelumnya Persib selalu memiliki putra daerah yang berposisi sebagai perancang permainan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dari era Yusuf Bachtiar ke era Imam Riyadi lalu Yaris, lalu berlanjut ke Eka.

Setelah pemain asal Purwakarta tersebut pergi, Persib praktis memakai pemain asal daerah lain atau bahkan pemain asing untuk urusan mengatur permainan. Jalur ini kemudian tersambung kembali ketika Dedi Kusnandar pulang ke Persib pada tahun 2015. Meskipun kemudian ia hengkang Malaysia, dan kembali lagi untuk memperkuat tim berjuluk Maung Bandung untuk gelaran Liga 1 nanti.

Melihat jawaban dari wawancara yang pernah saya lakukan dengan Aziz kala ia mengaku sangat mengidolai Eka Ramdani, dan kebetulan Zola pun memiliki idola yang sama, maka bisa diasumsikan bahwa generasi pesepak bola tanah Pasundan yang meniti karier setelah Eka hengkang, berlomba-lomba untuk bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Eka.

Dan tujuan mereka jelas, memiliki keinginan besar untuk bermain di posisi gelandang seperti idola mereka itu. Aziz dan Zola adalah contoh kecil, bisa jadi para pemain lain yang berada satu angkatan dengan mereka memiliki impian yang serupa.

Yang kedua adalah kultur, budaya, dan cuaca dari tanah Pasundan yang sangat mendukung untuk terciptanya para gelandang kreatif. Saya terinspirasi oleh esai yang pernah dibuat oleh Yusuf Dalipin perihal kenapa Inggris memainkan sepak bola dengan kick and rush. Karena cuaca di sana dingin bukan main, karena itu para pemain harus terus bergerak dan berlari agar tubuh tetap hangat. Atau catenaccio yang kabarnya lahir dari kultur pecundang orang-orang di Italia sana.

Hal tersebut juga berlaku pula kepada fenomena munculnya banyak gelandang kreatif di tanah Pasundan. Cuaca yang sejuk dan kultur yang santai, membuat orang-orang bisa memiliki waktu dan space berlebih untuk memikirkan banyak hal yang lain. Dengan demikian, pikiran lebih segar dan terbuka sehingga kreativitas pun kemudian muncul.

Bukan bermaksud primordialis atau mendiskreditkan daerah lain, sebagai contoh sederhananya, bagaimana Anda bisa berpikir kreatif ketika situasi dan kondisi betul-betul padat dan rumit seperti di ibu kota, misalnya? Atau bagaimana Anda bisa memikirkan hal lain selain hidup Anda sendiri ketika Anda berada di situasi yang sulit akibat tidak meratanya pembangunan seperti di kebanyakan daerah di timur Indonesia?.

Bagaimana dengan Malang yang cuacanya juga sejuk dan dingin? Berbeda dengan di Jawa Barat, secara keseluruhan, kultur giat dan ulet khas Jawa Timur masih melekat di sana. Itulah yang membedakan kedua daerah meskipun keduanya sama-sama memiliki iklim yang sejuk.

Soal kreativitas ini pun sudah tersohor sejak lama di kalangan seniman. Musisi, pelukis, atau pematung asal Jawa Barat memiliki nilai kreativitas dan estetis yang diakui tidak hanya dalam skala nasional saja, tetapi juga di level internasional. Toh, soal teknik dan keahlian mengolah bola pun layak dimasukkan dalam nilai estetis yang sama dalam lingkup sepak bola.

Ikon budaya Kabayan pun merupakan representasi dari hal ini. Meskipun kelewat santai, Kabayan nyatanya punya banyak akal dan kreativitas untuk memecahkan suatu masalah.

Namun, dua pendapat tersebut bisa jadi gugur karena sifatnya asumtif. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya yang hidup dan tinggal di Jawa Barat, tepatnya di Bandung selama dua dekade, butuh penguat dari hipotesa ini. Dan kemudian saya memutuskan untuk mencari sosok ahli untuk menjawab pertanyaan besar yang sudah diajukan di atas: mengapa tanah Pasundan banyak melahirkan para pemain bertipe gelandang kreatif?

Gelandang Persib Bandung era 1990-an, yang sekaligus dinobatkan sebagai perancang permainan terbaik yang pernah dimiliki klub, Yusuf Bachtiar, menjadi narasumber ahli soal pertanyaan besar saya sekaligus menjadi penguat soal dua pendapat yang sudah saya kemukakan sebelumnya.

Dihubungi di sela-sela kesibukannya berkantor di PLN bagian Jawa Barat, Yusuf Bachtiar yang membela Persib dari tahun 1978 sampai 2001 ini menjawab ada dua faktor utama yang menyebabkan saat ini banyak sekali bermunculan gelandang kreatif asal tanah Pasundan atau Jawa Barat.

“Pertanyaanya unik juga ya? Mungkin kalau menurut saya, ada dua poin utama kenapa sekarang ada fenomena tersebut,” ujar Yusuf membuka pembicaraan.

“Pertama, mungkin generasi saat ini punya idola masing-masing yang membuat mereka memilih bermain di posisi gelandang. Ada sosok yang mereka contoh sehingga kemudian mereka bermain di posisi tersebut. Saya tidak tahu mereka mengidolakan siapa. Tapi saya dulu memilih bermain di gelandang pun karena saya mengidolai Iswadi Idris (gelandang legendaris tim nasional Indonesia era 1960-1970-an) dan Herry Kiswanto (mantan kapten timnas yang kini melatih Persela Lamongan).”

Well, poin pertama ternyata serupa dengan apa yang saya asumsikan. Mari kita berlanjut.

“Selanjutnya, mungkin karena pengaruh kultur orang Sunda atau semua orang yang tinggal di Jawa Barat ini. Bukan membandingkan, tapi Anda bisa lihat tipe-tipe gelandang yang asal daerah lain. Gelandang dari Sumatra seperti apa, dari Jawa Timur seperti apa, dari Papua seperti apa. Ya, kebetulan kalau dari Sunda atau Jawa Barat tipenya seperti demikian.”

“Saya agak sulit menemukan kata yang tepat ini. Mungkin lemah gemulai, maksudnya bukan berarti kami lemah. Maksud saya, kami sebagai orang Sunda tidak terburu nafsu untuk melakukan sesuatu. Karena itu posisi yang tepat di gelandang, bukan sebagai pemain belakang atau pemain depan yang cenderung bermain dengan ngotot dan mengutamakan fisik.”

“Tetapi pada situasi lain, kami juga menggunakan akal dan kecerdikan kami. Anda bisa lihat sendiri di (tari) Jaipong. Ritmenya mungkin tidak cepat dan cenderung lambat, tapi gerakannya harus berurutan. Ini menunjukan bahwa kami terbiasa untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan dalam waktu yang cepat. Karena itulah, mungkin secara kultur pun berpengaruh, jadi Jawa Barat sering produksi pemain di posisi gelandang,” tutur pria yang kini sudah berusia 55 tahun ini.

Yusuf yang berperan memberikan gelar juara Liga Indonesia pertama untuk Persib ini juga menambahkan aspek lain, sekaligus menjelaskan mengapa soal gelandang tengah ini bisa diproduksi terus menerus.

“Kerja sama itu penting kan ya? Dan soal kerja sama juga menjadi sesuatu yang sangat kental di kultur orang yang tinggal di Jawa Barat ini. Penguasaan bola yang dilakukan bersama-sama dalam tim sudah menjadi ciri khas Persib. Tidak terlalu banyak bawa bola tapi dengan tenang menguasai bola dan melakukan operan”

“Soal penguasaan bola ini menjadi faktor penting ketika saya masih melatih sekolah sepak bola dulu.”

Sebagai catatan, Yusuf sempat menangani sekolah sepak bola UNI Bandung yang hingga saat ini masih mendapatkan label SSB terbaik yang memproduksi bakat-bakat sepak bola di Bandung. Banyak sekali bintang Persib berasal dari sana.

“Karena menurut saya soal membantu orang, kita juga harus kuat dulu. Dengan kemampuan menguasai bola dengan baik, maka kita bisa lebih mudah memberikan bola kepada rekan setim atau mengatur permainan. Itu yang selalu saya tanamkan kepada anak didik saya. Dan Anda bisa lihat sendiri bagaimana hasilnya sekarang. Para pemain yang saya bina semuanya memiliki teknik penguasaan bola yang bagus. Mulai dari Ferdinand Sinaga sampai yang baru, Zola, yang waktu kecil sempat saya bina juga.”

Meskipun pernyataan Yusuf Bachtiar soal poin kedua agak berbeda dengan yang saya kemukakan. Pada intinya sama, bahwa kultur dan budaya di tanah Pasundan turut membentuk cikal bakal para pemain yang berposisi gelandang dengan tingkat kreativitas tinggi.

Anda tentu bisa melihat bagaimana perubahan permainan Hariono yang awalnya keras dan merupakan tipe penebas kaki lawan, setelah ditempa hampir satu dekade di tanah Pasundan, ia justru bertransformasi menjadi salah satu pengumpan bola yang lumayan baik di kancah sepak bola Indonesia.

Karena perbedaan tipe gelandang yang diproduksi inilah mengapa Persib bahkan sampai mengontrak nama asing sekelas Michael Essien. Karena tanah Pasundan bukanlah produsen para gelandang bertenaga untuk bertarung dengan lawan.

Soal mengapa para gelandang kreatif asal Pasundan ini tidak sering nampil di timnas, masih membutuhkan kajian lebih lanjut lagi. Yusuf Bachtiar yang disebut sebagai playmaker terbaik Persib sepanjang masa, di timnas masih kalah bersaing oleh Fachry Husaini. Lalu Eka Ramdani yang hanya menjadi deputi ketika Firman Utina tidak bisa bermain. Yang terbaru tentu di Piala AFF 2016 lalu saat tim pelatih lebih memilih memainkan Stefano Lilipaly ketimbang Dedi Kusnandar.

Satu hal yang pasti, Indonesia tidak perlu takut soal kehilangan para gelandang kreatif, karena tanah Pasundan akan terus memproduksinya dari masa ke masa.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia