Kolom Eropa

(Memang) Saatnya Luis Enrique Beristirahat

Luis Enrique Martinez Garcia melangkah masuk ke ruang Richard Maxenchs dengan pakaian rapi. Seperti biasa, ruang konferensi pers di stadion Camp Nou itu penuh sesak dengan jurnalis. Yang tidak biasa adalah penampilan pelatih yang akrab disapa Lucho. Seringkali, pria kelahiran 8 Mei 1970 tersebut hanya mengenakan jaket latihan atau kaos polo ke ruang konferensi pers. Kali ini, ia terlihat rapi dengan jas hitam dan dasi.

“Mungkin ia hanya ingin terlihat rapi karena ingin menghormati klub masa kecilnya,” kelakar seorang jurnalis tentang Enrique. Barcelona memang baru saja menang telak 6-1 atas Sporting Gijon, tempat Enrique memulai karir sepak bolanya. Namun, mayoritas peserta konferensi pers sudah mencurigai ada hal besar yang ingin disampaikan mantan kapten El Barca tersebut.

“Dalam kesempatan ini, saya ingin sekaligus mengumumkan bahwa saya tak akan lagi menangani Barcelona musim depan.”

Pengumuman itu keluar dari mulut Lucho sendiri. Tidak sedikit jurnalis yang kaget mendengarnya, tapi ini bukan kejutan bagi mereka yang sudah paham betul suasana ruang ganti Barcelona sebulan terakhir. Kursi kepelatihan Enrique memang terbilang panas, apalagi setelah dibantai 0-4 di kandang Paris Saint-Germain (PSG) pada perdelapanfinal Liga Champions 2017.

“Saya butuh istirahat,” tutur Enrique lagi di konferensi pers tersebut. Alasan yang sederhana memang, tapi jika melihat perjalanan karir pria ini, mungkin alasan tersebut masuk akal.

Lahir dan memulai karir di Sporting Gijon sebagai putra Asturias, Luis Enrique mencapai puncak karir di Madrid, namun malah melegenda di Catalunya.

18 tahun lalu, di musim panas 1996, Luis Enrique membuat heboh publik sepak bola Spanyol. Ia memutuskan untuk mengakhiri kontraknya dengan Real Madrid dan menyeberang ke rival abadi klub ibu kota Spanyol tersebut.

Di Barcelona, para suporter klub terbesar Catalunya itu lebih heran lagi. Jarang-jarang ada pemain dari Real yang memutuskan pindah ke mereka. Sebelumnya, mereka malah lebih banyak dikhianati oleh mantan pemain seperti Bernd Schuster dan Michael Laudrup, yang melompat ke Santiago Bernabeu setelah bermusim-musim dipuja-puji di Camp Nou. Apalagi, empat tahun setelah kepindahan Lucho, pendukung Barca dibuat semakin sakit hati dengan pindahnya Luis Figo ke Real Madrid.

Bergabungnya Lucho ke Barcelona memang pantas mengundang tanda tanya. Selain merintis karir tim nasionalnya setelah lima tahun kariernya di Madrid, kawan karib Pep Guardiola ini juga memenangi medali emas Olimpiade 1992, Copa del Rey 1993, serta La Liga 1992 ketika berseragam Los Blancos. Bukan hanya itu, Lucho juga termasuk salah satu pencetak gol ketika Real Madrid menghancurkan Barcelona 5-0 di musim 1994/1995.

Namun, orang-orang Asturias di Spanyol memang terkenal sebagai perantau sejati. Seperti halnya para atlet lain yang berasal dari Asturias, seperti pembalap F1 Fernando Alonso. Juga rekan-rekannya sesama pesepak bola seperti Juan Mata dan David Villa. Nama terakhir bahkan sudah merantau ke Australia dan Amerika Serikat.

Luis Enrique memang tak pernah puas berkarier di satu tempat saja. Bahkan di lapangan pun, ia tidak puas hanya dengan bermain di satu posisi. Kelincahan dan fisiknya yang kuat memungkinkannya untuk bermain di berbagai posisi, selain posisi naturalnya, yaitu gelandang serang. Tidak butuh waktu lama bagi Lucho untuk menjadi idola baru publik Camp Nou, apalagi dengan gol demi gol yang dicetaknya dan beberapa tahun menyandang ban kapten.

Delapan tahun dihabiskannya di klub kebanggaan masyarakat Catalunya tersebut, berbagai macam gelar telah dipersembahkannya, termasuk gelar juara Liga Spanyol dan Copa del Rey masing-masing dua kali. Pada tahun 2004, Lucho pun gantung sepatu dengan tenang. Satu-satunya yang kurang dari kariernya di Camp Nou adalah trofi Liga Champions.

Setelah resmi gantung sepatu, Lucho seakan tidak bisa diam. Dalam periode ketika ia non-aktif dari dunia sepak bola, yaitu dari 2004 hingga 2008, sering dilaporkan bahwa dirinya berada di beberapa kota di dunia untuk menghadiri event-event olahraga.

Lucho seakan terobsesi dengan jenis-jenis olahraga yang menjaga kebugaran, seperti berselancar, lari, sepeda gunung dan maraton. Khusus cabang olahraga terakhir, surat kabar Marca melansir bahwa Enrique sudah tercatat menyelesaikan berbagai banyak seri maraton, antara lain di New York, Firenze dan Amsterdam.

Lari bukan hanya menjadi aktivitas rutinnya, melainkan sudah menjadi filosofinya dalam hidup. Ketika Enrique ditunjuk menjadi pelatih kepala AS Roma pada tahun 2011, Ben Hayward dari Goal International menulis fitur tentang pria kelahiran Gijon ini. Enrique dianggap sukses membangun mental bersaing Barcelona B, klub yang dilatihnya sebelum Roma. Tim muda Barcelona itu sukses finis di posisi 3 Liga Adelante di bawah arahannya. Sayangnya, kesuksesan itu gagal dibawanya ketika melanjutkan karier sebagai pelatih AS Roma. Klub raksasa Italia itu hanya sanggup finis di papan tengah dan gagal lolos ke kompetisi antarklub Eropa.

Setelah meninggalkan Italia, Lucho hiatus setahun sebelum kembali ke Spanyol untuk bergabung dengan Celta Vigo. Klub Galicia ini memang bukan klub besar, tapi kepiawaiannya mengembangkan bakat-bakat muda menjadi modal utama Os Celestes untuk bersaing di La Liga tanpa keberadaan pemain-pemain bintang. Pengabdian setahun di Balaidos sudah cukup membuat Barca terkesan. Di awal musim 2014/2015, Lucho pun ‘pulang’ ke tempatnya mengakhiri karier sebagai pemain dan mengawali karier sebagai pelatih.

Memang di Camp Nou, semua impian indah Enrique tercapai. Meski sempat diragukan di awal musim, ia sukses membawa Lionel Messi dan kawan-kawan meraih treble di akhir musim 2014/2015, yaitu tiga gelar yang terdiri atas trofi juara liga Spanyol, Copa del Rey dan Liga Champions. Setahun setelahnya, ia kembali sukses memimpin skuat Barcelona menjuarai Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub, plus mempertahankan gelar juara liga dan Copa del Rey.

Masalahnya, banyak suara sumbang yang menganggap sukses besar Enrique di Barcelona bukanlah andilnya. Orang awam bisa melihat materi pemain Blaugrana memang sudah dipenuhi talenta-talenta setengah dewa, dengan Luis Suarez, Lionel Messi dan Neymar sebagai trio penggerak utama. Sehingga, banyak yang mencibir bahwa tanpa pelatih pun, Barcelona pasti akan sukses.

Di sinilah awal beban pikiran yang melanda Lucho. Sedikit saja terpeleset, kritik bertubi-tubi pasti datang kepadanya. Lihat saja ketika Barcelona digagalkan Atletico Madrid untuk menembus perempatfinal liga Champions musim lalu. Setiap gerak-gerik sang pelatih menjadi santapan media. Komentar kecilnya sekalipun akan dihidangkan menjadi gosip panas di berbagai media olahraga. Apalagi jika ada strateginya di lapangan yang dianggap kurang berjalan dengan baik.

Kepercayaan besar yang terus menerus diberinya kepada gelandang asal Portugal, Andre Gomes, adalah sasaran utama kritik di musim 2016/2017 ini. Enrique dianggap jadi sering mengorbankan Ivan Rakitic, Denis Suarez dan anak asuhnya di Barcelona B dulu, Rafinha, demi memberi jalan kepada Gomes.

Selain itu, para pendukung Barcelona juga tak memahami keputusannya mengasingkan Aleix Vidal selama setengah musim lebih. Pemain Catalunya berposisi bek kanan ini justru diabaikan Lucho pada saat tim mereka justru membutuhkan figur enerjik di sektor kanan pertahanan.

Mungkin, ini bukan perihal tragedi empat gol di Paris. Bukan pula akibat sulitnya mengejar Real Madrid di posisi puncak La Liga, walau kini mereka memimpin di atas Los Merengues dengan selisih satu angka. Meski memegang rekor kemenangan terbanyak sebagai pelatih Barcelona, yaitu 76% dari total catatan 164 pertandingan, Enrique tetap manusia biasa. Ia butuh meredakan segala tekanan yang dideritanya semasa menjabat menjadi pelatih Barcelona. Seorang pelari dengan fisik yang prima sepertinya pun butuh istirahat, karena lelah yang dideritanya di dalam batin.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pecinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.