Kolom Nasional

Romansa Tim Kuda Hitam di Liga Indonesia

Semua orang menyukai kisah penuh heroisme. Terlebih apabila sang tokoh utama dari kisah kepahlawan tersebut merupakan sosok yang tidak diunggulkan. Mereka berhasil melawan prediksi banyak orang, namun pada akhir hari, berhasil menjadi pihak yang tersenyum paling lebar. Dalam sejarahnya, sepak bola sebagai olahraga terpopuler di planet bumi banyak menghasilkan cerita kepahlawanan terkait tim kuda hitam yang kemudian membalikkan keadaan. Sebuah tim yang awalnya tidak diperhitungkan justru tampil luar biasa, bahkan dalam beberapa kesempatan bahkan mampu keluar sebagai juara.

Fenomena hebat tentang tim kuda hitam tidak hanya terjadi di Eropa saja. Sepak bola Indonesia sendiri sempat memiliki cukup banyak tim kuda hitam yang kemudian membuat kejutan yang luar biasa. Beberapa terjadi di milenium baru. Berikut diantaranya:

Persita Tangerang (Liga Indonesia 2002)

Daftar ini dimulai dari tim yang rasanya sudah lama sekali tidak berlaga di kompetisi level tertinggi sepak bola Indonesia. Persita Tangerang pada awal-awal milenium baru sempat menorehkan sebuah catatan manis. Kesebelasan berjuluk Pendekar Cisadane ini berhasil menjadi runner-up Liga Indonesia tahun 2002.

Padahal, dalam gelaran musim tersebut skuat Persita lebih banyak dihuni oleh para pemain muda. Untuk pemain asing pun mereka hanya menggunakan Anthony Jommah Ballah dan Olinga Antangana yang dianggap sudah melewati waktu terbaiknya. Dan mereka masih saja berada dalam bayang-bayang tim lain asal Tangerang, Persikota.

Sebelum babak delapan besar dimulai, Persita sebenarnya tidak diunggulkan karena mereka lolos ke babak tersebut di posisi keempat klasemen akhir Wilayah Barat. Poin mereka pun tidak berselisih jauh dari PSPS Pekanbaru, Persikota, dan Pelita KS yang menguntit dibelakangnya. Namun mereka justru kemudian berhasil melakukan sapu bersih dengan berhasil mengalahkan seluruh lawan mereka di Grup K babak delapan besar. Padahal kontestan lain di grup tersebut adalah Persipura Jayapura, Arema Malang, dan Petrokimia.

Di semifinal, skuat asuhan Benny Dollo tersebut berhasil mengandaskan perlawanan kekuatan klasik lain yaitu, PSM Makassar. Berbekal kemenangan di babak delapan besar, Persita cukup percaya diri untuk menghadapi Petrokimia di partai puncak. Sayangnya, harapan untuk juara kandas setelah mereka takluk dari tim asal Gresik tersebut melalui sistem golden goal yang kala itu masih populer.

Persik Kediri (Liga Indonesia 2003)

Persik Kediri adalah contoh kuda hitam terbaik di Indonesia. Persik Kediri memulai liga tahun 2003 dengan status sebagai tim promosi untuk kemudian berhasil menjadi juara di level tertinggi sepak bola Indonesia. Sistem baru satu klasemen dicoba untuk menggantikan format dua wilayah yang dirasa cukup sulit untuk dijalankan waktu itu. Persik kemudian berhasil menjadi yang terbaik dari total 18 tim yang berlaga pada kompetisi tersebut.

Berbeda dengan ketika mereka berhasil menjadi juara nasional untuk kedua kalinya pada tahun 2006, pada edisi 2003, skuat Persik bisa dibilang lebih sederhana. Namun sifat bersahaja inilah yang kemudian membawa Persik berhasil menjadi juara. Keberhasilan klub berjuluk Macan Putih ini juga seakan menggambarkan bahwa mereka berhasil melakukan apa yang tidak berhasil dilakukan oleh Persita di musim sebelumnya.

Persekabpas Pasuruan & Persmin Minahasa (Liga Indonesia 2006)

Liga Indonesia edisi 2006 mungkin bisa dibilang sebagai musimnya tim-tim kuda hitam. Generasi yang besar pada era 2000-an tentu masih ingat bagaimana Persekabpas Pasuran tampil mengejutkan sepanjang kompetisi. Ini juga menjadi waktu pertama kalinya sepak bola Indonesia mengenal nama Zah Rahan Kranggar.

Tim yang kala itu ditangani oleh Subangkit tersebut lolos ke babak delapan besar dengan status peringkat empat di klasemen akhir Wilayah Barat. Keperkasaan Persekabpas yang paling terlihat adalah ketika mereka berlaga di babak delapan besar. Tergabung dengan Persija Jakarta, PSM Makassar, dan Persmin Minahasa.

Semua pihak tentu lebih banyak memfavoritkan Persija dan PSM untuk melaju. Tetapi kenyataanya justru dua tim tersebut dihantam oleh Persekabpas. Persija takluk dengan skor 3-1, sementara PSM dihajar dengan skor telak 5-1. Pada pertandingan melawan PSM tersebut, winger muda, Siswanto berhasil mencatatkan hattrick.  Satu-satunya tim yang berhasil menahan imbang Persekabpas adalah tim kejutan lain, Persmin Minahasa.

Banyak orang lebih melihat Persekabpas sebagai tim kejutan pada musim tersebut. Padahal Persmin Minahasa juga melakukan hal yang juga tidak terduga. Bukan kekuatan klasik, kesebelasan asal Tondano, Sulawesi Utara tersebut berhasil tampil mengejutkan dengan menjadi pemuncak klasemen akhir Wilayah Timur Liga Indonesia 2006. Di hari pertama kompetisi saja, mereka sudah luar biasa dengan berhasil menang atas PSM Makassar.

Dua pemain asing, Jorge Toledo dan Daniel Campos menjadi aktor kunci kesuksesan Persmin pada musim tersebut. Campos menjadi pencetak gol utama tim dan berhasil menyarangkan 11 gol sepanjang musim. Sementara Toledo adalah penyuplai utama untuk Campos. Skuat asuhan Djoko Malis kemudian melaju ke semifinal mendampingi Persekabpas Pasuruan.

Sayang laju kedua tim kejutan tersebut hanya sampai babak semifinal. Persekabpas tampil menyulitkan dan hanya kalah tipis dari PSIS Semarang. Sementara itu, Persmin takluk dengan skor 3-1 dari Persik Kediri yang kemudian keluar sebagai juara pada Liga Indonesia edisi tersebut.

Persiwa Wamena (Liga Super Indonesia 2008)

Hasil akhir dari kompetisi Liga Super Indonesia edisi perdana mungkin tidak terlalu banyak mengejutkan. Persipura Jayapura keluar sebagai juara dari kompetisi sistem satu klasemen setelah lama memakai sistem dua wilayah. Tetapi yang mengejutkan adalah kesebelasan yang menguntit Persipura di posisi kedua. Bukan Persija, bukan Sriwijaya FC atau PSM Makassar yang mengejar tim Mutiara Hitam. Adalah saudara muda mereka dari tanah Papua, Persiwa Wamena yang berpacu dengan mereka di klasemen Liga Super Indonesia tahun 2008.

Persiwa sulit dikalahkan di Wamena bukan sekedar mitos. Jarak yang jauh serta suhu udara Wamena yang dingin menjadi kesulitan bagi tim-tim lain ketika bertanding di sana. Suhu normal di Wamena pada siang hari saja bisa berada dibawah dalam suhu belasan derajat. Berbeda dengan kebanyakan wilayah di Indonesia yang relatif lebih hangat. Penampilan trio Erick Weeks Lewis, Boakay Edy Foday, dan Peter Rumaropen pun semakin membuat Persiwa sulit dikalahkan, utamanya saat laga kandang.

Namun segala sesuatunya berjalan lebih sulit dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2013, mereka terdegradasi dari Liga Super. Bahkan lebih menyulitkannya lagi, pada tahun 2015 mereka hampir saja terdegradasi dari Divisi Utama ke Liga Nusantara karena kesulitan keuangan.

Persib Bandung (Liga Super Indonesia 2014)

Anda boleh menyangkal Persib Bandung masuk dalam daftar ini. Tetapi harus Anda akui bahwa sebelum gelaran Liga Super Indonesia musim 2014, tidak ada satupun pihak yang menjagokan bahwa klub berjuluk Maung Bandung tersebut bisa menuntaskan dahaga gelar juara kompetisi nasional mereka yang sudah terjadi selama kurang lebih dua dekade.

Ditinggal penyerang utama mereka, Sergio Van Dijk, Persib Bandung kemudian lebih banyak dipenuhi nama-nama senior yang banyak pihak menganggap bahwa masa mereka di sepak bola Indonesia sudah lewat. Apalagi untuk mengganti Sergio, manajemen hanya mengontrak Djibril Coulibaly yang datang satu paket dengan gelandang serang Makan Konate.

Kedua pemain ini punya kualitas namun awalnya tidak dianggap spesial karena Barito Putera pun tidak berhasil mereka bawa melaju jauh di liga edisi sebelumnya. Namun ternyata, terutama Konate, kemudian menjadi sosok yang sangat spesial. Bahkan hingga kini Persib masih kesulitan mencari penggantinya.

Melaju ke babak delapan besar sebagai runner-up Wilayah Barat, Persib kemudian harus berhadapan dengan Mitra Kukar, rival sekota, Pelita Bandung Raya dan juga pemuncak klasemen Wilayah Timur, Persebaya Surabaya.

Meskipun sempat kesulitan, Persib kemudian berhasil melaju ke babak semifinal. Pada fase ini juga mereka tidak diunggulkan. Banyak pihak menyebut bahwa final ideal adalah mempertemukan Arema dan Persipura yang memang memiliki tradisi juara.

Namun yang terjadi kemudian justru di luar perkiraan. Melalui tren yang sama, yaitu tertinggal terlebih dahulu, Persib kemudian menaklukkan Arema di babak semifinal. Dan puncaknya, mengalahkan Persipura di partai final melalui babak adu penalti. Eksekusi penalti penentu kemenangan dari Achmad Jufriyanto di Gelora Jakabaring 7 November 2014 akan selalu dikenang dan tercatat dalam sejarah.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia