Dunia Amerika Latin

Paraguay yang Kembali Tertidur Panjang

Pertandingan terakhir babak Kualifikasi Piala Dunia zona Conmebol atau Amerika Selatan, berakhir dramatis dengan kepastian lolosnya Argentina dan Kolombia ke Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Rusia. Jatah play-off didapatkan oleh Peru, sekaligus menyingkirkan tim tangguh Cile. Namun ada satu tim lagi yang juga mengalami kegagalan meski berpeluang lolos, yaitu Paraguay.

La Albirroja gagal menuntaskan misi yang sebetulnya terlihat amat mungkin mereka realisasikan, yaitu mengalahkan tamu mereka yang sudah pasti tidak lolos ke Piala Dunia, Venezuela. Namun apa daya, gol Yangel Herrera pada menit ke-84 membawa kemenangan pada Venezuela sekaligus memperpanjang “tidur” Paraguay. Padahal andai mereka menang, setidaknya tiket ke babak play-off untuk berjumpa dengan wakil Oseania, Selandia Baru, akan berada di tangan.

Ya, kesebelasan asuhan Francisco Arce ini harus menerima kenyataan bahwa untuk kedua kalinya secara beruntun, mereka gagal lolos ke Piala Dunia. Padahal sejak akhir tahun 1990-an hingga tahun 2010, mereka dipandang sebagai kesebelasan elite Amerika Selatan.

Memori yang begitu melekat di penggemar sepak bola pada kesebelasan ini tidak lain adalah permainan yang begitu alot dan penuh semangat juang yang membuat mereka sulit dikalahkan. Meski tidak terlalu spektakuler dalam hal serangan, namun kekuatan pertahanan selalu menjadi momok bagi lawan-lawan mereka. Berbicara soal tembok terakhir alias penjaga gawang, Jose Luis Chilavert hingga Justo Villar selalu memberikan rasa aman berkat performa luar biasa yang nyaris selalu mereka perlihatkan selama memakai seragam tim nasional.

Generasi emas 1998-2010

Ada dua Piala Dunia yang menjadi cukup berkesan karena kiprah La Albirroja, yaitu tahun 1998 dan 2010. Di dua penyelenggaraan Piala Dunia ini, hanya tim yang akhirnya menjadi juara yang mampu mengalahkan mereka.

Tahun 1998, Paraguay begitu perkasa meski berada di “grup neraka” bersama Spanyol, Nigeria, dan Bulgaria. Kekuatan pertahanan yang berporos pada Chilavert dan bek Carlos Gamarra, membuat Bulgaria dan Spanyol gagal membobol gawang mereka. Ketika menghadapi tuan rumah Prancis pada babak perdelapan-final, tim Les Blues baru berhasil membobol gawang mereka pada babak perpanjangan waktu melalui bek Laurent Blanc.

Performa spektakuler kiper eksentrik Chilavert pun membuatnya terpilih dalam tim terbaik Piala Dunia 1998 ini. Ia tercatat hanya kebobolan satu gol pada waktu normal, dan yang juga patut diingat, ia nyaris menjadi kiper pertama yang mencetak gol di ajang Piala Dunia. Terkenal lihai mengeksekusi bola mati, sepakan bebas kaki kiri Chilavert nyaris membobol gawang Bulgaria andai tidak digagalkan penyelamatan Zdravko Zdravkov di bawah mistar gawang.

Lalu pada Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika Selatan, terdapat satu kisah luar biasa yang turut berpengaruh pada perjalanan mereka. Salvador Cabanas, penyerang yang juga salah satu talenta terbaik mereka, mengalami insiden mengerikan. Januari 2010, lima bulan sebelum Piala Dunia berlangsung, Cabanas diserang oleh anggota geng di sebuah bar di Meksiko, tempat di mana ia bermain memperkuat Club America di Liga Meksiko.

Pemain yang oleh pelatih Gerardo Martino disebut sebagai Lionel Messi dari Paraguay ini, awalnya tertolong dan bahkan sempat kembali bermain sepak bola, meski ia memang gagal mengikuti Piala Dunia 2010 itu.

Pada turnamen yang memang merontokkan banyak negara besar pada fase awal ini, Paraguay akhirnya dikandaskan gol tunggal David Villa sekaligus membawa Spanyol lolos ke babak semifinal hingga akhirnya merebut gelar juara. Kita tidak tahu pasti akan sejauh mana Paraguay melangkah andai Cabanas dalam usia matangnya berada di dalam tim.

Gagalnya regenerasi dan nasib buruk

Sayangnya selepas kejuaraan ini, Paraguay seperti “terjun bebas”. Pada babak Kualifikasi Piala Dunia 2014 yang berlangsung di negara tetangga mereka sendiri, Brasil, Paraguay menempati posisi buncit di klasemen akhir. Kegagalan ini pun diwarnai pergantian tiga pelatih pada periode itu. Permasalahan lain yang dialami tim ini adalah tiadanya pemain dengan kualitas individu yang tinggi seperti halnya periode 1998 hingga 2010. Ini bisa diartikan gagalnya proses regenerasi pemain dalam sepak bola mereka.

Sedikit mengamati perjalanan mereka pada kualifikasi Piala Dunia 2018, performa mereka sebetulnya membaik. Mengandalkan mayoritas talenta yang bermain di liga lokal, hanya ada nama familiar seperti Gustavo Gomez (Milan), Oscar Romero (Alaves), dan Antonio Sanabria (Real Betis), yang bermain di Eropa. Paraguay sendiri mengumpulkan 24 poin hasil tujuh kemenangan, tiga hasil imbang, dan delapan kekalahan.

Ada tiga pertandingan yang membawa nasib buruk pada mereka, yaitu hasil imbang 2-2 melawan Ekuador di Quito, hasil imbang 2-2 melawan Brasil di Asuncion, dan tentunya kekalahan 0-1 melawan Venezuela di Asuncion. Khusus dalam dua hasil imbang itu, gawang mereka kebobolan pada masa injury time. Gol dari pemain Ekuador, Angel Mena pada masa injury time itu pun berbau offside. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sepak bola memang sering ditentukan melalui detail-detail kecil semacam ini.

Kegagalan pahit bagi Paraguay, namun setidaknya selalu ada harapan yang tercipta lewat performa yang sudah membaik. Karena dalam sepak bola, kita juga mengenal yang namanya proses. Meski harus kembali tidur panjang, jangan bersedih, Paraguay!

Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)