Kala sepak bola Indonesia masih memanggungkan kompetisi perserikatan, salah satu klub yang dianggap punya catatan prestasi paling mentereng adalah Persija Jakarta. Bagaimana tidak, klub yang satu ini berhasil menjadi kampiun perserikatan sebanyak sepuluh kali, baik saat bernama Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) maupun saat telah berganti nama menjadi Persija.
Maka tak perlu heran bila tim yang kondang dengan julukan Macan Kemayoran ini dianggap sebagai salah satu tim paling legendaris di Indonesia. Sayangnya, prestasi di era perserikatan tersebut seolah menguap begitu saja usai federasi sepak bola Indonesia (PSSI) melebur kompetisi perserikatan dengan Galatama (dan mulai populer dengan sebutan Liga Indonesia) di pertengahan 1990-an yang lalu.
Tahun 2001 barangkali jadi satu-satunya musim paling membanggakan bagi The Jakmania, pendukung setia Persija. Sebab di musim kompetisi tersebut, Persija sukses menahbiskan diri menjadi juara Liga Indonesia setelah membungkam kampiun musim sebelumnya, PSM Makassar, di babak final dengan skor 2-3.
Setelah itu, praktis hanya di Liga Indonesia 2005, Persija benar-benar tampil dengan sangat apik walau akhirnya gagal menjadi juara kala dibungkam Persipura Jayapura di partai puncak dengan skor 3-2.
Bahkan saat kompetisi tertinggi di Indonesia berubah wujud menjadi Indonesian Super League (ISL), secara ironis Persija tak pernah lagi tampil menggigit. Prestasi tertinggi mereka di ISL hanyalah finis di posisi ketiga musim 2010/2011. Situasi ini pula yang melatarbelakangi kritikan pedas yang kerap dilayangkan The Jak.
Padahal, ada cukup banyak pemain bintang di negeri ini, baik lokal maupun asing, yang hilir mudik mengenakan seragam Persija. Siapa yang tak kenal nama-nama tenar seperti Aliyudin, Abanda Herman, Charis Yulianto, Emmanuel De Porras, Greg Nwokolo, Hamka Hamzah, Lorenzo Cabanas, Ortizan Solossa, Roger Batoum dan tentunya dua figur yang masih setia mengenakan jersey oranye khas Persija hingga kini, Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan.
Di sisi lain, keterpurukan Persija selama beberapa tahun terakhir dianggap oleh The Jak sebagai hasil dari proses salah urus yang dilakukan Ferry Paulus, sang presiden klub, yang berkuasa sejak tahun 2011 yang lalu. Mereka menuding bahwa FP, panggilan akrab Ferry, lebih mendahulukan kepentingan pribadinya ketimbang Persija.
Selain minim prestasi, kubu Macan Kemayoran selama dikomandoi FP juga membuat klub memiliki utang dalam jumlah masif. Konon, nilainya hampir menembus ratusan miliar rupiah. Problem ini pula yang lantas disebut-sebut menjadi alasan mengapa manajemen Persija sempat menunggak gaji para pemainnya.
Padahal, sebagai klub yang memiliki basis pendukung yang besar dan punya brand yang cukup kuat, FP bisa memanfaatkan itu untuk menstabilkan neraca keuangan dan menciptakan profit. Banyak pihak yang mengklaim bahwa FP menjalankan roda operasional Persija dengan cara-cara amatir. Khalayak ramai pun menyebut Persija bagaikan macan yang tengah tertidur pulas.
Kenyataan yang dialami Persija ini semakin membuka mata kita, para pencinta sepak bola nasional, bahwa tata kelola sepak bola Indonesia di level tim nasional maupun beberapa klub (yang katanya profesional itu) sama-sama bobrok. Hal-hal yang digaungkan pengurus atau manajemen seringkali hanya omong kosong.
Kegeraman pendukung Persija terhadap sosok Ferry Paulus pun kerap tertuang dalam kicauan atau postingan mereka di dunia maya. Tanpa malu-malu, pendukung Persija menggemakan tagar #FPOut sebagai bentuk protes dan rasa kecewa.
Akhirnya cita-cita terwujud #FPOut
— PERJAKA BOIS (@JakPerjaka) March 14, 2017
@Persija_Jkt Boikot Manajemen Persija.. Kembalikan Persija Kejayaan dan buat Persija Juara-__- #FpOUT #DemoManajemenPersija !!
— Zaky El Mahady (@mahady_el) February 16, 2017
REFORMASI!!! Turunkan Ferry Paulus! #FPout
— ALiFiANDA (@alifianda07) February 16, 2017
Percuma sih mau cari pemain ini itu buat ngisi kebutuhan tim kalo duitnya gak ada ya tetep aja pemainnya yg bgtu2 aja.. #FPout
— #GueJakmania (@PersijaFans12) February 16, 2017
Seolah didengar Tuhan, harapan dan doa The Jak supaya ada pihak lain yang sanggup mengelola Persija membuahkan jawaban nyata kemarin (14/3). Bertempat di Atrium Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, pihak klub menghelat sebuah konferensi pers untuk memperkenalkan manajemen baru.
Berbarengan dengan momen konferensi tersebut, tagar #PersijaGW muncul di dunia maya. Publik lantas menduga-duga makna tagar tersebut, apakah GW mengacu pada bahasa ringkas dari kata ‘gue’ atau malah berkaitan dengan nama investor anyar klub.
Dan teka-teki tersebut akhirnya terjawab dengan munculnya sosok Gede Widiade yang disebut Ferry Paulus sebagai sosok yang mengakuisisi Persija dari tangannya. Akan tetapi, jabatan Gede di kubu Persija nanti hanyalah direktur. Sementara FP masih akan menjabat sebagai presiden klub.
Nama lelaki berdarah Bali itu sendiri pasti tak asing di telinga para pencinta sepak bola Indonesia. Pasalnya, Gede sudah cukup lama berkecimpung di tatanan sepak bola nasional, khususnya di wilayah Surabaya, Jawa Timur. Gede tercatat pernah menjadi Chief Executive Officer (CEO) di Persebaya kala mengarungi Indonesian Premier League (IPL) di awal 2010-an lalu.
Ketika dualisme terjadi di dalam tubuh klub kebanggaan warga Surabaya tersebut, dirinya lantas didapuk sebagai CEO Persebaya bentukan PT. Mitra Muda Inti Berlian untuk memandu tim tersebut berlaga di kompetisi Divisi Utama.
Bersama tim ini pula, perjalanan karier Gede bisa dibilang naik turun. Terlebih, klub yang dikomandoinya sempat beberapa kali berganti nama akibat bersengketa dengan pihak Persebaya yang dikelola PT. Persebaya Indonesia (kini PT. Jawa Pos Sportainment).
Persebaya pimpinan Gede pun sempat mengganti namanya menjadi Persebaya United, Bonek F.C, hingga Surabaya United. Sampai akhirnya tim yang dikelola Gede tersebut ‘diambil’ pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan berubah nama menjadi Bhayangkara United atau yang kini populer memakai nama Bhayangkara F.C.
Masuknya Gede ke dalam jajaran pengurus Persija pun mendapat tanggapan beragam oleh khalayak. Ada yang menyambut positif namun ada juga yang merasa was-was. Saya pun mafhum karena ada banyak sekali cerita take over sebuah klub sepak bola yang tak melulu menghasilkan buah yang manis. Ada klub yang justru makin sukses setelah diakuisisi, ada juga yang berantakan.
Semoga PERSIJA menjadi tim yg lebih baik dan yg paling di takuti oleh semua tim ?#PersijaGW
— Abu ツ (@abumdrdsta1) March 14, 2017
#PersijaGW selamat bertugas pak GEDE bawa Persija menuju yg lebih baik lagi , ayoo bangkit !
— BuaranBersatu (@BuaranBersatu) March 14, 2017
Yang penting pak Gede tidak merubah apa yang jadi sejarah dan serius memajukan Persija. #PersijaGW
— Wahyu Khairul Akbar (@WahyoeKhairul) March 14, 2017
Gede Widiade sama Ferry Paulus itu sama aje… ? #PERSIJAGW
— Revi Handika (@repooy) March 14, 2017
Sayangnya, dalam konferensi pers tersebut, baik FP maupun Gede tak berkenan membeberkan nominal yang mereka sepakati perihal proses akuisisi. Padahal, penikmat sepak bola Indonesia begitu ingin mengetahui transparansi proses akuisisi kali ini. Sehingga iklim sepak bola nasional juga tak terkesan misterius lagi.
Terlepas dari segala macam harapan dan kekhawatiran yang berkecamuk di dada The Jak. Satu pertanyaan pun pasti akan muncul di benak mereka. Sebuah pertanyaan yang pastinya sama dengan milik saya usai proses akuisisi dari sosok yang mengaku sebagai suporter Barcelona itu.
Akankah Persija mengaum lagi di bawah kendali Gede? Atau justru ia akan makin pulas tertidur?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional