Kolom Nasional

Pekerjaan Rumah bagi Manajemen Persebaya Surabaya  

Kembalinya Persebaya Surabaya sebagai salah satu kontestan di sepak bola nasional tentu saja disyukuri oleh banyak pihak, khususnya sang pendukung setia, Bonek. Sebab perjuangan yang mesti dilakukan agar kubu Bajul Ijo bisa mentas lagi di kompetisi dalam negeri merupakan hal yang amat menguras tenaga, pikiran, waktu dan materi.

Ditambah dengan kehadiran Jawa Pos Group sebagai pemilik baru, usai mengambil alih saham PT. Persebaya Indonesia, optimisme Bonek bahwa Persebaya akan semakin baik di masa depan pun menyeruak. Terlebih, Direktur Utama Jawa Pos Group, Azrul Ananda, yang kemudian menjabat juga sebagai presiden klub, sudah populer sebagai salah satu maniak olahraga dan punya profesionalitas yang teruji baik.

Tak butuh waktu lama, beberapa gebrakan dibuat oleh manajemen dalam kurun beberapa pekan terakhir. Khususnya dalam menyongsong keikutsertaan Persebaya di turnamen pramusim bertajuk Piala Dirgantara yang dilangsungkan di stadion Maguwoharjo, Sleman.

Gebrakan tersebut dimulai dengan peluncuran  jersey pra-musim Persebaya (kabarnya hanya akan digunakan di Piala Dirgantara dan sejumlah ujicoba) beberapa waktu lalu. Setelah cukup lama tak melihat kesebelasan kesayangannya bermain, Bonek tentu saja antusias dengan hal ini. Apalagi desain jersey yang digunakan membawa semua pihak untuk bernostalgia kepada memori kejayaan tahun 1988 silam.

Pascapeluncuran jersey tersebut, tak berselang lama, akun Twitter resmi Persebaya pun langsung berkicau tentang seragam pra-musim yang satu ini. Termasuk bagaimana cara pendukung Persebaya maupun kolektor jersey sepak bola bisa mendapatkannya.

Rupa-rupanya, penjualan jersey Persebaya hanya dilakukan dengan sistem bundling alias menggabungkan dengan produk-produk yang lain. Dalam hal ini paket langganan koran Jawa Pos selama dua bulan.

Nominal yang ditetapkan oleh manajemen Bajul Ijo untuk bisa mendapatkan jersey Persebaya bersama dengan paket langganan koran Jawa Pos tersebut menyentuh angka 398.000 rupiah. Bahkan, untuk sepuluh pembeli pertama akan dihadiahi juga dengan satu tiket VIP pada laga home perdana Persebaya. Tentu saja tawaran seperti ini cukup menarik bagi banyak kalangan. Logika bisnisnya, beli satu dapat banyak.

Kemunculan sistem bundling ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di banyak kalangan, utamanya para Bonek. Sejatinya, sistem semacam ini memang terbilang wajar karena banyak sekali klub sepak bola yang menggunakan metode serupa untuk merebut pangsa pasar yang lebih luas dalam menjual merchandise resmi mereka. Salah satunya yang dilakukan manajemen Barito Putera seperti yang tampak dari cuitan akun Twitter Indosuporter berikut ini.

Bagi para kolektor atau yang berdompet tebal, harga jersey Persebaya berikut bonus-bonus yang menyertainya tentu saja bukan jadi masalah. Karena banyak sekali kostum orisinil kesebelasan-kesebelasan di Indonesia dari apparel lokal yang harganya memang ada di kisaran tersebut.

Lebih jauh, Jawa Pos merupakan koran yang kelak akan memberi info-info paling aktual dan paling relevan tentang Persebaya. Sehingga masyarakat yang menggemari Bajul Ijo juga akan menaruh minat untuk mempunyai koran yang satu ini sebagai referensi berita tentang Mat Halil dan kawan-kawan.

Sayangnya, manajemen seolah lupa bahwa Bonek berasal dari banyak lapisan masyarakat, ada yang kelas atas, menengah dan tentu saja kelas menengah ke bawah. Harga yang tertera di atas bisa saja terlalu mahal untuk mereka-mereka yang isi dompetnya tak selalu bergambar dua Bapak Proklamator. Dan sekadar trivia, mayoritas pendukung sepak bola, termasuk Bonek, justru ada di kalangan ini.

Hal serupa juga terulang beberapa hari yang lalu setelah Persebaya dipastikan melaju ke semifinal Piala Dirgantara meski baru menyelesaikan dua laga (laga ketiga Persebaya berlangsung tadi malam (5/2) melawan Cilegon United).

Akun Twitter resmi Persebaya meluncurkan sebuah program awayday atau yang populer dengan sebutan “Tret Tet Tet” di kalangan Bonek. Program itu sendiri dibuat manajemen Persebaya untuk mengakomodasi para Bonek yang ingin menuju Sleman demi menyaksikan partai semifinal Piala Dirgantara.

Harga yang dipatok untuk program “Tret Tet Tet” ini sebesar 350.000 rupiah dengan beberapa fasilitas yang pasti didapat Bonek yaitu bus keberangkatan menuju Sleman, tiket pertandingan babak semifinal, makan sebanyak dua kali dan snack satu kali.

Selayaknya proses penjualan seragam pramusim, ada cukup banyak pro dan kontra menyoal program ini, khususnya tentang harga yang menjulang. Bagi sebagian suporter dengan dana memadai, tentu saja ini tak masalah. Namun untuk Bonek yang isi dompet atau tabungannya tak selalu tebal, harga ini jelas dilematika tersendiri. Beberapa cuitan yang berbentuk kritik pun mengemuka dari pihak Bonek.

Berkaca dari protes dan kritikan seperti ini, sudah sepatutnya manajemen Persebaya juga kembali mengevaluasi langkah-langkah yang mereka ambil. Saya yakin, sebagai pihak yang mencintai Persebaya, Bonek pasti akan berkorban apa saja demi klub favoritnya.

Manajemen paham betul bahwa Persebaya adalah komoditi penting dan Bonek adalah pangsa pasarnya. Akan tetapi harus dicermati juga bahwa manajemen tak bisa memukul rata kemampuan finansial seluruh Bonek. Seperti yang saya telah kutip di atas, Bonek berasal dari lapisan masyarakat yang berbeda-beda dengan satu kesamaan, mencintai Persebaya. Dan ini adalah pekerjaan rumah pihak manajemen.

Merangkul semua kalangan Bonek adalah cara yang terbaik yang bisa dilakukan pihak manajemen. Mengapa? Seperti yang manajemen kampanyekan beberapa waktu yang lalu jika mereka ingin mengajak Bonek untuk mengubah citra mereka, maka Bonek di seluruh lapisan pun harus difasilitasi untuk berubah. Bagaimana mungkin bisa membuat Bonek yang memiliki citra sebagai suporter nakal, kerap melakukan vandalisme, tak bayar tiket kendaraan dan kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah, bila manajemen juga tak punya upaya untuk mendekati mereka dengan cara yang tidak terlalu komersil.

Menyongsong kompetisi Liga 2 yang semakin dekat, satu-satunya hal yang harus dilakukan oleh manajemen adalah membuat program-program yang bersahabat, dengan harga terjangkau tentunya. Dalam bisnis, mencari keuntungan adalah cara yang sah, tapi tentu saja dengan cara yang wajar pula. Jika manajemen tak membuat perubahan terhadap program-program yang dibuat, jangan heran bila di masa yang akan datang akan muncul perasaan antipati dari Bonek terhadap manajemen.

Saya rasa, manajemen Persebaya juga klub-klub di Indonesia lainnya, perlu melihat bagaimana sistem kerja klub Jerman perihal relasi mereka dengan suporter. Kalau memenangkan hati suporter saja mereka sedikit alpa, gelar di lapangan atau kemenangan macam apa pun tidak lagi berarti apa-apa.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional