Suara Pembaca

Hikayat Serigala dan Elang Italia

Sekitar peralihan milenium kedua dan ketiga, Serie A menjadi liga dengan kualitas dan popularitas tertinggi seantero bumi. Itu juga terjadi di Indonesia.

Minggu malam banyak anak, remaja, dan orang dewasa yang menunggu gelaran langsung pukul 20.55 di stasiun teve swasta tertua di Tanah Air. Berbeda dengan tayangan kini yang bisa mencapai 30-60 menit, pada masa itu ulasan pra-pertandingan hanya berlangsung 5 menit di televisi. Itu pun diselingi satu sesi iklan cepat.

Setelahnya, sepak mula pun dimulai. Seputaran masa itu pula Serie A melahirkan pahlawan idola sepak bola yang utama. Sementara liga lain, Liga Inggris belum sekomersil sekarang dan Spanyol belum terkena “wabah” Los Galaticos hingga Tiki Taka

Tujuh klub yang dikenal sebagai magnificent seven bersaing di papan atas untuk memperebutkan scudetto dan atau tiket kompetisi Eropa. Hal itu terjadi pada dekade akhir 1990-an meski pemenang tak jauh dari Juventus dan AC Milan yang bertabur prestasi.

Juventus diperkuat Angelo Peruzzi, Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, hingga Antonio Conte dan Roberto Baggio. Sementara AC Milan diisi nama-nama semacam Paolo Maldini, Franco Baresi, George Weah, Demetrio Albertini, Alessandro ‘Billy’ Costacurta, juga Roberto Baggio (setelah pindah dari Juventus).

BACA JUGA: 120 Tahun AC Milan: Cinta dan Benci yang Kurasa

Klub lain bukan tanpa perlawanan. Internazionale Milano terkenal sering membeli pemain bintang dengan harga mahal, yang akhirnya inkonsisten atau “mengungsi” ke ruang perawatan cedera, seperti Roberto Baggio (lagi) dan Ronaldo (Brasil).

Nama lain yang pernah membela Inter antara Lothar Matthaeus, Dennis, Bergkamp, dan Christian Vieri. Selain itu, ada juga Parma yang menjadi tempat beberapa idola menapak awal popularitas, semacam Gianluigi Buffon, Lilian Thuram, dan Hernan Crespo. Kemudian ada Fiorentina dengan trio andalan Gabriel Batistuta, Rui Costa, dan Francesco Toldo.

AS Roma dan SS Lazio juga termasuk anggota magnificent seven Serie A peralihan millenium. Roma yang berlogo serigala sedang menyusui Romus dan Remulus dalam perisai. Sementara Lazio berlambang elang yang mengepakkan sayap mencengkram perisai.

Dua klub sekota dengan rivalitas keras. Derby della Capitale yang dilakoni kedua klub kala bertemu, disebut-sebut termasuk salah satu derbi terkeras di dunia. Keduanya sukses mencuri panggung Serie A era itu. Lazio menjadi jawara dengan terplesetnya Juventus di pekan terakhir musim 1999/2000. Sementara AS Roma menguasai pentas Serie A semusim berikutnya pada musim 2000/2001. 

Kedua klub memiliki sejumlah aktor lapangan hijau yang melegenda. Lazio diperkuat nama-nama macam Pavel Nedved, Alessandro Nesta, Matoas Almeyda, Sergio Conceição, Marcelo Salas, Giuseppe Pancaro, hingga Giuseppe Favalli. Kemudian Roma mengandalkan Francesco Totti, Gabriel Batistuta (pindah dari Fiorentina), Marcos Cafu, Eusebio Di Fransesco, Marco Delvecchio, Vincenzo Montella, hingga Hidetoshi Nakata.

Nama-nama tersebut sangat tidak asing untuk penggemar Serie A waktu itu. Kini, kebanyakan dari nama-nama itu telah pensiun dari sepak bola. Beberapa alih profesi menjadi pelatih atau masuk ke jajaran manajemen seperti Nedved, Totti, dan Nesta.

Khusus Totti dan Nesta, mereka bahkan menjadi simbol persaingan kedua klub. Mereka sama-sama produk lokal kota Roma, yang menjadi kapten klub masing-masing saat masih muda. Totti di Roma dan Nesta di Lazio. Namun, persaingan keduanya “berakhir” saat Nesta pindah ke AC Milan.

BACA JUGA: Keajaiban Olimpico dan Tiga Gelas Es Teh Manis

Kiprah Roma dan Lazio memang prima  kala itu. Serie A terkenal dikuasai trio Juventus, AC Milan dan Inter meski ketiga klub jarang bersamaan bersaing dalam sebuah musim. Kemunculan Roma dan Lazio sebagai pemegang scudetto menjadikan Serie A lebih seru dan nampak menjadi liga yang dinamis.

Tapi setelahnya, trio Juventus, AC Milan dan Inter bergantian menguasai sscudetto hingga dua dekade awal milenium ketiga. Roma dan Lazio pun menjadi klub terakhir di luar Juventus, AC Milan dan Inter, yang mampu menjuarai Serie A.

Seiring waktu, pamor Serie A menurun perlahan, seiring populernya Liga Primer Inggris dan LaLiga. Para pemain bintang tak lagi menjadikan Serie A sebagai tujuan utama bermain sepak bola, meski pamor Serie A tak benar-benar meredup.

Roma dan Lazio sampai sekarang masih berlaga di Serie A. Keduanya memang tak terlalu sering menjadi kandidat juara, dan hanya sesekali saja menyelinap di jalur juara. Namun, Derby Della Capitale tetap populer, termasuk di kalangan suporter di Indonesia. Nama-nama legenda pun tetap melekat di hati masing-masing suporter.

 

*Penulis merupakan seorang penikmat berita sepak bola dari medium dalam jaringan. Bisa disapa di akun twitter @hilmi_masdar