Menurut kbbi.web.id, kata dominasi bermakna penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi sampai olahraga. Jadi, ketika yang lebih kuat menang atau tetap berkuasa, Anda tak perlu repot-repot mengernyitkan dahi walau dalam hati, keinginan untuk melihat yang kuat tumbang juga tak pernah surut.
Di bidang sepak bola, dalam setiap kompetisi pasti selalu menghasilkan faksi-faksi yang punya dominasi kuat. Tentunya hal tersebut tidak terjadi dalam sekejap mata, namun melalui serangkaian proses yang butuh waktu panjang dan rumit.
Untuk kompetisi antar negara bertajuk Piala Dunia misalnya, meski dalam tiga pagelaran terakhir paceklik titel, nama tim nasional Brasil pasti akan tetap dikedepankan sebagai kesebelasan yang dominan karena mempunyai catatan lima title juara. Selain itu, Brasil jadi satu-satunya negara yang tak pernah absen dari pesta sepak bola antar negara paling megah sedunia itu semenjak Piala Dunia dihelat kali pertama pada tahun 1930 silam.
Beralih ke ajang Piala Asia, koleksi empat gelar yang dimiliki timnas Jepang merupakan justifikasi nyata perihal dominasi mereka. Terlebih, keempat titel tersebut direngkuh dalam kurun dua dekade terakhir. Pada periode ini pula, tak ada negara lain di benua kuning yang bisa menyamai pencapaian yang dibuat oleh kubu Samurai Biru.
Sekarang, mari kita meluncur ke benua seluas kurang lebih 30 juta km persegi dengan populasi sekitar 1,1 miliar orang bernama Afrika. Selayaknya kontinen-kontinen lain yang induk organisasi sepak bolanya memiliki hajatan besar berupa turnamen sepak bola antar negara, Afrika melalui CAF (Confederation of African Football) juga punya perhelatan megah bertajuk Piala Afrika.
Tahun ini, Piala Afrika telah memasuki penyelenggaraan yang ke-31 sejak pertama kali digelar pada tahun 1957 yang lalu. Selama itu pula, Piala Afrika memiliki juara-juara yang berbeda. Mulai dari Afrika Selatan sampai Zambia. Total, ada 14 negara yang pernah mencicipi manisnya jadi penguasa di benua hitam. Akan tetapi, ada satu negara yang dominasinya telah menancap tajam dan belum bisa ditandingi negara-negara lainnya, tak lain tak bukan adalah Mesir.
Negara yang dalam agama Islam memiliki kaitan erat dengan kisah Nabi Musa yang melawan tirani dan kekejian Raja (sekaligus mendaku dirinya sebagai Tuhan) Firaun ini, memang terkenal sebagai negara yang punya torehan emas di Piala Afrika. Secara keseluruhan, Mesir telah merengkuh tujuh titel Piala Afrika.
Piala Afrika edisi perdana di tahun 1957 menjadi tempat awal Mesir mengukir sejarah tersebut. Tak butuh waktu lama bagi The Pharaohs, julukan timnas Mesir yang juga bermakna Pasukan Firaun, untuk menggondol titel kedua. Trofi kedua di ajang Piala Afrika didapat dua tahun berselang alias Piala Afrika 1959 walau saat itu Mesir bernama Republik Kesatuan Arab.
Setelah itu, dominasi Mesir sempat mandek dalam jangka waktu yang cukup lama. Baru pada tahun 1986 atau berselang 27 tahun kemudian, Mesir kembali muncul sebagai penguasa Afrika. Kala itu Pasukan Firaun berhasil memanfaatkan kondisi sebagai tuan rumah Piala Afrika.
Berjarak 12 tahun, Mesir mencaplok gelar keempatnya kala berlaga di Piala Afrika 1998 yang dimainkan di Burkina Faso. Di babak pamungkas, Mesir yang saat itu diperkuat oleh Hossam Hassan berjumpa Afrika Selatan yang dipimpin oleh Lucas Radebe dan berstatus sebagai juara bertahan.
Dua gol cepat berhasil dibukukan Mesir lewat Hassan di menit ke-5 dan Tarek Mostafa di menit ke-13. Sepasang gol tersebut tak bisa dibalas sebiji pun oleh skuat Bafana-Bafana sehingga Hassan dan kawan kawan berhak mengangkat trofi juara di depan 40.000 pasang mata yang memadati stadion Du 4-Aout, venue laga final.
Usai mengoleksi empat titel, Mesir justru semakin menjadi-jadi. Hadirnya sosok Hassan Shehata menjadi kunci kelahiran era emas Pasukan Firaun. Lelaki yang semasa karier sepak bolanya sebagai pemain berposisi sebagai penyerang ini sukses membawa Mesir menjadi negara pertama yang keluar sebagai kampiun Afrika tiga kali berturut-turut alias three-peat. Gelar-gelar itu diperoleh pada Piala Afrika 2006, 2008 dan 2010.
Lebih jauh, di tiga pagelaran itu, Mesir mencatat rekor amat gemilang. Bermain sebanyak 18 kali, mereka mampu menang sebanyak 15 kali dan hanya 3 kali seri. Di Piala Afrika 2010, Mesir bahkan mengukir rekor dengan selalu memenangi laga sejak babak penyisihan grup final. Kalah? Maaf-maaf saja, ketika itu mereka tak menyimpan kata tersebut dalam kamusnya.
Usai meraup sejumlah kesuksesan tersebut, timnas Mesir mengalami penurunan prestasi. Per 2011, Shehata tak lagi menjabat sebagai pelatih. Lebih jauh, kondisi sosial-politik akibat Arab Spring yang bergejolak dalam rentang 2011-2014 di Mesir memang berpengaruh cukup signifikan atas loyonya timnas dengan kostum utama berwarna merah ini. Momen yang dikenal sebagai Revolusi Mesir itu sendiri pada akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun.
Pada Piala Afrika 2012, 2013 dan 2015, Mesir bahkan tak sekalipun lolos dari babak kualifikasi. Untuk kali pertama dalam sejarah, timnas Mesir absen tiga kali beruntun dari Piala Afrika. Kehadiran bekas pelatih timnas Amerika Serikat, Bob Bradley, bahkan tidak banyak menolong ketika itu. Dominasi Mesir pun bagai hilang tanpa jejak.
Datangnya pelatih gaek asal Argentina, Hector Cuper, pada Maret 2015 kemarin akhirnya sukses membuat perubahan berarti bagi Mesir. Pelatih yang sudah kenyang makan asam garam sebagai pembesut kesebelasan-kesebelasan beken Eropa seperti Internazionale Milano dan Valencia ini sanggup membuat timnas Mesir kembali tampil menggigit.
Berbekal skuat yang mumpuni, diisi oleh pemain-pemain jempolan yang bermain di Eropa seperti Ahmed El Mohamady (Hull City), Mohammed Elneny (Arsenal), Ahmed Hassan (Sporting Braga) dan Mohammed Salah (AS Roma) plus beberapa penggawa senior yang mentas di liga lokal, macam kapten tim, Essam El Hadary (Wadi Degla) dan Ahmed Fathy (Al Ahly), skuat yang ditukangi Cuper jelas punya kualitas ciamik.
Pada turnamen resmi debutnya bersama Mesir, Piala Afrika 2017, Cuper berhasil mengantar anak asuhnya menjejak babak final. Ini merupakan final kesembilan Mesir di sepanjang sejarah penyelenggaraan Piala Afrika. Laga ini sendiri akan jadi bigmatch karena lawan yang dihadapi Mesir bukanlah tim liliput, namun jawara Piala Afrika empat kali, Kamerun.
Tujuh gelar juara sudah membuat Mesir berhak mendaku sebagai raja Piala Afrika. Namun titel kedelapan pasti menggoda Salah dan kawan kawan untuk menahbiskan diri sebagai tim paling dominan di benua hitam. Karena seperti sejarah panjang Firaun di Mesir, tidak ada yang lebih manis selain status sebagai hegemon tunggal, bukan?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional