Dalam Black Skins, White Masks, Frantz Fanon menulis bahwa seorang kulit hitam tidak memiliki resistensi yang ontologis menurut pandangan seorang kulit putih. Hal ini tidak lepas dari sifat “ontologi” ala kulit putih yang menganggap bahwa kulit hitam tidak mengerti apapun tentang dirinya. Implikasinya adalah, seorang kulit hitam akan berupaya membuktikan dirinya pantas di hadapan kulit putih. Misalnya, dengan menggunakan sepak bola.
Persatuan Sepak Bola Jayapura (Persipura) adalah contohnya.
Klub sepak bola yang diyakini berdiri secara resmi pada 1963, dalam beberapa tahun terakhir menjadi simbol budaya bagi orang-orang Melanesia di Papua. Persis seperti apa yang diterangkan Fanon di atas. Mengusung identitas sebagai Melanesia adalah aspek penting yang secara implisit hadir tiap kali Persipura bertanding. Sebagai simbol, Persipura telah bertransformasi menjadi penanda terhadap sebuah definisi yang hampir asing di telinga keturunan Melayu berkulit coklat di mayoritas Indonesia. Sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok etnis tertentu di Pasifik Selatan, yang berbeda -namun anehnya sulit dipahami- dari orang-orang Polinesia dan Mikronesia.
Melanesia secara harafiah berarti “pulau orang-orang berkulit hitam”. Mengacu secara geografis kepada sub regional Oceania yang wilayahnya membentang dari sisi barat Samudera Pasifik sampai Laut Arafuru, hingga ke bagian utara dan timur laut benua Australia. Jules Dumont d’Urville pertama kali menggunakan istilah ini pada tahun 1832. Tapi klasifikasinya kini dianggap tidak akurat karena mengabaikan keragaman budaya, bahasa, sosial, dan genetik yang begitu luas di daerah itu.
Penduduk asli pulau-pulau Melanesia diyakini merupakan nenek moyang dari orang-orang di pulau Papua. Mereka diduga pertama kali mendiami Guinea Baru, yang sekarang terbagi antara Papua Nugini yang merdeka, dengan Papua Barat yang berada di bawah kendali Indonesia. Mereka kemudian perlahan bermigrasi secara perlahan mencapai pulau-pulau Melanesia lain sekitar 35.000 tahun lampau. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nenek moyang orang-orang Melanesia bahkan saat itu telah mendiami hingga seperti Kepulauan Solomon, dan bahkan, lebih jauh lagi.
Sekitar empat ribu tahun yang lalu, orang-orang Austronesia datang dan menjalin hubungan dengan Melanesia di sepanjang pantai utara Nugini. Periode panjang interaksi yang di kemudian hari menghasilkan banyak perubahan yang kompleks dalam genetika, bahasa, dan budaya.
Fakta lain yang menguatkan klaim tersebut adalah sebuah studi yang diterbitkan oleh Temple University, AS di tahun 2008. Laporan berjudul The Genetic Structure of Pacific Islanders menemukan bahwa Polinesia dan Mikronesia hanya memiliki sedikit hubungan genetik dengan Melanesia. Bahkan, ditemukan keragaman yang signifikan antara kelompok yang hidup di pulau-pulau Melanesia. Sebagai region, etnis dan unit budaya, Melanesia berbagi ikatan yang sama berdasarkan identitas dan konsensus yang dikembangkan sebagai kritik terhadap kontrol dari kelompok-kelompok non-Melanesia.
Dalam konteks lapangan politik, ekspresi ini dikenal dengan nama: Pan-Melanesia.
Dan sepak bola, memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat indera identitas ke-Melanesia-an tersebut di seantero tanah Papua. Permainan ini dan kehadiran entitas seperti Persipura mampu menyediakan ruang bagi orang-orang Papua untuk mengekspresikan protes dalam formasi yang berbeda tanpa harus kehilangan esensi. Melalui anak-anak Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang berdemonstrasi dengan kostum hitam-merah Persipura,ekspresi ke-Melanesia-an Papua menjadi begitu nyata dan populis. Ia menjadi kanal alternatif setelah pembungkaman demonstrasi, sensor media dan gelombang kekerasan yang tampaknya belum akan berakhir.
Persipura dan sepak bola adalah evolusi dan respon Papua atas represi yang mereka alami. Menggenapi nubuat Fanon yang mengatakan bahwa keterasingan rasial yang dialami satu kelompok adalah tujuan sebenarnya dari hubungan sosial.
Melalui Persipura dan sepak bola, Papua sedang menggugat narasi Indonesia mengenai “kesetaraan”, “keadilan” dan “segregasi ras” yang berlangsung hingga hari ini. Bahwa ada kelompok sosial yang lebih baik dari yang lain hanya karena didasarkan pada terang-gelapnya warna kulit seseorang. Idealisme-idealisme yang merefleksikan masyarakat yang timpang karena dihuni oleh individu-invidu yang bermasalah.
Kemenangan Persipura di setiap pertandingan dan gelar yang diraih dalam kompetisi, adalah perayaan terang-terangan dan kritik terhadap masyarakat yang rasialistik. Kemenangan atas mereka yang mengasosiasikan ke-hitam-an warna kulit dengan keterbelakangan dan primitifisme. Kemenangan untuk dapat dengan sempurna mengatakan: Aku Papua, Aku Melanesia.
Dengan sepak bola, anak-anak Melanesia sedang mengkonfrontasikan kondisi-kondisi material yang menjadi prasyarat tumbuh kembangnya rasialisme di Indonesia. Sekaligus melucuti kebohongan publik bahwa tidak ada relasi antar ras yang timpang di negeri ini. Menohok pengingkaran bagaimana perbedaan antara seorang “ekspatriat” dan Papua di hadapan Indonesia. Menjadi ajang pembuktian empiris bagaimana supremasi warna kulit telah menjadi norma.
Rasialisme adalah refleksi modern dari masa perbudakan. Dan di Papua, Persipura menjadi simbol dari gelombang inisiatif untuk memutus siklus tersebut. Melalui sepak bola, orang asli Papua sedang berupaya menegasikan struktur dan basis penyokong rasialisme terhadap identitas mereka sebagai Melanesia. Sekaligus di saat yang bersamaan, menawarkan bentuk relasi rasial baru sebagai yang mutual, yang emansipatif dan yang revolusioner.
Seperti Fanon yang berpendapat bahwa perjuangan menentang rasialisme adalah agenda revolusioner yang mendesak, interupsi populis melalui sepak bola seperti yang dilakukan oleh Papua adalah satu di antara sekian inisiatif untuk membuka front pertempuran lebih luas terhadap wabah rasialisme yang bercokol di nusantara. Tujuannya, tidak semata untuk melepaskan Melanesia dari belenggu cara pandang yang picik, tapi juga dari mahkota duri rasistik yang membebani isi kepala mereka yang bukan Papua. Bahwa korban dari segregasi berdasarkan ras, tidak hanya mereka yang diasosiasikan sebagai budak atau kelas kedua, tapi juga kita yang merasa sebagai tua dan yang terutama. Pembebasan semuanya, adalah pintu masuk untuk pembebasan umat manusia yang lebih luas.
Author: Andre Barahamin (@barahamin)
Peneliti di Yayasan PUSAKA (Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat) dan editor IndoProgress.