Joey Barton kembali berulah. Gelandang beringas yang pada jendela transfer Januari lalu kembali ke Burnley, terbukti telah melanggar peraturan yang melarang pemain sepak bola untuk berjudi.
Seperti yang dilansir BBC (3/2), asosiasi sepak bola Inggris, FA menindak Barton dengan memberi sanksi larangan tampil sepanjang 12 pertandingan. Selain itu, pemain yang pernah membela Marseille itu juga didenda uang.
Tidak tanggung-tanggung, Barton telah bertaruh di meja judi sebanyak 1.260 kali. Hal tersebut terjadi dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun, sejak 26 Maret 2006 sampai 13 Mei 2016. Sejak 2014, FA telah menetapkan larangan bagi seluruh pemain di 8 kasta sepak bola Inggris untuk bertaruh. Otoritas sepak bola tertua di dunia itu tidak hanya melarang pemain dalam perjudian skor, tapi juga transfer pemain, tebak-tebakan manajer baru, dan sebagainya.
Perjudian yang menyangkut olahraga-olahraga lain juga dilarang. FA mensosialisasikan kampanye ini dengan tajuk “Let’s keep the game special.”
Barton sendiri menerima keputusan tersebut. Pemain berusia 34 tahun tersebut menjadi satu dari sekian pemain-pemain bola yang berurusan dengan masalah judi. Tak pelak ini turut menambah catatan hitam di portofolio sepak bola Barton. Kariernya mencolok, tetapi bukan oleh prestasi.
Judi dan sepak bola
Judi dan sepak bola adalah dua sisi dalam satu koin yang sama. Judi merupakan perilaku sosial kuno yang telah menyertai peradaban sejak lama. Ia menempati posisi yang sama dengan pelacuran.
Sejarah merekam jejak-jejak perjudian telah muncul sejak tahun 2300 SM di Cina. Tim penulis di situsweb Goaldentimes mencatat bahwa judi telah mengiringi sepak bola Inggris pada 1923.
Di Inggris era Premier League sendiri, banyak pemain yang akhirnya mengaku bahwa judi telah menyandera karier mereka. Paul Merson, eks pemain Arsenal dan Aston Villa ini menceritakannya secara blak-blakan dalam otobiografinya, How Not to Be a Professional Footballer (2012).
Dalam buku tersebut, Merton mencurahkan hatinya, “Di titik terendah saya sebagai pejudi, malam sebelum pertandingan tandang bersama Aston Villa, saya duduk di tepi kasur di sebuah hotel di Bolton dan berpikir untuk menghancurkan jari-jari saya. Saya sedemikian merananya untuk menahan agar tidak menelpon dan kembali memasang taruhan.”
Masih menurut Merson, “Di fase kehidupan saya tersebut, saya menghamburkan uang sekitar tujuh juta paun untuk para bandar judi dan saya ingin sekali untuk berhenti, tetapi saya tidak bisa, taruhan-taruhan yang ada selalu tampak menggoda.”
Judi adalah pelumas industri sepak bola. Situs-situs judi dapat dengan mudah kita lihat di seragam para pemain, atau di tepi lapangan. Perjudian sepak bola semakin marak seiring berkembangnya internet. Di Inggris sendiri, tercatat ada lebih dari 9.000 rumah judi (betting shop). Beberapa pemain besar yang kita kenal antara lain William Hill, Ladbrokes, atau Coral. Irlandia terkenal menjadi rumah dari Paddy Power.
Tahun 2013, Darren Small, direktur integritas dalam berjudi dan analis data olahraga Sportradar mengatakan, “Estimasi terkini, mencakup pasar ilegal serta legal, mengatakan bahwa industri judi olahraga memiliki nilai antara 700 miliaar dolar dan 1 triliun dolar per tahun,” ungkapnya kepada BBC.
Budaya dan godaan membuat pemain-pemain seperti Barton turut mengadu nasib, bertaruh bersama para pejudi lain. Seorang konsumen judi dapat menempatkan taruhan dengan cara yang mudah. Ia tinggal datang ke salah satu rumah judi. Kalau malas, bisa melalui saluran telepon maupun internet.
Beberapa pemain EPL yang terungkap memiliki kebiasaan berjudi di antaranya David Bentley, Andros Townsend, Dietmar Hamann, dan Keith Gillespie. Sama seperti Merson, Didi Hamann kini juga berprofesi sebagai pengamat sepak bola.
Rumah atau bursa taruhan ini kemudian memainkan peran penting dalam menyemarakkan sepak bola. Di keriuhan jendela transfer, banyak penggila bola yang menjadikan mereka acuan dalam menebak pemain mana yang akan dibeli klub pujaan mereka. Begitu pun di gonjang-ganjing pemecatan manajer.
Judi menjadi semarak karena ia memfasilitasi salah satu sifat manusia, yakni ketamakan. Selain itu, Samantha Gluck di situs Healthy Place menjelaskannya dari sisi psikologi. Manusia berjudi karena empat hal. Pertama, keasyikan dalam berjudi, atau pengambilan risiko (risk-taking). Kita akan dibuat antusias melihat apakah nomor yang kita pilih keluar di meja judi.
Kedua, judi merupakan sarana pelarian diri yang ampuh (escapism). Ketika berjudi kita sejenak lari dari masalah sehari-hari yang mendera. Ketiga, judi terkait dengan sesuatu yang glamor sehingga mengundang partisipasi orang-orang untuk turut merasakan kemewahan yang ditawarkan. Terakhir, judi juga merupakan wahana sosial. Dalam berjudi kita berinteraksi dengan banyak orang dalam kontur permainan yang mengasyikkan.
Masa Depan Barton
Mendengar nama Barton, maka yang terbayang adalah sosok pemain ala kadarnya yang reputasinya mencuat karena hal-hal kontroversial. Semua itu ia lakukan baik di dalam maupun luar lapangan sepak bola.
Meski begitu, Barton sanggup memoles citranya sehingga memiliki perwujudan baru sebagai selebriti sepak bola. Ia dengan cuek memberi komentar-komentar di Twitter terkait soal apa saja. Barton juga dikenal dekat dengan musisi Manchester dan pentolan Oasis, Noel Gallagher.
Kebengalan pemain yang pernah mengajak cekcok Zlatan Ibrahimovic kala membela Marseille ini dimungkinkan untuk memiliki citra demikian, karena publik senang dengan hal-hal sensasional seperti ini. Pesepak bola piawai dan memiliki citra positif di luar lapangan sudah terlalu banyak.
Apapun itu, sanksi yang diberikan FA akan membuat pesepak bola yang gemar berjudi untuk segera insaf. Masalahnya, jika pemain turut bertaruh, maka ia bisa mengubah hasil pertandingan. Judi kemudian lekat dengan skandal-skandal pengaturan skor yang didalangi mafia.
Sangat mengiris hati tentunya jika suatu hari nanti kita dijejali fakta bahwa pertandingan-pertandingan yang kita saksikan merupakan hasil scenario, bukan?
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com