Editorial

Mengapa Ancelotti Gagal di Napoli?

Meski berhasil membawa Dries Mertens cs. melaju ke fase gugur Liga Champions 2019/2020, Carlo Ancelotti tetap mendapat label gagal di Napoli.

Presiden I Partenopei, Aurelio De Laurentiis, memecat sang pelatih yang berhasil membawa AC Milan meraih dua gelar Liga Champions tersebut.

Sebelum membantai klub Belgia, K.R.C. Genk, Rabu (11/12) Ancelotti seolah lupa caranya meraup tiga poin. Uniknya dalam sembilan pertandingan sebelumnya, Napoli hanya sekali kalah dan delapan kali seri,. Kemenangan terakhir mereka diraih atas RedBull Salzburg, 23 Oktober lalu. Rasa-rasanya ada yang berubah mengapa pelatih sekaliber Ancelotti tak dapat berbuat banyak di San Paolo.

Saya melihatnya sebagai sebuah malfungsi manajemen, dan ini tak terjadi sejak di pra-musim 2019/2020, tapi sejak kedatangan pertama Ancelotti ke Napoli, kira-kira 1,5 musim yang lalu.

Bagi pelatih yang sudah menangani beberapa klub besar seperti Juventus, Milan, Chelsea. Real Madrid, Bayern Muenchen, dan berprestasi meraih gelar dalam 20 tahun terakhir, menangani Napoli sedikit banyak berarti degradasi mutu Ancelotti.

Di satu sisi manajemen juga perlu beradaptasi dengan kemauan Ancelotti. Permasalahan ini belum menjadi titik temu antara De Laurentiis dan Ancelotti, di mana pengusaha media dan produser film tersebut menekan pengeluaran belanja pemain serendag mungkin, tapi tetap menginginkan hasil maksimal.

Sebaliknya, sang pelatih ingin membangun skuat mumpuni demi menyaingi Juventus dalam perburuan scudetto. Pacuan Ancelotti jelas, yakni membangun skuat yang lebih mewah sepeninggal Maurizio Sarri, yang kini menangani Juventus.

BACA JUGA: Buanglah Sarri(ball) pada Tempatnya

Rencana awal Napoli adalah mendatangkan bintang lapangan hijau dengan Ancelotti sebagai daya tarik utamanya, namun hal tersebut gagal. Ancelotti malah dihadapkan eksodus sejumlah pilar utama yang tampil baik selama era kepelatihan Maurizio Sarri.

Beberapa pemain itu di antaranya Marek Hamsik, Raul Albiol, dan Pepe Reina. Meski uzur, mereka tetap menjadi andalan klub. Ketiganya berusia di atas 31 tahun dan bermain lebih dari 2.000 menit di musim 2017/2018, musim terakhir Sarri bersama Napoli.

Faktor pertama Ancelotti gagal di Napoli adalah tidak ada pengganti sepadan dari ketiga sosok tersebut. Napoli di era Ancelotti masih kuat dengan aroma racikan Sarri, mengandalkan beberapa nama seperti Kalidou Koulibaly, Dries Mertens, Jose Callejon, Lorenzo Insigne dan Piotr Zieliński.

Praktis, Ancelotti hanya menambahkan jam terbang untuk dua wajah baru di San Paolo, yakni Fabian Ruiz dan Giovanni Di Lorenzo.

Bagi saya pribadi, menyenangkan melihat Napoli besutan Sarri, meski ada sedikit masalah karena untuk bermain dengan taktik high pressing dibutuhkan stamina yang kuat.

Napoli era Sarri layaknya sebuah mesin, di mana semua komponennya bergerak terus-menerus. Namun karena Sarri enggan mengganti atau merevitalisasi komponen-komponen penting di susunan sebelas pertamanya, tak jarang suporter malah protes dengan keputusan tersebut.

BACA JUGA: Manuver Transfer Para Pemburu Scudetto

Hari berganti, Ancelotti datang menggantikan Sarri. Gaya permainan Napoli pun berubah menjadi lebih stabil, dengan formasi 4-4-2 yang harusnya membuat pertahanan semakin solid. Cara menyerang Napoli pun tidak menggunakan high pressing seperti dulu dan terkesan lebih halus ketika dibangun.

Menariknya, Ancelotti membebaskan para pemain untuk mengembangkan permainannya masing-masing tanpa mengikuti pola 4-4-2 yang diterapkan, sehingga permainan tetap dinamis di dalam lapangan.

Beberapa pemain dapat beradaptasi dengan baik. Koulibaly musim lalu dapat menerima penghargaan sebagai bek terbaik Serie A,. Lain halnya dengan Arkadiusz Milik yang mencetak 20 gol dan tidak satu pun dicetak dari titik putih.

Dries Mertens yang tetap menjadi idola lini serang Napoli pun berhasil mencatat 19 gol dan 12 asis musim lalu. Namun sayangnya performa apik tersebut hanya bertahan semusim.

Sebelum musim ini bergulir, banyak pengamat mulai menjagokan Napoli untuk meraih scudetto, tapi Ancelotti justru gagal mewujudkan ekspektasi tersebut,

Napoli terlempar ke peringkat ketujuh, bahkan kalah saing dengan tim sekelas Cagliari yang tahun ini melejit dan menghadirkan kejutan. I Rossoblu duduk di peringkat keempat hingga giornata ke-15 usai dihelat.

Perlahan tapi pasti, Ancelotti mendapatkan suntikan pemain baru dari De Laurentiis, seperti Kostas Manolas dan Hirving Lozano. Namun Ancelotti kini bukan pelatih yang mudah memberikan motivasi bagi anak asuhnya. Ia cenderung bebas dan menginginkan anak asuhnya mengembangkan permainan.

Hal itu mungkin berjalan di musim pertama, tapi secara perlahan permasalahan mental mulai dihadapi para pemain kunci. Beberapa pemain mulai jengah dengan tekanan dan harapan bahwa Napoli menjadi tim yang dapat mendobrak kemapanan Juventus.

Belum lagi situasi sulit yang terjadi datang menjelang bursa transfer musim dingin dibuka. Kontrak Mertens dan Callejon akan berakhir di musim panas 2020, Koulibaly yang tak henti-hentinya dikaitkan dengan sejumlah klub besar, dan Insigne untuk pertama kalinya mengganti agen dalam beberapa tahun terakhir. Ini menjadi tanda-tanda ketidakharmonisan antara Ancelotti dan manajemen.

Dilansir dari salah satu media di Italia, bahkan jelang laga kontra Salzburg di Liga Champions, terjadi keributan di antara beberapa pemain. Di satu sisi Ancelotti bukan pelatih yang gemar menekan anak asuhnya. Tipikalnya berbeda dengan Gennaro Gattusso yang per Kamis (12/12) resmi ditunjuk menjadi penggantinya.

BACA JUGA: Setangkup Takzim untuk Gennaro Gattuso

Ancelotti gagal di Napoli karena nampaknya sang pelatih juga ogah-ogahan menangani I Partenopei. Setidaknya itu yang saya rasakan. Ancelotti ingin agar para pemainnya tidak belajar dari awal, tetapi tahu yang mereka butuhkan untuk memenangkan pertandingan.

Pun sejak awal nampaknya pembelian seperti Manolas dan Lozano pun tak berdampak banyak, karena mungkin mereka bukanlah pemain yang diidam-idamkan sang pelatih.

Mungkin gaya Gattusso yang meledak-ledak seperti Sarri mampu mengembalikan Napoli ke treknya. Kita tunggu saja apakah sang murid dapat membalikkan semua cibiran, setelah ia juga gagal mengikuti jejak sang guru saat melatih AC Milan beberapa musim lalu.

*Tulisan ini dialihbahasakan dari artikel Football Tribe Jepang. Artikel asli dapat dilihat di sini.