Suara Pembaca

Saya Seorang Perempuan dan Saya Mencintai Sepak Bola

”Tak selamanya jagung itu direbus, nyatanya, kali ini, dibakar…”

Plesetan lagu di acara yang dibawakan oleh pelawak kondang itu mungkin tidak asing lagi bagi kita. Semua mengetahui lagu yang diciptakan secara kreatif tersebut. Jagung memang tak selamanya dinikmati dengan cara direbus, bisa saja diolah dengan cara lain, salah satunya, ya, dibakar seperti yang dilagukan. Tinggal bagaimana pada Anda saja mau menyantap dengan cara seperti apa.

Begitu juga dengan sepak bola.

Tak selamanya sepak bola itu tentang laki-laki. Identik dengan kaum lelaki lebih tepatnya. Di zaman sekarang ini, kaum hawa sudah mulai menggemari olahraga yang dimainkan oleh 11 orang tersebut. ”Sepak bola bukanlah sekedar 22 orang lelaki tampan kurang kerjaan, berlari, lintang pukang, bertumburan tak karuan, demi memperebutkan sebuah bola…” seperti yang dikatakan Andrea Hirata pada novel 11 Patriot yang ditulisnya.

Sepak bola lebih dari sekadar menggiring bola, mencetak angka, dan meraih kemenangan. Psikologi, seni, sastra, politik, bisnis, agama, budaya, sejarah, cinta, dan patriotisme ada di dalamnya. Itulah yang dirasakan oleh penggemar sepak bola seperti saya dan memang Andrea Hirata mengakui hal itu dalam karyanya.

Saya perempuan. Menyukai sepak bola sejak kelas 6 tingkat Sekolah Dasar. Atau boleh dikatakan mulai melirik sepak bola sejak saat itu. Masa sekarang ini memang tidak lagi mengherankan jika menemui anak perempuan maupun gadis remaja yang menggemari sepak bola. Tapi jika dulu menjadi saya? Menjadi anak gadis kecil yang rela menonton bola tengah malam bahkan ketika esok harinya harus mengikuti Ujian Akhir Semester.

“Perempuan kok suka bola?” pertanyaan yang selalu keluar dari  bibir orang-orang saat melihat atau mengetahui saya antusias dengan olahraga ini. Saya bahkan tidak bisa menjelaskan alasannya. Cuma tersenyum. Dan hanya tersenyum yang bisa saya lakukan.

Baca juga: Balada Kaum Wanita dan Sepak Bola

Saya yang tahu olahraga ini dari kecil karena ibu pernah mengajak nonton di salah satu stadion dan ayah yang pernah “terpaksa” membawa ikut nobar (nonton bareng) adalah orang yang pernah dahulunya sangat membenci “soccer”, yang dikatakan oleh orang Amerika Serikat. Lalu dengan anehnya bisa sangat menyukai, menggilai atau bahkan namanya kecanduan. Terkena karma? Entahlah

Sepak bola perempuan, menurut sejarah, sudah dimulai oleh wanita-wanita Cina. Tepatnya pada Dinasti Donghan. Dalam perjalanannya, olahraga permainan sepak bola wanita ini sempat timbul dan tenggelam dari masa ke masa. Sempat dilarang pada masa Dinasti Qing, sepak bola wanita mulai bangkit lagi.

Perlahan, sepak bola kaum hawa ini ikut dimainkan di dataran Eropa. Banyak dibentuk klub-klub sepak bola wanita. Pertandingan pun banyak digelar. Namun, FA Inggris kala itu sempat membuat kebijakan yang menyatakan kaum hawa tidak boleh bermain sepak bola karena tidak cocok dengan kaum perempuan. Dan kebijakan ini diikuti oleh Belanda dan Jerman.

Melihat perkembangannya, akhirnya FIFA mulai melirik sepak bola kaum hawa tersebut dengan diadakannya kejuaraan FIFA Women’s World Cup pertama di tahun 1991 di Cina dengan Amerika Serikat keluar sebagai jawara.

Saya mungkin bukan gadis yang dilahirkan untuk menjadi pesepak bola perempuan. Melewatkan kesempatan menjadi seperti seorang Alex Morgan yang banyak digandrungi kaum pria. Saya cukup menjadi penonton di balik layar. Sebagai pemandu sorak saja.

Cukup menjadi seorang John Watson yang selalu ada di belakang sang Sherlock Holmes, namun sangat berjasa dan berarti bagi sang detektif. Saya sangat menikmati waktu dan peran sebagai penggila atau yang biasa disebut sebagai suporter. Bangun tengah malam atau bahkan begadang demi menonton klub idola bertanding.

Bahkan selalu menyempatkan diri menonton pertandingan apapun itu walaupun bukan kesebelasan favorit yang berlaga. Ada yang hal menarik yang dirasakan dan saya sangat menikmatinya dan selalu merindukannya. Jeda internasional yang sangat membosankan kata orang, memang benar adanya. Satu pertandingan sepak bola sudah seperti moodbooster dan selalu akan dicari-cari keberadaannya.

Banyak yang bilang, pelajaran berharga dapat kita ambil dari sekeliling kita. Lewat sepak bola saya banyak menemui hal baru. Kemegahan yang ditampilkan, keindahan permainan yang disuguhkan, drama yang disajikan, seolah-olah tak pernah bosan untuk ditonton dan dipertontonkan.

Industri yang diperagakan oleh kaum-kaum elite menambah kedigdayaan olahraga ini. Bagaimana rasanya kegirangan setengah mati, luapan emosi haru yang tak terkendali, detak jantung yang berdetak entah berapa kali lebih cepat dari biasanya. Tangan yang gemetaran tak karuan. Air mata yang entah dari mana atau entah apa sebabnya mengalir begitu saja. Jeritan yang tiba-tiba bersorak keluar. Lupaan emosi yang tak bisa ditahan dan rasa kesal yang menghinggapi hingga berhari-hari lamanya.

Obatnya? Tentu saja sepak bola itu juga.

Entah bagaimana cara (mereka) melakukannya. Bagaimana senangnya ketika pemain idola mentak gol juga masuk hitungan. Terlebih gol kemenangan yang mengantarkan tim kepada tiga poin penting. Lalu, sedihnya melihat atau mendengar pemain idola terbelit cedera, apalagi sampai berbulan-bulan lamanya hingga harus dengan rela terlepas dari skuat inti, melewatkan pertadingan penting, laga krusial.

Kita setiap hari mengikuti perkembangannya, mewanti-wanti dengan perasaan cemas, dan tak tak sadar ikut mendoakan kesembuhannya juga dengan pastinya dengan sabar menunggu dia kembali ke lapangan hijau.

Perasaan-perasaan itu tidak pernah ditemui sebelumnya. Bagaimana kekompakan atau kebersamaan itu ada. Apa itu kesetiaan, loyalitas, penghianatan, kejujuran, kebohongan, keikhlasan, kerja keras yang tiada batasnya, harapan, impian, keyakinan, dan mungkin apa itu hidup. Mungkin Anda menilai itu sedikit berlebihan, namun memang benar begitu adanya.

Sekarang saya mungkin agak sedikit bersedih karena tayangan sepak bola sudah mulai berkurang live di televisi lokal. Kecewa ketika menyadari pertandingan yang ditunggu-tunggu tidak ada yang menayangkan. Namun, hal itu tak pernah menyurutkan niat untuk tidak melewatkan sediki tpun keseruan yang dihadirkan.

Kecanggihan teknologi yang patut d syukuri karena tetap bisa menikmati berkah Tuhan lewat olahraga yang satu ini. Ya, kita patut mensyukuri bahwa Tuhan menciptakan sepak bola sehingga para single tidak perlu merasakan kesepian pada Sabtu malam.

Tak selamanya memang jagung itu direbus karena bisa dibakar. Tak selamanya hanya kaum lelaki yang akrab dengan sepak bola karena kalian tak bisa melupakan kami, para kaum perempuan yang menggilai sepak bola sama besarnya dengan kalian, kaum lelaki.

Author: Nanda Rizka Syafriani Nasution (@Anandarizkasn)