Nama Luzhniki diambil dari kondisi tanah sebelum dibangun bangunan megah yang bisa menampung lebih dari delapan puluh ribu penonton tersebut. Luzhniki dalam bahasa Rusia adalah padang rumput (meadow) di mana tidak ada tumbuhan lain yang tumbuh di tempat itu.
Sebuah pemandangan surgawi nan indah bak berada di alam mimpi. Ternyata setelah dibangun, Luzhniki Stadium juga menghadirkan banyak mimpi yang kemudian bisa diwujudkan.
Bahkan dalam pembangunannya, Luzhniki Stadium berisi impian dan harapan. Ketika perencanaan pembangunan stadion dimulai pada tahun 1954. pemerintah Rusia yang kala itu masih dalam bentuk Uni Soviet itu bermimpi untuk melihat negara mereka tampil di Olimpiade. Akhirnya dibangunlah sarana dan prasarana yang memadai para atlet, termasuk Luzhniki Stadium ini, yang sebelumnya sempat bernama Central Lenin Stadium.
Dari Final Cabor Sepak Bola Olimpiade Sampai Final Liga Champions
Diresmikan dan dibuka pada tahun 1956, kejuaraan olahraga perdana yang digelar di Stadion Luzhniki adalah Spartakiad. Semacam Olimpiade untuk negara-negara Soviet. Setelahnya, Stadion Luzhniki juga digunakan untuk banyak ajang olahraga lain.
Khusus untuk sepak bola, ada beberapa pertandingan besar digelar di stadion ini. Tiga diantaranya merupakan pertandingan tersohor di mana impian menjadi kenyataan.
Final cabang olahraga sepak bola Olimpiade 1980 adalah final besar pertama yang digelar di Luzhniki Stadium. Diiringi oleh boikot dari banyak negara karena perang antara Soviet dan Afghanistan, tidak banyak negara yang berpartisipasi di Olimpiade tahun tersebut. Terutama negara-negara dari blok barat. Apalagi saat itu Amerika Serikat secara terbuka menunjukan boikot mereka kepada Olimpiade 1980 yang digelar di Moskow itu.
Pada pertandingan perebutan medali emas cabang olahraga sepak bola, Cekoslovakia secara mengejutkan berhasil mengalahkan Jerman Timur. Kala itu Cekoslovakia menang dengan skor tipis 1-0. Satu-satunya gol di laga tersebut dicetak oleh Jindrich Svoboda. Ini adalah pertandingan final penuh mimpi pertama yang digelar di Luzhniki Stadium.
Peristiwa selanjutnya terjadi hampir dua dekade kemudian. Tepatnya pada tahun 1999, Luzhniki menjadi tempat digelarnya partai final Piala UEFA (kini Liga Europa) antara Parma dengan Marseille.
Bagi Parma, mereka berusaha menuntaskan mimpi mereka setelah mengumpulkan para pemain bintang. Sebelum mencapai partai final ini mereka sudah mendatangkan para pemain dengan harga selangit mulai dari Gianluigi Buffon, Hernan Crespo, hingga Juan Sebastian Veron.
Di partai final yang dipimpin oleh wasit Hugh Dallas dari Skotlandia ini, Parma yang saat itu dilatih oleh Alberto Malesani berhasil menggebuk lawan mereka dengan skor tiga gol tanpa balas. Tiga gol Parma di laga tersebut dicetak oleh Hernan Crespo. Paolo Vanoli, dan Enrico Chiesa.
Sementara itu yang terbaru sebenarnya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Generasi saat ini tentu banyak yang mengingat bagaimana Manchester United berhasil meraih gelar juara Eropa ketiga mereka di Luzhniki setelah sukses menaklukan Chelsea melalui babak adu penalti. Bagi sebagian orang, malam dingin yang diiringi hujan di Luzhniki ini sering disebut sebagai titik balik seorang Cristiano Ronaldo menjelma menjadi megabintang sepak bola.
Sebagai stadion nasional, Luzhniki Stadium tentu saja akan dipakai sebagai venue berlangsungnya partai puncak Piala Dunia 2018. Mengingat hal-hal yang terjadi pada final-final sebelumnya di stadion ini, apakah impian hebat akan kembali terwujud di final Piala Dunia 2018 nanti?