Tidaklah prematur untuk mengatakan Indonesia bisa menjadi juara. Itu tetap memungkinkan. Vietnam dan Thailand mungkin masih lebih kuat tapi tidak ada tim mana pun (di Asia Tenggara) bisa melakukan seperti Merah Putih ketika berubah jadi semangat, energi serta intensitas (etos permainan).
Kalimat di atas adalah laporan pertandingan dari koresponden sepak bola Asia The Guardian, John Duerden, sesaat usai timnas Garuda membekap Vietnam dengan skor 2-1 di semifinal pertama Piala AFF 2016, Sabtu (3/12) lalu. Duerden juga menganggap timnas Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki tiga semifinalis lainnya, semangat untuk menyerang. Bukan hal yang aneh memang, mengingat catatan shots yang dibuat Boaz Solossa dkk. mencapai 37 tendangan. Terbanyak di antara Thailand dan Vietnam sekalipun.
Tapi, apakah catatan statistik tersebut mendasari alasan untuk menjagokan tim Merah Putih sebagai juara? Jawabannya mungkin beragam, tergantung bagaimana sudut pandang kita dalam melihat konstelasi sepak bola Asia Tenggara yang berporos pada kekuatan Thailand setahun terakhir. Tapi kita perlu ingat satu hal unik, 2016 adalah tahunnya para non-unggulan untuk berjaya.
Semua dimulai dengan dongeng dari kota Leicester kala Claudio Ranieri dan anak asuhnya mengangkangi status quo tim-tim langganan papan atas dan menjuarai Liga Inggris dengan keunggulan 10 poin dari Arsenal di tempat kedua. Leicester mengawali apa yang mungkin saya sebut, semangat para liyan, untuk menggedor kenyamanan tim-tim unggulan. Sekaligus, ini poin pentingnya, mengembalikan keasyikan sepak bola sebagai sesuatu yang tidak bisa diprediksi sama sekali.
Seakan membuka keran gelombang kejutan dari tim underdog, sensasi Leicester City dilanjutkan timnas Portugal kala mengalahkan tuan rumah Prancis di final Piala Eropa 2016 untuk merengkuh titel Eropa pertama mereka sepanjang sejarah. Untuk membuatnya lebih monumental, gol tunggal kemenangan Seleccao Das Quinas bukan lahir dari kaki mahal Cristiano Ronaldo, tapi dari tendangan jarak jauh striker berkulit hitam, Ederzito.
Musim baru yang dimulai per Agustus 2016 pun memiliki banyak kejutan tersendiri. Salah satu contoh, bercokolnya RB Leipzig, tim promosi yang memimpin klasemen sementara Bundesliga dengan keunggulan tiga angka dari juara bertahan, Bayern Muenchen. Atau sensasi klub papan tengah Brazil, Chapecoense, yang baru saja ditahbiskan menjadi juara Copa Sudamericana 2016. Walau tentu saja, perayaan gelar itu diiringi dengan nestapa yang memilukan akibat tragedi pesawat di Medellin, Kolombia (29/11) lalu.
Indonesia adalah underdog
Menjadi underdog bukan berkah, walau tak juga bisa dikatakan sebagai nasib buruk. Menjadi non-unggulan adalah perkara kamu menjadi yang tidak difavoritkan. Kamu tidak masuk hitungan. Kualitasmu tidak cukup untuk membuat orang sekitarmu mempertimbangkanmu sebagai ancaman.
Bayangkan sebuah kelas. Di sistem pendidikan kita yang masih menggunakan peringkat untuk menentukan si bodoh dan si pintar, para underdog adalah kalian yang harus selalu mengikuti pengulangan di tiap ujian. Mendapat teguran dari guru karena nilai yang tak memenuhi standar kompetensi, hingga kritikan akan kecerdasan intelektual kita yang dipandang buruk dan rendah. Tapi berada di posisi ini, bekerja dan bersaing di bawah radar, membuat kita tampil tanpa beban. Membuat kita bisa belajar tanpa memenuhi target. Tidak ada standar tinggi yang ditetapkan untuk kita. Kita bekerja di luar tekanan. Kita bersaing dan berkompetisi tanpa diberi label oleh media sebagai “unggulan”.
Label underdog itu membuat semuanya menjadi lebih mudah. Label underdog membuat semua terasa ringan dan menyenangkan. Label yang membuat perjuangan kita menuju sukses menjadi lebih lapang, lebih santai dan tentu saja, bebas dari prasangka negatif. Tapi bayangkan efeknya ketika Anda sukses. Pujian berdatangan dari segala arah. Semua melabeli kisah Anda sebagai “Si Sukses”. Media memberi julukan “dongeng” untuk setiap kisah perjuangan kita. Dan di atas semua itu, kesuksesan sebagai non-unggulan membuat kita percaya satu teori penting di takdir kehidupan bahwa sukses itu milik semua orang. Dari semua lapisan, dari semua golongan, dari semua ras, suku dan agama apapun, hard work never betray.
Berangkat dari itu semua kenapa kita perlu dengan optimis menggaungkan kalimat ini, “Di Hanoi Kita Berpesta, Bung!”
Lho, belum pasti masuk final, kenapa harus berpesta di kandang Vietnam?
Justru disitulah letak esensi penting kenapa kita harus merayakan partai semifinal kedua di Hanoi nanti. Indonesia berangkat ke Piala AFF usai disanksi FIFA sejak Mei 2015 sampai Mei 2016 akibat dari kisruh federasi dengan Kemenpora. Semua makin rumit dengan tidak adanya liga resmi yang bergulir dan pertempuran kepentingan politik di Kongres PSSI, bulan lalu. Seakan belum cukup, timnas yang berlaga di AFF 2016 ini mendapat pembatasan dua pemain per klub dari penyelenggara Torabika Soccer Championship yang dikelola oleh PT GTS.
Seakan nasib buruk senantiasa memayungi langkah timnas, hasil undian Piala AFF menempatkan tim Garuda di Grup A. Grup neraka yang berisi tuan rumah Filipina, kuda hitam Singapura, dan juara bertahan Thailand. Di atas semua itu, nyatanya, kita lolos ke semifinal dengan heroik bahkan bersiap menyongsong laga kedua di My Dinh Stadium, Hanoi, nanti dengan bekal satu kemenangan.
Dengan semangat itu, kita patut percaya satu hal, menang atau kalah, lolos atau tidak, kita patut berpesta di Hanoi. Demi Indonesia dan demi sepak bola.