Ribuan tahun yang lalu, di lembah Sungai Nil yang amat subur itu, terdapat seorang raja yang sungguh angkuh dan tiran. Demi memuaskan syahwat yang membelenggu, dirinya bahkan sanggup melakukan apa saja sesuka hatinya.
Ia menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliknya, rakyat ditindas dan diperbudak, perdagangan dimonopoli, sumber daya alam dikeruk untuk perut sendiri. Praktis, hanya golongan tertentu saja yang bisa hidup aman, tenteram dan nyaman.
Konon, iblis pun gemetar bila bertemu sosoknya atau sekadar mendengar namanya. Alasannya sederhana, gelar Firaun alias raja yang disandangnya itu seolah tak cukup hingga kemudian mendaku diri sebagai dewa atau tuhan serta wajib disembah. Sepanjang sejarah peradaban, Firaun adalah satu-satunya manusia yang punya akhlak luar biasa amoral seperti itu.
Membayangkan kehidupan di zaman itu membuat saya bergidik ngeri. Betapa berat tugas yang diemban Nabi Musa demi membebaskan dan menyelamatkan kaumnya dari penindasan dan perbudakan yang dilakukan Firaun.
Sekelumit sirah nabawiyyah di atas kembali menyeruak di dalam otak saya selama beberapa hari terakhir. Tidak, ini sama sekali tak berkorelasi dengan kondisi perpolitikan di negeri tercinta saat ini. Maaf-maaf saja, saya bukan pribadi yang gemar menghabiskan waktu cuma untuk membahas perkara politik yang bebal itu.
Adalah keadaan terkini sepak bola Indonesia yang membuat saya kembali teringat sosok Firaun yang biadab itu. Ini bukan tentang orang-orang yang ada di tubuh PSSI, bukan juga mafia sepak bola yang konon masih asyik menikmati ‘permainannya’ di tubuh sepak bola nasional. Firaun dalam sepak bola kita yang saya maksud kali ini adalah pemegang hak siar televisi.
Dewasa ini, sepak bola tak lagi menggeliat semata-mata sebagai cabang olahraga yang paling digemari di penjuru planet ini. Dengan penggemar yang terus tumbuh setiap waktu, pelan tapi pasti, sepak bola sudah bergerak sebagai industri yang di dalamnya terdapat perputaran uang dalam jumlah gemuk. Ya, sepak bola masa kini adalah bisnis yang kental dengan aroma untung dan rugi.
Salah satu sinyalemen bahwa sepak bola telah berkembang sebagai suatu industri adalah makin maraknya tayangan langsung dari permainan ini di Indonesia, baik kompetisi lokal maupun internasional, via layar kaca maupun streaming internet.
Alhasil, para pendukung Barcelona atau Liverpool di tanah air tak perlu repot-repot menabung sampai puluhan juta agar bisa terbang ke Spanyol atau Inggris demi menyaksikan tim idola berjibaku di atas lapangan secara langsung.
Pun begitu dengan suporter Semen Padang di pulau Kalimantan atau suporter Persipura Jayapura di tanah Jawa. Berbekal televisi, baik saluran lokal maupun kanal berbayar atau kuota internet, mereka sudah bisa menyaksikan tim Kabau Sirah atau Mutiara Hitam bertanding di kandangnya masing-masing dengan mata kepala sendiri.
Suka tidak suka, pencinta sepak bola masa kini pasti amat mensyukuri keberadaan kanal-kanal televisi ataupun saluran internet yang menyediakan akses menonton sepak bola dengan cara yang mudah serta harga yang murah. Karena tanpa hal tersebut, ketinggalan informasi teraktual tentang klub dan pemain idola merupakan sebuah keniscayaan.
Meski demikian, nyatanya situasi ini juga tak sepenuhnya baik, terlebih di Indonesia yang selama beberapa tahun terakhir memang minus pertandingan sepak bola resmi yang diselenggarakan oleh federasi.
Kekosongan kompetisi yang ada disumpal dengan beraneka turnamen sepak bola yang diselenggarakan secara simultan. Mulai dari Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Piala Bhayangkara hingga Torabika Soccer Championship (TSC).
Khusus turnamen yang terakhir, bahkan sampai harus mengorbankan kepentingan tim nasional Indonesia. Kala itu, pelatih timnas Garuda asal Austria, Alfred Riedl, sampai dilarang membawa lebih dari dua orang pemain dari klub-klub yang berlaga di TSC, untuk dibawa bertempur di ajang Piala AFF 2016.
Lebih jauh lagi, sulit bagi kita untuk menampik betapa krusialnya peran pemegang hak siar atas terselenggaranya turnamen-turnamen tersebut. Ditayangkan oleh kanal yang berbeda-beda, faktanya tetap membuat ajang-ajang tersebut dipolitisasi oleh para pemegang hak siar yang menjelma bak seorang Firaun.
Secara luar biasa dan tak disangka-sangka, pemegang hak siar bahkan memiliki hak untuk mengatur jadwal sebuah pertandingan yang ada. Meski hal semacam ini terasa ironis, tapi fakta jika uang benar-benar bisa mengubah segalanya justru semakin membuktikan jika tata kelola sepak bola di negeri ini sungguh tak profesional. Lucu bukan jika panitia penyelenggara selalu tunduk pada kemauan pemegang hak siar?
Tentu masih jelas ada di ingatan kita semua bagaimana tim-tim yang bermain di TSC beberapa waktu lalu dibuat gemas oleh berubah-ubahnya jam tayang suatu laga. Sebagai contoh, satu laga yang melibatkan tim A versus tim B akan diselenggarakan mulai pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Jadwal tersebut didapat setidaknya sepekan jelang laga itu dihelat.
Akan tetapi, hanya sehari jelang pertandingan tersebut dilaksanakan, pihak pemegang hak siar lewat berbagai dalih yang dikemukakan kembali ‘memaksa’ panitia TSC untuk memajukan laga tersebut agar bisa ditayangkan mulai pukul 17.00 WIB.
Ketimbang alasan teknis atau semacamnya, masalah ini sejatinya berkaitan dengan jadwal siar tayangan-tayangan unggulan di kanal tersebut yang brengseknya, mayoritas berupa opera sabun alias sinetron. Walau merasa jengkel, baik panitia penyelenggara dan pihak klub yang akan berlaga mau tak mau harus mengiyakan permintaan tersebut.
Saat merasa semuanya telah beres dan jadwal telah dipastikan, kejadian luar biasa konyol justru kembali terjadi. Kurang dari lima jam pertandingan tersebut digelar, panitia TSC mengumumkan bahwa jadwal laga kembali diubah menjadi pukul 19.00 WIB atau seperti jadwal semula. Kalau sudah begini, siapa yang tak merasa geram?
Hal ini sudah tentu memengaruhi persiapan yang dilakukan oleh kedua tim yang akan bertanding, baik fisik maupun psikis. Para penonton yang sudah membeli tiket laga pun dipastikan ikut ketiban pulung lantaran bingung kapan sebaiknya berangkat ke stadion guna mendukung tim kesayangannya berlaga.
Maka tak perlu heran bila selama penyelenggaraan TSC yang lalu, ada banyak sekali tagar yang bertebaran di media sosial, khususnya Twitter, sebagai wujud protes yang diutarakan suporter kepada pemegang hak siar.
Lalu, apakah hal tersebut benar-benar usai pasca TSC berakhir?
Adalah babak 8 besar Piala Presiden 2017 yang kembali memantik amarah pencinta sepak bola nasional lantaran jadwal tanding yang sudah disusun dan disepakati, tiba-tiba berubah hanya sehari jelang dimainkannya fase penting tersebut.
Menurut jadwal awal, pada hari Sabtu (25/2), laga Madura United melawan Pusamania Borneo F.C. akan dilangsungkan pukul 18.00 WIB dan diikuti laga Mitra Kutai Kartanegara melawan Persib Bandung pukul 21.00 WIB. Sementara di hari Minggu (26/2), duel Bhayangkara F.C. melawan Semen Padang menjadi partai pertama dan Arema F.C. yang mesti berjumpa Sriwijaya F.C. menjadi partai kedua.
Namun laiknya sulap yang hebat, jadwal dari empat pertandingan tersebut berubah. Partai antara Mitra Kukar melawan Persib dimajukan menjadi laga perdana di hari Sabtu sementara duel Madura United dan PBFC menjadi pertandingan kedua. Pun begitu dengan jadwal di hari Minggu, pertemuan Arema dan SFC dimajukan menjadi partai pertama sedangkan duel Bhayangkara melawan Semen Padang digeser menjadi pertandingan kedua.
Tak cukup sampai disitu, konon kabarnya pemegang hak siar pula yang meminta format pertandingan di babak 8 besar diatur sedemikian rupa guna menyesuaikan durasi siaran. Normalnya laga sepak bola akan berlangsung 120 menit (90 menit waktu normal plus dua kali perpanjangan waktu 15 menit) andai laga tetap berakhir imbang, sampai kemudian dilanjutkan dengan adu penalti guna mencari pemenang. Tapi ada aturan spesial di babak 8 besar Piala Presiden 2017, jika hasil laga berakhir imbang sampai 90 menit, maka pemenang akan langsung ditentukan melalui babak adu penalti.
Kini, empat tim telah memastikan langkahnya di babak semifinal yakni Arema, Persib, PBFC dan Semen Padang. Akankah kita, para pencinta sepak bola Indonesia, kembali menemui segala perubahan mengejutkan yang diminta oleh Firaun si pemegang hak siar tersebut, utamanya, di babak semifinal dan bahkan final nanti?
Lantas, bagaimana dengan perjalanan kompetisi resmi PSSI bertajuk Liga 1, Liga 2 sampai Liga Nusantara nanti, akankah bernasib serupa?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional