Dunia Kolom

Chan Yuen-Ting yang Mendobrak Dogma

Sejak pertama kali eksis, permainan bernama sepak bola selalu identik dan seolah-olah, hanya diperuntukkan bagi kaum Adam. Salah satu alasan yang kerap dikemukakan adalah cabang olahraga yang satu ini banyak melibatkan kontak fisik seperti tekel dan body charge. Suatu hal yang rasa-rasanya tak layak dilakukan oleh wanita.

Akan tetapi seiring perkembangan waktu, permainan sebelas lawan sebelas ini juga semakin menarik minat kaum Hawa. Mereka seolah tak puas hanya dengan berteriak-teriak menyaksikan para lelaki tampan seperti David Beckham, Irfan Bachdim atau saya, berlarian memeras keringat di atas rumput hijau. Para wanita, dengan segala kelembutan yang dimilikinya, kini juga terjun langsung ke lapangan untuk menggiring dan menendang bola.

Hal semacam ini juga tidak luput dari pengamatan induk organisasi sepak bola dunia (FIFA). Mereka tahu bahwa sepak bola adalah olahraga paling populer di kolong jagat, maka sudah sepantasnya jika semua kalangan, tak terbatas pada kondisi fisik, gender, agama, suku dan ras, bisa memainkannya.

Khusus bagi para wanita, FIFA sendiri telah menginisiasi sebuah kejuaraan seperti yang mereka buat untuk para lelaki bertajuk Piala Dunia Wanita. Turnamen ini mulai dihelat pertama kali pada tahun 1991 yang lalu. Tercatat, sampai hari ini FIFA telah menyelenggarakannya sebanyak tujuh edisi.

Membahas sepak bola dan wanita, ada baiknya jika kita melancong sejenak ke negerinya aktor laga tenar duni, Jackie Chan. Ya, negara yang saya maksud adalah Hong Kong, yang sampai hari ini juga masih tercatat sebagai negara persemakmuran Inggris Raya.

Ada sebuah kejutan yang muncul dari kompetisi yang konon merupakan liga tertua di Asia (karena eksis bahkan sebelum meletusnya Perang Dunia II) ini pada musim 2015/2016 kemarin. Kala itu klub yang bermarkas di stadion Mong Kok, Eastern Sports Club, keluar sebagai kampiun liga.

Lalu apa spesialnya dari gelar juara yang didapat Eastern SC?

Adalah sosok Chan Yuen-Ting, pelatih Eastern SC, yang membuat gelar tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Bukankah itu sama saja dengan Max Allegri yang sukses mengantar Juventus meraih titel scudetto atau Fernando Santos yang membawa Portugal jadi kampiun Piala Eropa?

Tapi apa yang dilakukan memang benar-benar berbeda. Sebab dirinya adalah pelatih wanita pertama yang berhasil membawa sebuah kesebelasan laki-laki meraih titel juara liga! Chan berhasil mendobrak dogma yang bahkan hingga kini dianggap takkan mungkin terjadi dan mungkin, sedikit tabu.

Lewat persaingan yang ketat, Eastern SC menjadi jawara Hong Kong Premier League (HKPL) usai nangkring di puncak klasemen dan unggul satu poin saja dari Kitchee yang mengekor ketat di peringkat kedua.

Berbekal skuat yang punya kualitas seperti Yapp Fung Hai, Wong Chin Hung, Giovane Alves da Silva dan eks pemain Persebaya Surabaya, Andrew Barisic, Chan kemudian meramu taktik yang pas sehingga Eastern SC jadi sangat tangguh dan sulit dikalahkan.

Selama dilatih Chan pada musim 2015/2016, Giovane dan kawan-kawan hanya satu kali tumbang. Maka pantas bila mereka sanggup menggapai titel juara liga usai berpuasa selama 21 tahun.

Perasaan sangsi yang banyak pihak arahkan padanya di awal momen menukangi Eastern SC, berhasil disingkirkan satu per satu dengan cara yang juga sangat apik. Sekarang, publik takkan bisa memandang remeh Chan yang bahkan baru berumur 28 tahun. Setahun lebih muda dari Julian Nagelsmann, yang menghebohkan Bundesliga dengan TSG Hoffenheim.

Lalu bagaimana perjalanan karier sosok yang satu ini sehingga bisa menjadi pelatih kesebelasan Eastern SC?

Bermula dari sebuah program sepak bola yang diadakan oleh asosiasi sepak bola Hong Kong (HKFA), Chan yang saat itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mendaftar. Dari situ, karier Chan di bidang sepak bola dimulai. Chan tumbuh dan berkembang menjadi seorang pesepak bola wanita. Dirinya bahkan masuk sebagai anggota tim nasional wanita Hong Kong.

Namun kariernya sebagai pesepak bola memang tak berlangsung lama, di tahun 2010 Chan memutuskan pensiun demi fokus kepada pendidikannya. Dan pada tahun yang sama pula, dirinya meraih gelar sarjana di bidang geografi.

Keluarga Chan pun menyambut hal itu dengan suka cita sampai akhirnya, Chan justru membuat keputusan yang mengejutkan keluarga dengan kembali ke dunia yang dicintainya, sepak bola. Chan bergabung dengan klub Pegasus untuk menjadi analis pertandingan.

Hingga pada tahun 2012, dirinya hengkang menuju South China untuk mengisi jabatan manajer administrasi. Namun, kariernya di South China tak berlangsung lama karena setahun kemudian dirinya ditawari manajemen Pegasus untuk menjadi asisten pelatih. Menghabiskan waktu selama dua tahun sebagai asisten pelatih Pegasus, di tahun 2015 Chan pindah ke Eastern SC untuk menempati posisi yang sama.

Asal tahu saja, Chan telah mengambil lisensi kepelatihan sejak 2008 atau saat dirinya masih aktif bermain. Lisensi C AFC menjadi yang pertama kali didapatkannya saat itu, hingga kemudian berhasil memperoleh lisensi B AFC dua tahun berselang. Dan pada 2015, Chan berhasil mendapatkan lisensi A AFC.

Sungguh, dada saya sesak mengetahui kenyataan ini dan pikiran saya langsung tertuju pada pelatih-pelatih lokal di Indonesia. Pasalnya, masih banyak sekali dari mereka yang bahkan tak mengantongi lisensi kepelatihan berlevel AFC. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk federasi kita.

Kembali menyoal Chan, berkat pengetahuannya yang mumpuni tentang sepak bola, etos kerja dan sikap yang baik plus mengantongi lisensi A AFC, kubu Eastern SC pun tak ragu untuk mendapuknya sebagai pelatih baru di pertengahan musim 2015/2016. Hal tersebut dilakukan akibat kepergian sang pelatih kepala, Yeung Ching-kwong, menuju Cina guna membesut klub Divisi Satu Liga Cina, Meizhou Hakka.

Di awal masa baktinya sebagai pelatih, Chan pun tak ragu bila dirinya cukup bergantung banyak pada pola dan strategi yang digunakan dari pelatih lawas. Namun seiring berjalannya waktu, Chan terus membenahi segala kekurangan yang dimiliki timnya plus memasukkan ide-ide yang ada di kepalanya.

Chan, dengan sikap rendah hatinya juga menyadari bahwa pria dan wanita kerap memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu. Problematik seperti ini yang membuat Chan tak ragu untuk mengajak anak asuhnya berdiskusi secara langsung. Melalui cara ini pula, Chan kemudian dapat menganalisis apa yang diperlukan timnya.

“Beberapa orang pelatih kurang suka mendengar apa yang disampaikan anak asuhnya karena memiliki metode kepelatihan yang diyakininya. Tapi buatku, mendengar apa yang ada dibenak mereka serta belajar dari hal itu merupakan suatu hal yang penting. Hal tersebut memberiku banyak masukan”, ujar Chan seperti dikutip dari laman resmi asosiasi sepak bola Asia, the-afc.com.

Walau telah menunjukkan bahwa dirinya memiliki kompetensi yang luar biasa, Chan pun dengan rendah hati menyebut bila kesuksesannya menjadi kampiun HKPL musim kemarin berkat keberuntungan yang dahsyat. Mungkin, melebihi keberuntungan yang dimiliki seorang Claudio Ranieri musim lalu.

Tapi jika melihat situasi di HKPL musim 2016/2017, rasa-rasanya keberuntungan bukanlah satu-satunya hal yang membuat Chan berhasil. Sampai tulisan ini dibuat, Eastern SC yang kini dikenal dengan Eastern Long Lions karena berkaitan dengan sponsor, juga masih nyaman duduk di puncak klasemen sementara HKPL.

Klasemen Sementara Hong Kong Premier League. Sumber HKFA.com

Akankah Chan mampu mengantar klub besutannya menjadi juara liga sekali lagi? Tentu sangat menarik untuk mengikuti kelanjutan karier perempuan yang satu ini. Dan mengingat usianya yang masih sangat muda, tak tertutup kemungkinan bahwa Chan bakal meraih kesuksesan demi kesuksesan di masa yang akan datang.

Ladies power itu nyata, Bung!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional