Alphonso Davies punya tendangan keras yang spektakuler. Instingnya tajam merebut bola dari bek-bek yang kebingungan. Ia melesat tanpa kesulitan, membobol ruang-ruang sempit maupun lapang yang tersedia. Umpan-umpan yang dikirimkan dari lini tengah ia upayakan untuk dieksekusi dengan sebaik mungkin, entah itu ia kirim ke depan atau olah sendiri jadi gol.
Bagi mereka yang sekilas menonton gerak lincahnya, Davies tampak seperti pemain sayap jebolan akademi sepak bola bergengsi yang telah mengaduk-aduk lapangan rumput sejak kecil benar. Ada benarnya: ia bergabung dengan akademi lokal di kota tempat ia tumbuh besar di Edmonton, Alberta. Ia telah menyarungkan seragam Kanada U-15 saat baru berusia 13 tahun. Ia bergabung dengan akademi Vancouver Whitecaps pada tahun berikutnya.
Usia muda Davies juga dapat menarik perhatian. Ia adalah pemain Major League Soccer (MLS) pertama yang dilahirkan di milenium 2000-an kala menjalani debut untuk tim utama Whitecaps musim lalu. Tapi ia bukan yang termuda: Freddy Adu masih memegang rekor itu kala menjalani debut bersama DC United saat berusia 14 tahun pada Mei 2004.
Ia pemain termuda yang bergabung dengan tim nasional Kanada untuk Piala Emas CONCACAF 2017 di Amerika Serikat. Tak lama, ia memecahkan rekor pencetak gol termuda kala menjebol gawang Guyana Prancis dua kali dalam partai pembuka dan menyelamatkan muka The Canucks dengan satu gol penyeimbang di laga kedua kontra Kosta Rika.
“Pada usia 15 tahun, saya bahkan tak dapat menatap mata seseorang secara langsung,” ujar Paul Dalglish, pelatih Ottawa Fury, salah satu rival Whitecaps. “Dan dia keluar (bermain di lapangan) dan melesat (melewati) para pemain dengan gaya yang amat mengesankan. Sinarnya bersinar terang.”
Namun, yang paling utama, kisah mencuatnya seorang Alphonso Davies adalah sebuah kisah yang sangat Kanada sekali.
Kanada, negeri asal Owen Hargreaves dan Justin Trudeau ini, terkenal di pentas dunia karena keramahtamahannya yang tak mengenal warna. Bila Amerika Serikat terkenal sebagai land of the free yang menekankan etos individualisme dan kebebasan klasik, maka Kanada menawarkan perlindungan dan keamanan bagi kaum dan etnis yang tertindas di seluruh dunia.
Tak terbilang lagi beragam-macam kelompok tertindas korban konflik yang diizinkan masuk ke perbatasan negeri bersimbol daun maple ini untuk beroleh keamanan dan membina hidup baru. Para pengungsi dari Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan, semuanya telah merasakan kehangatan negeri yang berbatasan dengan Kutub Utara ini.
Kala Eropa dan Amerika Serikat diaduk krisis pengungsi dalam lima tahun terakhir sebagai dampak dari perang sipil tak berkesudahan di Suriah, dan dikompori pula oleh kebangkitan gerakan-gerakan konservatif dan ultranasionalis yang berkampanye anti-imigrasi, Perdana Menteri Trudeau berdiri di gerbang bandar udara untuk menyambut keluarga para pengungsi Suriah. Di antara negara-negara Barat lain, Kanada telah menerima dan merelokasi hampir lima puluh ribu pengungsi Suriah pada akhir 2016, jumlah yang hanya dapat disaingi oleh Turki atau Jerman.
Keluarga Davies adalah salah satu dari mereka yang beruntung merasakan kehangatan Kanada dan penduduknya. Orang tuanya, Victoria dan Debeah, melarikan diri dari amukan perang saudara di Liberia dan tinggal selama beberapa lama di kamp pengungsi Buduburam di negeri tetangga, Ghana.
“Kehidupan pengungsi itu seperti (seseorang) meletakkanmu di kontainer dan menguncinya,” ujar Davies dalam sebuah wawancara video yang diproduksi Whitecaps.
Keluarganya kemudian mendapatkan visa pengungsi di Kanada saat Davies berusia lima tahun. Mereka berpindah-pindah tempat tinggal sebelum menetap di Edmonton, tempatnya memulai karier sepak bola usia dini.
“Perjalanan (saya) amat panjang: melarikan diri dari perang, hidup di kamp pengungsi. Tiba di Kanada adalah hal yang kami impikan sebagai sebuah keluarga,” ujar Davies.
Davies mendapatkan kewarganegaraan Kanada hanya sebulan sebelum pagelaran Piala Emas dimulai. Kebahagiannya melebihi kabar bahwa para pencari bakat klub elite di Eropa, termasuk Manchester United, sudah memulai memantau gerak-gerak kakinya.
“Adalah sebuah kebanggaan untuk menyebut diri saya sebagai seorang warga negara Kanada,” ujarnya selepas mengucap sumpah kewarganegaraan.
Tiga gol dalam dua laga kompetitif tingkat benua sudah menunjukkan bahwa ia tak hanya bangga, namun juga lapar dan antusias untuk membuktikan kualitas dirinya pada negara yang dengan lapang dada dan ringan tangan menerima keberadaannya. Bila menilik sejarah dan juga gerak-gerak lincah kakinya, maka Alphonso Davies bisa saja menjadi pemain besar dunia pada generasinya.
Author: Ramzy Muliawan (@ramzymuliawan)
Penulis dan pembaca. Penikmat kopi hitam, punk rock dan Luca Toni.