Dalam peta sepak bola Inggris, kota London bisa jadi wilayah dengan pemasok kesebelasan terbanyak seantero negeri. Setidaknya ada lebih dari lima klub profesional yang bermarkas di kota yang saat ini dipimpin walikota bernama Sadiq Khan itu. Mulai dari Arsenal dan Tottenham Hotspur yang main di Liga Primer Inggris sampai Millwall yang kini berlaga di League One alias kasta ketiga piramida sepak bola Inggris.
Selain Arsenal dan Spurs, juga terdapat nama lain layaknya West Ham United, Crystal Palace dan Chelsea, kesebelasan asal London yang berlaga di Liga Primer Inggris. Teruntuk klub yang disebut terakhir, bisa dikatakan bahwa merekalah yang jadi penguasa London dalam satu dasawarsa terakhir.
Indikatornya, tentu saja barisan trofi yang berhasil didapat klub berjuluk The Blues tersebut sejak musim 2005/2006 sampai 2015/2016. Setidaknya ada selusin gelar yang berhasil direbut dengan rincian tiga trofi juara liga, empat trofi Piala FA, sepasang trofi Piala Liga serta masing-masing satu trofi Community Shield, Liga Champions dan Liga Europa.
Manajer asal Portugal, Jose Mourinho, jadi sosok yang paling banyak menyumbang silverware bagi Chelsea selama periode tersebut yakni delapan buah. Namun bicara tentang Chelsea dan trofi, rasanya kurang lengkap jika tak membahas peran dari para pelatih The Blues yang berasal dari Italia.
Mulai berdiri pada 10 Maret 1905, sekitar hampir 112 tahun yang lalu, pada awalnya Chelsea bukanlah tim yang begitu disegani meski konsisten bercokol di kasta tertinggi piramida sepak bola Inggris. Prestasi perdana mereka pun baru didapat setengah abad kemudian, tepatnya di musim 1954/1955. Kala itu, di bawah asuhan Ted Drake, The Blues berhasil memenangi gelar liga pertamanya sepanjang sejarah.
Praktis, setelah itu Chelsea tak jua punya prestasi mentereng selain menjadi kampiun Piala Liga musim 1964/1965, Piala FA 1969/1970 dan Piala Winners 1970/1971.
Akan tetapi peruntungan Chelsea seakan berubah di penghujung tahun 90-an saat ditukangi player-manager asal Italia, Gianluca Vialli. Di tangan pria berkepala plontos tersebut, The Blues bermetamorfosis menjadi klub yang semakin rakus akan titel juara. Vialli sendiri melanjutkan tongkat kepelatihan setelah manajer sebelumnya asal Belanda yang mempersembahkan titel Piala FA 1996/1997, Ruud Gullit, dipecat pada pertengahan musim 1997/1998.
Kiprah cukup apik Chelsea bersama pria berambut gimbal itu berhasil diteruskan Vialli di sisa musim 1997/1998. Secara meyakinkan, The Blues sukses dibawanya menjuarai Piala Liga dan Piala Winners.
Kesuksesan menjadi kampiun Piala Winners itu pula yang kemudian mengantar The Blues mencicipi final Piala Super Eropa dan mempertemukan mereka dengan jawara Liga Champions 1997/1998, Real Madrid. Heroiknya, anak asuh Vialli yang tak diunggulkan bisa menekuk tim asuhan Guus Hiddink tersebut dengan skor tipis 1-0.
Tak cukup sampai disitu, Vialli kemudian berhasil mempersembahkan gelar Piala FA 1999/2000 dan Charity Shield 2000 (nama lawas Community Shield). Namun sayang, di awal musim 2000/2001, Vialli dipecat manajemen Chelsea karena hasil-hasil yang dianggap kurang memuaskan.
Hanya berselang beberapa hari usai kepergian Vialli, Chelsea kembali menunjuk figur asal Italia untuk menjadi nakhoda tim, Claudio Ranieri. Di bawah asuhan sosok yang pernah menukangi Fiorentina dan Valencia tersebut, manajemen berharap ada perubahan signifikan.
Sialnya, kendala bahasa di awal masa kepelatihan dan mediokritas kemampuan Ranieri menjadi ganjalan yang membuat Chelsea susah bersaing. Padahal, saat itu manajemen cukup royal membelanjakan uang untuk memboyong pemain berkualitas semacam William Gallas, Frank Lampard dan Emmanuel Petit, agar The Blues bisa berbicara lebih banyak.
Terlebih usai kedatangan taipan asal Rusia, Roman Abramovich, sebagai pemilik baru klub per Juni 2003. Dana belanja Ranieri melonjak drastis sehingga bisa mengikat winger kidal, Damien Duff, gelandang bertahan tangguh, Claude Makelele dan duo Argentina, Hernan Crespo dan Juan Sebastian Veron.
Ketidakpuasan Abramovich terhadap performa Chelsea pada akhirnya membuat Ranieri harus ikhlas dicopot dari jabatannya sebagai pelatih di penghujung musim 2003/2004. Walau gagal meraih satu titel pun, banyak pihak yang menyatakan bila Ranieri berjasa besar atas fondasi kokoh yang dibangun ketika itu dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh Mourinho yang jadi suksesornya.
Pelatih asal Italia selanjutnya yang mengadu nasib di Chelsea adalah Carlo Ancelotti. Rekam jejak pelatih kawakan yang satu ini selama membesut AC Milan menarik perhatian Abramovich. Seperti yang diketahui banyak pihak, Abramovich amat terobsesi dengan gelar Liga Champions dan Ancelotti yang pernah mengenyam dua gelar juara bersama Milan diharapkan bisa memuaskan dahaga sang pemilik borjuis.
Per Juli 2009, Ancelotti secara resmi menjadi pelatih anyar The Blues dan memiliki kontrak berdurasi tiga musim. Nahasnya, Ancelotti gagal memenuhi ekspektasi Abramovich di Liga Champions musim 2009/2010 setelah Chelsea disingkirkan lebih cepat oleh Internazionale Milano yang kemudian berhasil menjadi kampiun.
Akan tetapi keterpurukan itu berhasil diobati Ancelotti dengan mengawinkan titel Liga Primer Inggris dan Piala FA di musim yang sama. Chelsea besutan Ancelotti kala itu juga sukses merebut gelar Community Shield di awal musim.
Tapi performa tak memuaskan Chelsea di musim 2010/2011 membuat Abramovich murka. Rontok di perempatfinal Liga Champions, hanya finis di peringkat kedua Liga Primer Inggris serta tumbang di babak awal Piala FA dan Piala Liga akhirnya berhadiah surat pemecatan bagi Ancelotti. Keterpurukan ini menghadirkan noda dalam karier kepelatihan gemilang Don Carlo.
Bekas gelandang Chelsea di era 90-an, Roberto Di Matteo, adalah figur Italiano lain yang mampu memberi sejumlah gelar bagi The Blues dengan status sebagai pelatih. Walau hanya bertindak sebagai caretaker sampai musim 2011/2012 berakhir akibat pemecatan yang dialami sang pelatih sebelumnya, Andre Villas-Boas, sosok yang akrab dipanggil RDM ini justru sanggup memberi apa yang diinginkan Abramovich, titel Liga Champions.
Tak disangka, penampilan Chelsea di bawah bimbingan Di Matteo memang semakin membaik setelah amburadul selama dipimpin Villas-Boas. Puncaknya tentu saja keberhasilan membungkam Bayern Munchen di partai final Liga Champions. Skor 1-1 yang bertahan sampai 120 menit laga akhirnya dilanjutkan via adu penalti. Di momen itulah Chelsea berhasil mengungguli Bayern dengan kedudukan 4-3.
Prestasi gemilang tersebut melanjutkan apa yang telah digapai RDM dan Chelsea beberapa pekan sebelumnya, menjuarai Piala FA musim 2011/2012 setelah membekap Liverpool dengan skor tipis 1-0.
Pencapaian itu juga yang kemudian membuat manajemen The Blues mengadiahi RDM dengan jabatan sebagai manajer tetap di awal musim 2012/2013. Tapi selayaknya para rekan senegaranya yang pernah menukangi Chelsea, Di Matteo pun menerima surat pemutusan hubungan kerja per November 2012 alias hanya beberapa bulan setelah mengantar Chelsea menjadi klub terbaik di Eropa. Pemecatan itu sendiri disebabkan performa buruk The Blues yang gugur dari Liga Champions di fase penyisihan grup.
Pemecatan Di Matteo sendiri menimbulkan pertanyaan dan protes keras dari para pengamat sepak bola maupun pendukung setia Chelsea. Namun Abramovich yang populer sebagai tukang pecat pelatih tak bergeming.
Dan musim 2016/2017 kali ini, sekali lagi Chelsea kedatangan sosok pelatih asal Italia dalam diri Antonio Conte. Performa yang ditunjukkan penggawa Conte sejauh ini cukup memuaskan dengan bertengger di puncak klasemen Liga Primer Inggris sampai pekan ke-26.
Walau sudah gugur di babak keempat Piala Liga, Conte masih sanggup mempertahankan timnya berlaga di Piala FA yang akan memulai babak keenamnya dua pekan mendatang.
Situasi ini tentu menghadirkan optimisme di kalangan suporter The Blues bila eks manajer Bari dan Juventus tersebut bakal mampu menghadiahi setidaknya satu dari dua gelar yang tersisa itu.
Akankah takdir Conte serupa empat kompatriotnya tersebut?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional