Cerita Nostalgia

Belajar Mencintai Indonesia dari Papua dan Boaz Solossa

Lain halnya dengan ajang Piala AFF 2010, Boaz kala itu terpaksa dicoret Alfred Riedl karena alasan indisipliner. Alasan yang sebenarnya sudah lama diberikan kepada Boaz yang kerap mangkir dalam panggilan timnas dalam beberapa kesempatan.

Kebiasaan Boaz diam dan tidak ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum pertandingan membuatnya selalu dipandang negatif. Cap tidak memiliki jiwa nasionalisme pun pernah disematkan kepada sosok yang pernah dipinjamkan Persipura ke salah satu kontestan Liga Timor Leste pada 2016 silam.

Namun Boaz keras menjawab bahwa selama berkarier ia hanya mendapatkan cedera hebat saat membela timnas Indonesia, bukan Persipura. Hal ini menunjukkan bahwa betapa besar ia mencintai Indonesia tak peduli sehebat apapun cibiran yang datang kepadanya.

Hubungan Boaz dan Riedl pun membaik di Piala AFF 2016, ia kembali berhasil mengantarkan Indonesia ke final meski tak mampu membawa trofi juara regional yang masih sangat sulit diraih untuk Garuda.

Boaz memang belum mempersembahkan satu pun trofi untuk timnas Indonesia, berbanding terbalik dengan banyaknya prestasi yang ia raih bersama Persipura Jayapura.

Lima gelar juara kompetisi, yaitu Liga Indonesia 2005, ISL 2009, 2011, 2013, dan turnamen Torabika Soccer Championship 2016 berhasil diraih bersama Mutiara Hitam. Boaz juga pernah menjadi pemain terbaik sekaligus pencetak gol terbanyak ISL 2009, 2011, dan 2013.

Izinkan Football Tribe Indonesia mengajak Tribes melihat ke arah paling timur Indonesia, selaksa matahari yang terbit dari sisi tersebut bolehlah harapan akan sepak bola Indonesia yang lebih maju kita gantungkan pada para pesepak bola dari sudut paling timur Indonesia, Papua.

Memang belum ada sosok yang sehebat Boaz Solossa saat ini, meski sudah mulai muncul beberapa nama di berbagai sektor seperti Yanto Basna, Terens Puhiri, Osvaldo Haay hingga Alexandro Felix Kamuru yang terus melanggengkan eksistensi para pemain Papua di tubuh timnas Indonesia.

Apa yang dialami Boaz pun tak jauh beda dialami para pesepakbola Papua dan orang-orang Papua pada umumnya. Kala bersinar mereka dijunjung setinggi langit, namun satu noda kecil berujung pada cap diskriminatif bahkan tudingan tidak nasionalis sering dilontarkan, apalagi bagi mereka yang kerap menampilkan gaya bermain keras nan temperamental.

BACA JUGA: Tentang Papua dan Mutiara Sepak Bola Indonesia

BACA JUGA: Stadion Papua Bangkit: Proyek Ambisius untuk Menemani Kemegahan Gelora Bung Karno di Indonesia

Sejatinya PON 2020 ini menjadi harapan bahwa akan muncul Boaz-Boaz baru, namun pandemi COVID-19 semakin mengaburkan nasib kelanjutan PON pertama di tanah Papua tersebut. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk mengubah banyak stigma negatif yang didapatkan Papua selama bertahun-tahun.

Stadion Papua Bangkit dan berbagai sarana megahnya telah dibangun pemerintah, yang rasanya patut menjadi ungkapan terima kasih bagi tanah Papua yang tak berhenti melahirkan putra-putri terbaiknya yang mencintai Indonesia dan berjuang semaksimal mungkin di berbagai bidang yang mereka geluti, termasuk Boaz Solossa di lapangan hijau.

Ketika teman-teman Papua di sana dengan lantang mengatakan, “Saya Papua, Saya Indonesia,” mungkin sudah saatnya kita pun sama-sama menggaungkan semboyan yang sama, “Kita Indonesia, Kita Bersama Papua.”