Dua kemenangan yang berhasil dipetik Prancis dari sepasang laga sebelumnya pada babak penyisihan Grup C, masing-masing kontra Australia dan Peru, membuat satu tiket ke fase 16 besar sudah pasti digenggam.
Kendati demikian, sinisme publik masih deras mengalir kepada Les Bleus sebab penampilan mereka di dua laga itu jauh dari kata meyakinkan. Namun Didier Deschamps mungkin tak peduli karena target utama yang mereka buru, sukses dicapai. Alhasil, menyongsong pertandingan ketiga melawan Denmark malam ini (26/6), Prancis berani merotasi sejumlah penggawa intinya.
Sebaliknya, partai melawan Prancis jadi suatu hal yang amat krusial buat Denmark. Mereka butuh setidaknya satu angka via hasil seri jika ingin menyegel satu tempat di fase gugur. Andai kalah, peluang tim besutan Age Hareide ke babak 16 besar akan sangat bergantung pada hasil laga Australia versus Peru yang berlangsung di Stadion Fisht Olympic, Sochi.
Menyadari situasi tersebut, Danish Dynamite tetap menurunkan skuat terbaiknya agar tidak inferior di hadapan sang calon lawan sehingga misi yang mereka panggul berhasil direalisasikan.
Disaksikan oleh 75 ribu penonton yang memenuhi Stadion Luzhniki di kota Moskow, Denmark yang dimotori oleh Christian Eriksen coba mengambil inisiatif permainan sejak wasit berkebangsaan Brasil, Sandro Ricci, memberi aba-aba bahwa laga telah dimulai.
Beberapa kali Denmark melancarkan teror ke gawang Steve Mandanda tapi usaha-usaha mereka acapkali gagal akibat penyelesaian akhir yang kurang tenang. Seiring waktu berlalu, Prancis yang begitu sabar menunggu, beroleh kans untuk mengendalikan jalannya laga. Berulangkali mereka mengirimkan tusukan demi tusukan, utamanya via sayap dan diinisasi oleh Antoine Griezmann, tapi tak begitu menyulitkan pekerjaan Kasper Schmeichel di bawah mistar.
Padahal, mereka jauh lebih mendominasi permainan sehingga mencatat penguasaan bola hingga 64% dan sanggup melepaskan umpan sebanyak 352 kali.
Kurang klinisnya lini serang Les Bleus dan Danish Dynamite bikin ritme laga di babak pertama cenderung membosankan. Benar saja, hingga sang pengadil lapangan meniup peluit guna masuk ke ruang ganti dan beristirahat, papan skor di Stadion Luzhniki tetap menampilkan skor kacamata.
Usai turun minum, sejumlah perubahan strategi disisipkan oleh masing-masing pelatih agar kesebelasan yang mereka tangani dapat memaksimalkan setiap kesempatan guna menciptakan peluang dan mengukir gol. Akan tetapi, hingga pertandingan memasuki menit ke-55, kebuntuan yang hinggap di tubuh kedua belah tim tak jua dapat dienyahkan.
Selama puluhan menit, perputaran bola lebih banyak terjadi di area tengah lapangan. Masing-masing pihak terlihat kesulitan untuk menembus jantung pertahanan lawannya. Sejumlah upaya taktis, misalnya saja dengan melakukan pergantian pemain, yang dibuat oleh Deschamps dan Hareide, tetap gagal memberi dampak instan di lapangan karena taji kedua belah tim, seolah lenyap ditelan Bumi.
Situasi demikian juga membuat seisi penonton yang ada di Stadion Luzhniki kerap meneriakkan ejekan sebagai tanda kebosanan perihal jalannya pertandingan kali ini. Bahkan saat kamera televisi menyorot sebagian dari suporter Denmark maupun Prancis, raut jemu dan kurang bergairah menyeruak pada wajah mereka.
Ketertinggalan Australia dari Peru di laga lain, tampaknya memengaruhi hasrat Danish Dynamite dan Les Bleus untuk menahan kengototannya dalam waktu yang tersisa. Pasalnya, mereka pun tahu betul jika keunggulan Los Incas dari Socceroos tidak berubah, tiket lolos ke 16 besar sebagai wakil Grup C sudah barang tentu jadi kepunyaan Denmark serta Prancis.
Serbuan Prancis di menit-menit akhir pertandingan bahkan tidak kelewat mengerikan bagi sektor belakang Denmark. Sebaliknya, Eriksen dan kolega juga tak lagi intensif memperlihatkan usahanya keluar dari dominasi Fekir beserta rekan-rekannya.
Hingga Ricci meniup peluit panjang tanda selesainya pertandingan, skor 0-0 dari laga ini tetap bertahan sehingga Danish Dynamite dan Les Bleus beroleh tempat di 16 besar. Lebih jauh, partai Denmark kontra Prancis juga menahbiskan diri sebagai laga pertama di Piala Dunia 2018 yang gagal menelurkan satu biji gol pun. Sungguh menjemukan!