Kolom Eropa

Si Badut Wayne Shaw  

Layanan Snapchat, Instagram, dan terutama YouTube, telah mengubah sudut pandang kita. Sebagian dari kita tentu sangat familiar dengan cara kerja platform tersebut, bahkan cenderung terisap dan tidak bisa lepas olehnya. Internet 3.0 telah mengubah cara kita berinteraksi.

Seniman Andy Warhol telah memprediksinya 49 tahun yang lalu. Di selebaran (programme) pamerannya di Swedia ia menulis, “In the future, everyone will be world-famous in 15 minutes.” Kata-kata tersebut kemudian berangsur menjadi sebuah terminologi kajian media: ‘15-minutes fame’.

Seiring dengan perkembangannya, teknologi membuat orang menjadi masyhur lewat berbagai medium, entah itu gambar atau video. Kelak, kita mengenal begitu banyak individu yang (sengaja atau tidak) menjadi terkenal. Masih ingat duet mahasiswi Sinta dan Jojo? Norman Kamaru? Atau perlu kita tambahkan reinkarnasi Subcomandante Marcos dalam rupa Awkarin dan rapper muda, Young Lex?

Algoritma tentu berperan besar, tetapi ada juga aspek-aspek lain yang membuat fenomena ini sulit dimengerti. Kelima orang di atas tidak menyangka keisengan atau kegiatan yang mereka unggah di Youtube menjadi tontonan jutaan orang Indonesia.

Lalu kita pun tahu, kelimanya memanfaatkan hal itu dengan menerima berbagai tawaran untuk tampil di TV, bernyanyi atau pun iklan. Young Lex bahkan bersabda: Youtube jauh lebih bermanfaat daripada televisi. Sebaiknya, agar lebih ringkas, kita sepakati saja komentar pemuda ini.

Tapi, kita juga tahu kemudian, bahwa pada akhirnya tidak semua dari mereka akan semakin berkibar dan populer berkat itu. Selain Awkarin dan Young Lex, tiga nama lain justru hilang seperti di telan bumi. Benar-benar instan karier mereka di industri hiburan tanah air. Naik dengan cepat dan turun secepat kilat.

Sama dengan Sinta dan Jojo serta Norman Kamaru, Wayne Shaw, kiper cadangan Sutton United juga berada di persimpangan jalan. Shaw bahkan lebih tragis, ia dipaksa FA untuk mengundurkan diri dari klubnya setelah peristiwa publicity stunt-nya menghebohkan laga Sutton melawan Arsenal.

Publicity stunt pada dasarnya bukan hal yang haram untuk dilakukan. Dalam dunia marketing, ini dilakukan agar suatu produk bisa mendapat perhatian dari banyak pihak, utamanya liputan media. Anda yang sering menghadiri car free day kerap melihat berbagai perusahaan melangsungkan berbagai kegiatan yang sebenarnya sebuah upaya untuk memperkenalkan produk.

Yang menjadi masalah, Shaw melakukannya untuk kepentingan sebuah perusahaan judi, Sun Bets. Anak perusahaan media The Sun inilah yang membuka sebuah taruhan sebelum sepak mula melawan Arsenal itu.

Maka jelas, Shaw telah melanggar peraturan yang dibuat FA. Pemain tidak boleh terlibat dengan perjudian, entah memasang taruhan, apa lagi bermain mata dengan bandar judi (misalnya dengan melakukan gol bunuh diri untuk mengubah hasil pertandingan).

Selain menjadi representasi dari kalimat ‘the magic of the cup’, Shaw juga magnet perhatian setiap penggemar sepak bola. Umurnya hampir mencapai kepala lima. Ia merangkap kerja sebagai pembuat bingkai. Apalagi kalau kita melihat postur tubuhnya. Sebagai kompetisi tertua yang mulai kehilangan pamor, sosok Shaw adalah simbol pahlawan.

“Teruslah bermimpi, anak-anak. Shaw saja bisa mencapainya,” begitu kiranya pesan yang ingin disampaikan. Shaw menjadi bulan-bulanan meski kemarin hari ia mungkin tidak menganggapnya demikian. Ia dieksploitasi kejamnya publisitas. Yang agak aneh, kenapa hanya dia yang dipaksa untuk berhenti, sementara Joey Barton (yang mengaku memasang taruhan sepak bola lebih dari 1.000 kali) hanya dikenai hukuman yang lebih ringan?Atau mungkin saya saja yang terlalu cerewet?

Apapun itu, Shaw telah sadar ini adalah rezeki besar paling mudah yang bisa ia terima. An easy money. Yang perlu dia lakukan hanyalah memakan pai di bangku cadangan dan sebisa mungkin disorot kamera.

Meski dipecat klub, ia telah menggondol uang dari perusahaan judi. Mungkin ia telah memroyeksikan uang tersebut untuk berinvestasi. Lagi pula, Shaw juga memiliki pekerjaan yang lain.

Tetapi yang ingin saya kemukakan adalah, betapa mudahnya jargon FA dikoyak oleh segelintir pihak. Ingat, FA bahkan juga menjuluki Piala FA sebagai “People’s Cup”, pialanya rakyat. Inilah kompetisi di mana tim-tim yang belum pernah tampil di Liga Primer bisa menjajal kekuatan tim-tim sesungguhnya yang biasa mereka lihat di layar kaca.

Inilah kompetisi yang tiap tahun bisa mengulangi keajaiban-keajaiban itu, saat David bisa menumbangkan Goliath. Sutton, yang bermain di kasta kelima sepak bola Inggris, menumbangkan tim sekelas Leeds United yang bermain di Divisi Championship. Selain mereka, Piala FA tahun ini juga menghadirkan nama Lincoln City yang telah mengalahkan Burnley pada ronde kelima (setaraf babak 16 besar).

Shaw, yang satu angkatan dengan Alan Shearer dan Matt Le Tissier di akademi Southampton, telah menodai profesionalitas. Ia tidak hanya menggadaikan mimpinya, tapi juga mimpi rekan-rekan setim dan para penggemar.

Melihat tingkah Shaw seperti melihat seorang mahasiswa yang di bangku kuliah terkenal sebagai aktivis pergerakan, tetapi baru enam bulan setelah lulus langsung tergoda untuk bekerja di bank. Musnah sudah segala aksi dan orasi yang ia lakukan selama menjabat status mahasiswa.

Idealisme tergadaikan demi bisa mengikuti orang-orang kebanyakan (paling-paling kebanggaan semu macam kemampuan mengkredit motor baru atau jalan-jalan ke luar pulau).

Ia mungkin akan dicatat sejarah, tetapi hanya sebagai olok-olok. Kisahnya bisa saja menginspirasi orang-orang, entah di dunia sepak bola maupun kehidupan pada umumnya.

‘Lihat, Shaw sampai harus menunggu puluhan tahun agar namanya dapat dikenal orang. Usaha yang kau lakukan belum seberapa, kawan!’

‘Kalau Shaw saja bisa, mengapa saya tidak?’

‘Shaw telah membuktikan bahwa memiliki tubuh dengan berat badan berlebih bukan suatu masalah. Saya harus tetap percaya diri!’

Kita, para penonton, akan sangat mudah bersimpati dengan kisah-kisah bernarasi ‘from zero to hero’ seperti yang telah dilakoni Jamie Vardy, Carlos Bacca, atau Ricky Lambert.

Sayangnya, Shaw bukan Nicklas Bendtner yang pada Piala Eropa 2012 lalu juga melakukan hal serupa. Setelah menceploskan gol ke gawang Portugal, ia kemudian dikenai denda dan larangan satu kali tampil karena selebrasi golnya menunjukkan celana dalam yang ia kenakan yang disponsori Paddy Power. Lagipula, kemampuan, prestasi dan kemasyhuran Yang Mulia Nicklas Bendtner memang jauh di atas Shaw.

Di tengah-tengah industri yang semakin merosotkan nilai-nilai kebaikan, Shaw menjadikan dirinya sebagai badut: tergoda oleh godaan sejumlah uang yang tidak ada hubungan sama sekali dengan profesi yang ia jalani.

Badut bertugas membuat orang tertawa, Shaw. Itu sudah. Dan kau tahu siapa yang tertawa paling kencang? Orang-orang di Sun Bets.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com