Eropa Inggris

Sumbu Pendek Granit Xhaka

Melawan Burnley, yang sebelum menyambangi Arsenal tak pernah kalah di lima laga sebelumnya, anak asuh Arsene Wenger tampil kepayahan. Kebuntuan baru bisa pecah di menit 59 lewat tandukan Shkodran Mustafi yang memanfaatkan sepak pojok Mesut Ozil.

Namun, fakta bahwa Arsenal bermain di depan pendukung sendiri, ditambah keunggulan satu gol tersebut, tak membuat Granit Xhaka matang dalam bertindak. Setelah umpannya dapat dipotong pemain Burnley, Steven Defour, Xhaka tanpa berpikir panjang merengsek maju ke arah pemain Belgia tersebut sambil menyorongkan kedua kaki.

Hasilnya? Kartu merah langsung dari Jon Moss. Dua kartu merah Jon Moss musim ini, keduanya hasil dari tekel ceroboh eks pemain Borussia Moenchengladbach ini. Setelah sebelumnya Xhaka diusir keluar Moss saa laga kontra Swansea di Emirates.

Tekel Xhaka memang hanya sedikit mengenai kaki Defour. Pun Defour sedikit berkelit sehingga benturan tidak terlalu keras. Tapi bukan tanpa alasan tekel dua kaki menjadi praktik terlarang dalam permainan ini. Peraturan tersebut dibuat untuk melindungi pemain dari bahaya cedera.

Padahal Xhaka seharusnya juga tahu, ia kehilangan bola bukan di tempat rawan. Bola terputus saat Arsenal melakukan serangan (di tengah lapangan), dan masih ada Laurent Koscielny serta Nacho Monreal yang mundur untuk berjaga-jaga bila bola yang dicuri tersebut menghasilkan serangan balik.

Tekel Xhaka merupakan buah dari perseteruannya dengan Defour di menit 25. Sempat beradu mulut, pemain Swiss tersebut hanya diperingati wasit. Beruntung di pertandingan ini Arsenal masih mampu mencuri kemenangan di menit 90’ lewat penalti Alexis Sanchez.

Menambah Krisis

Tindakan Xhaka ini semakin menjengkelkan pendukung Arsenal karena tim mereka sedang dilanda krisis pemain. Santi Cazorla, sang metronome, masih dilanda cedera. Mohammed Elneny sedang absen karena menjalani tugas negara bersama Mesir di Piala Afrika dan melaju hingga babak final. Sementara Aaron Ramsey, masih saja kebingungan mengembalikan performa terbaik seperti yang pernah ia praktikkan di musim 2013/14.

Kemenangan 5-0 atas Southampton di Piala FA tidak bisa dijadikan ukuran karena Claude Puel pun menurunkan tim lapis kedua. Penyakit lama Arsenal langsung terpampang di pertandingan EPL selanjutnya kontra Watford.

Selain melakukan blunder yang menghasilkan gol kedua Watford, di pertandingan itu Ramsey juga mengalami cedera sehingga diragukan untuk tampil melawan Chelsea akhir pekan (4/2) nanti. Jika kalah, selisih poin dengan London Biru semakin sulit dikejar The Gunners sehingga harapan untuk meraih trofi Liga Inggris (nyaris) kembali musnah.

Karena kartu merah yang ia dapat merupakan kartu merah langsung (bukan akumulasi kartu kuning), maka Xhaka diganjar larangan bermain sebanyak 3 kali sehingga Wenger dipusingkan dalam meramu komposisi tim untuk menghadang laju Chelsea. Kemungkinan besar, Le Prof akan menduetkan Alex-Oxlade Chamberlain dengan Francis Coquelin sebagai duet gelandang di skema 4-2-3-1 andalannya.

Belum Membuktikan Banderol

Tak lama setelah musim 2015/16 berakhir, Arsenal mengejutkan khalayak dengan pembelian dini Granit Xhaka dari Borussia Moenchengladbach. Arsenal, kita tahu, bergerak selamban lari Per Mertesacker di setiap bursa transfer.

Adik dari Taulant Xhaka ini diharapkan menambal lini tengah Arsenal yang ditinggal Mikel Arteta dan Mathieu Flamini yang kontraknya berakhir di tim London Utara tersebut. Reputasinya sebagai pemain muda berbakat yang sejak 2011 dipercaya masuk skuat tim nasional Swiss memekarkan bunga-bunga harapan di benak suporter Arsenal. Banyak pula dari mereka yang tidak merasa kehilangan saat Wenger melepas Jack Wilshere untuk dipinjamkan ke AFC Bournemouth.

Kiprah Xhaka sebenarnya tidak terlalu buruk. Tapi peristiwa ini membuat saya berpikir keras mengapa riwayat pencarian ‘the next Vieira’ terus-terusan menghantui klub yang pernah sedemikian perkasa ini.

Patrick Vieira adalah salah satu prototipe gelandang multiguna. Tubuhnya yang liat menjulang tak menghambatnya untuk memainkan peran vital yang membuatnya kerap diberi label gelandang terbaik era Premier League.

Vieira pun dikenal memiliki sumbu emosi yang pendek. Bersama Richard Dunne dan Duncan Ferguson, pemain Perancis kelahiran Senegal ini masih mencatatkan dirinya sebagai pemegang kartu merah terbanyak di Liga Inggris. Tetapi dengan sederet prestasi dan figur kepemimpinan yang ia miliki, perbandingan Vieira dengan Xhaka terlalu timpang.

Apalagi jika kita melihat fakta bahwa kartu merah tersebut merupakan yang kesembilan yang diraih Xhaka sejak 2014 (untuk klub dan timnas). Bukan prestasi yang bisa dibanggakan, tentu saja. Garangnya permainan Vieira terkesan sebagai usahanya menjaga marwah Arsenal, klub yang meminangnya usai kariernya di Internazionale seperti mentok tidak berarah. Sementara kartu demi kartu yang diterima Xhaka adalah tabiat yang jika tidak bisa ia ubah, hanya akan merugikan diri dan timnya sendiri.

35 juta paun yang menjadi mahar Arsenal untuk meminangnya takkan sebanding dengan rekor Paul Pogba, sehingga Xhaka belum mendapat tekanan berarti. Tetapi, patut disadari juga bahwa bukan tanpa alasan Wenger menjadikannya pemain keempat termahal sepanjang sejarah Arsenal.

Konon, mengapa kepindahannya ke Ashburton Grove terkesan begitu mudah, disebabkan oleh upaya Wenger dan klub yang sudah mengadakan kontak dengan pihak Xhaka dan Moenchengladbach sejak pertengahan musim lalu. Wenger dan Arsenal memang mengidamkan jasa Xhaka untuk unjuk gigi di Liga Inggris.

Meski sempat menyudahi puasa dengan menggondol dua Piala FA, suporter Arsenal masih terbelah. Mereka merasa Wenger sudah kehilangan sentuhan sehingga nyanyian “Arsene Wenger’s Magic” sudah jarang berdengung di Emirates Stadium. Salah satu dari begitu banyak sebabnya (mungkin), karena Wenger belum juga menemukan pengganti Vieira: sosok gelandang pemimpin yang tidak hanya tampil bagus satu-dua musim.

***

Arsenal secara harfiah berarti gudang peluru. Dinamakan demikian karena klub itu didirikan para pekerja pabrik senjata di penghujung abad ke-19. Sejak berdiri hingga detik ini, meriam selalu ada di logo klub. Hanya berganti model dan corak warna saja, walau semuanya masih dominan warna merah. Secara simbolis, daya ledak itu pernah terjawantahkan dalam permainan meledak-ledak di awal milenium ketiga.

Sayangnya, alih-alih menjadi daya gedor tim atau penyuplai umpan-umpan maut, sumbu pendek yang dimiliki Xhaka justru sering meledak dan merugikan timnya sendiri.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com