Kehidupan adalah sesuatu yang selalu menarik untuk dibahas sebab partitur-partitur yang ada di dalamnya seringkali menciptakan warna yang berbeda-beda bagi manusia. Dan salah satu unsur yang kerap berperan cukup besar dalam hidup manusia, selain upaya dan doa, tak lain tak bukan adalah keberuntungan.
Ada kalanya, keberuntungan berhasil mengubah plot suatu cerita di detik-detik akhir. Kisah-kisah yang harusnya berujung klimaks malah selesai dengan antiklimaks atau juga sebaliknya.
Bicara soal keberuntungan, ada satu sosok dalam dunia sepak bola yang dilabeli sebagai The Unluckiest Man alias pria paling tidak beruntung akibat lebih dari sekali melihat anak asuhnya tertunduk lesu sembari mengusap air mata disaat mereka bertempur di babak pamungkas. Pria itu bernama Hector Raul Cuper.
Cuper lahir di Santa Fe pada 16 November 1955 dan kariernya di bidang sepak bola dimulai sebagai pemain di beberapa kesebelasan lokal Argentina. Ferro Carril Oeste, Huracan dan Independiente Rivadavia adalah tim yang pernah dibela Cuper, dengan nama pertama merupakan kesebelasan yang paling lama diperkuatnya.
Klub-klub itu sendiri terbilang bukan nama mayor dalam konstelasi sepak bola negeri Tango. Mereka bak liliput di depan klub semisal Boca Juniors, River Plate atau Velez Sarsfield. Alhasil, tak ada prestasi mentereng yang bisa direbut oleh Cuper semasa berkarier sebagai pemain profesional. Beruntung, Cuper setidaknya sempat mencicipi bagaimana nikmatnya mengenakan seragam tim nasional Argentina sebanyak tiga kali.
Setelah pensiun sebagai pesepak bola, Cuper meneruskan kariernya di bidang ini dengan masuk ke jajaran manajemen sebagai pelatih. Klub di mana dia mengakhiri karier, Huracan, menjadi tempatnya memulai petualangan tersebut, dimulai pada tahun 1993.
Karier Cuper bersama kesebelasan berjuluk Globo tersebut berlangsung selama dua musim atau berakhir pada 1995. Setelah itu Cuper melanjutkan perjalanannya sebagai pelatih dengan menukangi klub papan tengah Argentina yang lain, Lanus.
Kesuksesan pertama Cuper sebagai pelatih dicapai bareng klub yang berdiri 102 tahun silam ini. Bertanding di ajang Copa CONMEBOL 1996, kejuaraan yang sekarang kita kenal dengan nama Copa Sudamericana, Cuper sukses mengantar anak asuhnya menjadi kampiun usai menang agregat 2-1 dari wakil Kolombia, Independiente Santa Fe.
Hal tersebut yang kemudian menarik minat beberapa tim Eropa untuk menggunakan jasa Cuper. Tawaran konkret bagi lelaki yang ketika aktif bermain dahulu melakoni peran sebagai bek ini datang pada musim panas 1997.
Adalah tim yang bermain di La Liga Spanyol, Real Mallorca, yang menawari Cuper jabatan sebagai pelatih. Kesempatan ini pun tak disia-siakan Cuper, dirinya bersedia menyeberangi Samudra Atlantik untuk menuju negeri Matador dan membesut klub yang kala itu dihuni Carlos Roa dan kawan-kawan.
Musim pertamanya bersama Mallorca berjalan cukup baik, Roa dan kawan-kawan dibawa Cuper menjejak final Piala Raja Spanyol di musim debutnya. Sayangnya, di laga puncak tersebut Mallorca harus mengakui kedigdayaan Barcelona yang ketika itu dilatih oleh meneer Belanda, Louis Van Gaal.
Meski begitu, posisi runner-up yang didapat Mallorca saat itu menghadiahi mereka segenggam tiket ke ajang Piala Winners musim 1998/1999.
Lewat penampilan apik yang diperlihatkan Roa, Vicente Engonga, Ariel Ibagaza dan Jovan Stankovic, Mallorca secara gemilang berhasil menembus final Piala Winners yang diselenggarakan di stadion Villa Park, Birmingham, Inggris. Wakil Italia, Lazio, yang saat itu diasuh oleh Sven-Goran Eriksson menjadi lawan yang mesti dihadapi.
Momen ini jelas menggembirakan bagi Mallorca, harapan untuk merengkuh trofi Eropa perdana ada di depan mata. Sayangnya, hasil akhir tak berpihak kepada mereka. Lazio secara meyakinkan berhasil mengakhiri dongeng Mallorca di Eropa dengan kedudukan akhir 2-1.
Kegagalan itu rupanya tak membuat klub-klub memandang remeh kualitas Cuper. Valencia bahkan langsung merekrutnya sebagai pelatih anyar per musim 1999/2000 hanya beberapa saat usai kekalahan tersebut.
Bersama tim yang berkandang di stadion Mestalla tersebut, Cuper mendapatkan skuat yang secara kualitas lebih baik. Ada nama Santiago Canizares di bawah mistar, Mauricio Pellegrino sebagai benteng kokoh di jantung pertahanan, Kily Gonzalez dan Gaizka Mendieta di sektor tengah serta Miguel Angel Angulo dan Claudio Lopez di barisan depan.
Penampilan El Che, julukan Valencia, begitu amat memesona musim itu lantaran sukses finis di peringkat ketiga La Liga. Meningkat ketimbang musim sebelumnya yang bercokol di peringkat empat kala masih dilatih the other unluckiest man, Claudio Ranieri.
Lebih jauh, kesebelasan yang secara total punya koleksi enam titel La Liga ini berhasil menciptakan sejarah bagi klub dengan menembus babak final Liga Champions musim 1999/2000 yang digelar di Paris. Lawan yang harus Mendieta dan kawan kawan hadapi saat itu adalah Real Madrid.
Kalah soal pengalaman dan tradisi, mengingat Madrid merupakan penguasa Liga Champions dengan rekor tujuh trofi Si Kuping Besar kala itu, tak membuat Valencia keder. Akan tetapi gol-gol dari Fernando Morientes, Steve McManaman dan Raul Gonzalez memupus harapan El Che. Mereka kalah dengan skor telak 3-0 dan harus pulang dengan tangan hampa.
Pembenahan dilakukan manajemen Valencia di musim berikutnya dengan harapan, performa mereka akan jauh lebih baik. Pablo Aimar, Roberto Ayala dan John Carew didatangkan ke Mestalla guna memberi keleluasaan bagi Cuper dalam meracik strategi.
Namun malang, penampilan El Che di La Liga justru mengendur sehingga tercecer di peringkat lima saat musim berakhir. Beruntung, performa tersebut tidak menular di ajang Liga Champions. Secara brilian, mereka kembali mentas di final Liga Champions 2000/2001. Kali ini Valencia berjumpa dengan raksasa Jerman, Bayern Munchen.
Bertanding di hadapan sekitar 80.000 penonton yang memadati stadion Giuseppe Meazza di kota Milan, Valencia berhasil unggul terlebih dahulu via penalti yang dieksekusi dengan sempurna oleh Mendieta di awal babak pertama. Ketika rasa gembira mulai memenuhi dada fans El Che, tak lama kemudian wasit menghadiahi Bayern dengan penalti usai pelanggaran yang dilakukan Jocelyn Angloma terhadap Steffan Effenberg.
Heroiknya, Canizares berhasil menepis sepakan Mehmet Scholl dari titik putih. Asa bagi Valencia pun meninggi. Angin mengarah kepada mereka. Babak pertama disudahi dengan skor 1-0.
Babak kedua, semuanya berjalan alot. Namun sepuluh menit 45 menit kedua dimainkan, Bayern lagi-lagi mendapat penalti akibat handball yang dilakukan bek Valencia asal Italia, Amedeo Carboni.
Tak ingin mengulangi kesalahan yang dibuat Scholl, Effenberg yang saat itu maju sebagai penendang berhasil mengelabui Canizares dan menjadikan skor sama kuat 1-1. Kedudukan ini kemudian berlangsung hingga dua kali babak perpanjangan waktu. Sehingga tos-tosan menjadi solusi terakhir untuk mencari pemenang.
Di fase ini, mentalitas Bayern tampak lebih kuat. Oliver Kahn, kiper Bayern, sukses membuat tiga penyelamatan termasuk tendangan dari Pellegrino yang menjadi eksekutor ketujuh Valencia. Anak asuh Cuper pun harus merelakan gelar Liga Champions melayang ke kubu Die Roten. Sang entrenador sendiri sekali lagi mesti merasakan getirnya gagal meraih trofi saat hal itu sudah ada di depan mata.
Meski gagal, Cuper kemudian menarik minat Massimo Moratti yang kala itu ingin membangun Internazionale Milano menjadi klub yang lebih baik. Maka Cuper pun menyeberang ke negeri spaghetti per musim 2001/2002.
Bersama Inter, pengalaman pahit seolah belum ingin menjauh dari Cuper. Saat kans meraih scudetto untuk pertama kali dalam waktu satu dekade hanya tinggal selangkah lagi, Ronaldo dan kawan-kawan justru takluk melawan Lazio di partai ke-34 atau pertandingan terakhir musim 2001/2002 (musim itu Serie A diikuti 18 tim). Alhasil, scudetto pun melayang ke kubu Juventus yang jadi saingan berat saat itu.
Harapan menggapai scudetto di musim berikutnya, Serie A 2002/2003, pun musnah lantaran Inter hanya sanggup finis di posisi kedua, tertinggal tujuh poin dari La Vecchia Signora yang lagi-lagi berhasil menambah perbendaharaan scudetto mereka. Serentetan rekor negatif tersebut akhirnya membuat Cuper “dianugerahi” julukan Mr. Runner up alias spesialis juara dua.
Laju I Nerazzurri yang terseok-seok di awal musim 2003/2004 pada akhirnya membuat Moratti mengambil keputusan dengan memberhentikan sang allenatore. Pasca berpetualang bersama Inter, karier Cuper seolah jauh dari kata apik.
Total ada delapan kesebelasan yang dilatihnya, mulai dari kembali ke Real Mallorca, Real Betis, Parma, tim nasional Georgia hingga klub asal Uni Emirat Arab, Al-Wasl, Ironisnya, tak ada hal spesial yang bisa dicapai Cuper bersama tim-tim tersebut. Banyak diantaranya yang bahkan hanya berlangsung singkat.
Hingga akhirnya tawaran dari salah satu raksasa sepak bola Afrika, timnas Mesir, datang menghampirinya per 2015 silam. Federasi sepak bola Mesir berharap, kemampuan Cuper dapat mengangkat kembali derajat Mesir dalam dunia sepak bola usai negara tersebut kacau balau akibat revolusi yang terjadi dalam rentang 2011-2014.
Bermodal nama-nama semisal Essam El Hadary, Mohamed Elneny dan Mohamed Salah, Cuper berusaha membangkitkan tim berjuluk Pasukan Firaun itu. Usahanya ini menemui hasil di turnamen resmi perdananya, Piala Afrika 2017.
Salah dan kawan-kawan sanggup melaju ke fase final usai merontokkan semua penghalang yang berdiri di depan mereka seperti Ghana, Mali, Maroko dan Burkina Faso. Pada partai final, Mesir harus bertempur dengan salah satu rival berat mereka di wilayah Afrika, Kamerun. Mesir sendiri menjadi unggulan lantaran Kamerun terbilang miskin bintang.
Tampil dengan kekuatan terbaik, Mesir sanggup unggul lebih dulu setelah Elneny menceploskan gol saat laga memasuki menit ke-22. Skor 1-0 ini pun kemudian bertahan sampai jeda.
Akan tetapi, pelatih Hugo Broos disisi Kamerun juga melakukan segenap perubahan agar timnya bisa membalikkan keadaan. Memasukkan Nicolas N’Kolou dan Vincent Aboubakar menjadi salah satu cara yang ditempuh.
Upaya Broos itu rupanya membuahkan hasil manis, dua pemain penggantinya itu kemudian menjadi pahlawan tim dengan mencetak gol masing-masing di menit ke-59 dan menit ke-88 untuk membalikkan situasi. Tragisnya, Cuper dan Mesir seolah tak memiliki jawaban atas hal tersebut. Hingga wasit asal Zambia, Janny Sikazwe, meniup peluit panjang, skor 2-1 bagi keunggulan Kamerun tidak berubah.
Benjamin Moukandjo dan kawan-kawan pun berhak mengangkat trofi Piala Afrika kelima mereka sepanjang sejarah. Disisi lain, kegagalan ini membuat Mesir harus melupakan impian untuk semakin sah menjadi penguasa Afrika dengan meraih titel kedelapan.
Sementara untuk Cuper, pencapaian macam ini membuat dirinya semakin sahih menjadi spesialis runner up.
How unlucky you are, Cuper.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional