Dunia Asia

Aturan Gaji Liga Super Cina dan Wajah Asli Sepak Bola Negeri Panda

Berbicara mengenai sepak bola Asia, negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia menjadi negara yang cukup diperhitungkan. Cukup banyak pemain dari negara-negara ini yang merumput di kompetisi elite Eropa dan terbilang sukses. Sebut saja Shinji Kagawa di Borussia Dortmund, Son Heung-min di Tottenham Hotspur atau Mark Viduka asal Australia yang mencapai puncak ketenaran di 1990-an dan 2000-an bersama sejumlah klub di Inggris.

Sementara tetangga Jepang dan Korea Selatan, yaitu Cina, lebih banyak dikenal menghasilkan atlet-atlet di cabang renang, atletik, senam, bulutangkis dan tenis meja. Di tenis lapangan sempat ada nama Li Na yang saat ini sudah pensiun.

Li Na, yang sempat dilatih suaminya sendiri, adalah petenis puteri Negeri Panda pertama yang meraih dua gelar Grand Slam (Prancis Terbuka tahun 2011 dan Australia Terbuka tahun 2014) dan sempat menduduki peringkat dua WTA.

Setelah pensiun, Li Na masih laris menjadi endorser produk peralatan olahraga. Tetapi, sepak bola? Adakah pesepak bola asal Cina yang mencapai level Kagawa atau Park Ji-sung?

Dua tahun terakhir, sepak bola Cina tengah bangkit. Ini tidak lepas dari kemunculan para orang kaya baru di Cina yang berambisi menyemarakkan liga sepak bola di Negeri Tirai Bambu. Dengan uang yang tak terbatas, mulailah mereka mencari pemain-pemain dan pelatih-pelatih kelas dunia untuk menyemarakkan sepak bola Cina dan menarik para penonton untuk datang ke stadion.

Baru-baru ini, mantan pelatih AC Milan di era 1990-an, Fabio Capello, sepakat bergabung dengan salah satu klub Cina, Jiangsu Suning. Capello mengikuti jejak pelatih kelas atas seperti Manuel Pellegrini (Hebei China Fortune) dan Luiz Felipe Scolari (Guangzhou Evergrande) serta beberapa pelatih papan atas Eropa lainnya yang berkarier di Cina.

Di level pemain, ada nama Carlos Tevez (Shanghai Shenhua) dan Oscar (Shanghai SIPG) dan masih banyak lagi. Di tengah bursa transfer yang akan dimulai, para klub kaya di Cina tengah berlomba-lomba mengajukan tawaran untuk membeli pemain mahal dari Eropa.

Semakin banyaknya pemain dan pelatih yang tergiur merumput di Cina, sempat disindir oleh  pelatih Liverpool, Jürgen Klopp. Pria Jerman yang sempat sukses saat menukangi Dortmund ini mengatakan bahwa liga-liga Eropa sudah lebih dari cukup mendatangkan uang dan orientasi pemain yang ingin bermain di Cina adalah semata-mata karena uang, bukan karena ingin bermain bola.

Nah, masifnya tingkah klub-klub Cina dalam membeli pemain asing ini tentu membuat federasi sepak bola Cina sedikit gerah. Menghabiskan anggaran tanpa berpikir panjang, tentunya membuat klub nantinya terjerat utang.

Rabu lalu (14/6), PSSI-nya Cina (CFA) mengirim surat kepada 32 klub di Liga Super Cina dan Liga Satu Cina mengenai aturan yang tujuannya membatasi klub untuk tidak boros membeli pemain baru dan agar klub tidak berorientasi pada tujuan jangka pendek saja.

Dalam surat tersebut, rencananya, klub yang sudah terjerat utang akan diwajibkan membiayai pengembangan sepak bola jika mereka menghabiskan anggaran sebesar 45 juta RMB (disebut Renminbi atau Yuan, mata uang Cina) atau lebih untuk membeli pemain asing baru dan 20 juta RMB untuk membeli pemain lokal. Rencananya, aturan ini juga sama untuk pemain-pemain yang berstatus pinjaman.

Seperti kita ketahui, klub-klub kaya Cina dengan anggaran tak terbatas, memang telah mengubah wajah sepak bola dunia.  Tahun lalu saja, klub-klub Liga Super Cina menghabiskan lebih dari 450 juta dolar AS hanya untuk membeli pemain. Tetapi, hal ini juga banyak dikritik karena kesempatan bermain para pemain lokal jadi terbatas.

Marquee player dan kesenjangan sosial

Hadirnya para pemain dan pelatih papan atas ini diharapkan membuat sepak bola Cina menjadi menarik. Tetapi, kehadiran para bintang tersebut tidak selamanya membawa dampak positif.

Contohnya, Hulk yang bermain di Shanghai SIPG. Banyak yang mengatakan bahwa penampilannya di Liga Super Cina tidak sehebat yang diharapkan. Federasi sepak bola Cina juga mengeluarkan aturan bahwa hanya tiga pemain asing yang boleh tampil saat pertandingan. Dan harus memainkan pemain lokal di bawah usia 23 tahun agar bisa membantu pembinaan pemain usia dini. Tetapi pemain lokal Cina pun disebut malas oleh para pemain asing. Para pemain lokal hanya ingin gaji besar, tetapi malas latihan.

Nah, konflik rentan terjadi karena kabarnya pemain lokal pun merasa dinomorduakan karena gaji pemain asing bisa dikatakan 15 kali lipat gaji pemain lokal.

Selain itu, para pemain dan pelatih asing terlihat diistimewakan dan pihak klub tidak melakukan apapun jika mereka melanggar aturan. Seperti pemain dan pelatih yang harus menginap di hotel bersamaan, ada juga yang lebih memilih tinggal di apartemen mewah.

Merekrut pemain dan pelatih bintang memang wajar saja untuk mendongkrak nama. Tetapi tetap saja tidak ada yang instan dalam membangun sepak bola. Jika hanya mengandalkan proses kilat, tampaknya sepak bola Cina akan mengikuti jejak Indonesia, yang berharap sukses kilat dengan segala sesuatu yang instan.

Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)