Ratusan meter jarak terus ditempuhnya, duel demi duel terus dihadapinya, dan asis demi asis terus diukirnya. Riko Simanjuntak terus melaju dengan sepasang kakinya, meraih kemenangan demi kemenangan di Persija Jakarta, membahagiakan Jakmania, dan jadi idola baru di ibu kota. Sebuah perputaran nasib yang sangat cepat, dari seorang pemain yang musim lalu klubnya terdegradasi.
Riko di awal musim ini sangat luar biasa. Membuat kedua sisi serangan Persija lebih seimbang, setelah musim lalu timpang karena tidak memiliki sayap kanan jempolan. Riko kemudian datang, masuk ke tim inti, dan langsung memberi kontribusi masif.
Ia membentuk duet besar-kecil yang sangat kompak bersama Marko Simic, seperti Nihat Kahveci dan Darko Kovacevic di Real Sociedad atau Alessandro Del Piero dan David Trezeguet di Juventus. Dengan determinasinya yang tinggi, ia juga meringankan kerja Ismed Sofyan, yang sekarang tak perlu sering maju hingga sepertiga akhir lapangan.
Bisa dibilang Riko adalah kepingan terakhir dalam skuat terbaik Persija saat ini. Jika dibandingkan dengan pemain musim lalu yang hengkang, Jaimerson Xavier memang menggantikan William Pacheco dengan sangat baik, dan Marko Simic jauh lebih subur dari Bruno Lopes serta Reinaldo da Costa, tapi Riko memberi warna tersendiri dalam permainan Persija.
Musim lalu tak ada pemain dengan tipikal Riko di tubuh Macan Kemayoran. Di skema 4-3-3 racikan Stefano Cugurra, tiga pemain di depan adalah penyerang murni. Biasanya ditempati Rudi Widodo, Reinaldo da Costa, dan Bruno Lopes. Kemudian saat Reinaldo cedera panjang, Bambang Pamungkas yang menggantikannya. Tetap tiga penyerang murni.
Skema tersebut membuat dua penyerang yang bermain melebar terkebiri produktivitasnya. Baik Rudi Widodo maupun Bruno Lopes adalah tipikal ujung tombak, bukan penyerang sayap yang bisa terus menerus berlari menyisir lapangan dan mengirim umpan silang atau melakukan penetrasi. Sementara itu Bambang dan Reinaldo tidak mungkin dimainkan melebar. Akibatnya, serangan Persija jadi kurang maksimal.
48 gol yang dicetak Persija musim lalu adalah buktinya, bahwa mereka bermasalah dalam produktivitas gol. Jumlah tersebut adalah yang terendah kedua di 10 besar setelah Arema FC (43 gol), dan sama dengan Barito Putera. Persija bahkan kalah subur dari Persela Lamongan di peringkat 14 yang mencetak 49 gol.
Melengkapi komposisi
Sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik dengan Riko di sisi kanan. Kecepatanannya, dribelnya, determinasinya, membuat komposisi pemain Persija saat ini lebih lengkap. Riko dapat mengimbangi kecepatan Novri di sisi kiri, sehingga Persija memiliki dua pemain sayap yang cepat dan tajam.
Dikombinasikan dengan dua bek sayap yang sama-sama memiliki umpan silang akurat, membuat asupan bola ke lini depan jadi lebih lancar. Terbukti dengan produktifnya Marko Simic, dan lini tengah yang sekarang punya lebih banyak variasi untuk mengirimkan umpan.
Sebuah performa yang sangat heroik dari Riko Simanjuntak. Pemain mungil yang musim lalu terbenam di papan bawah bersama Semen Padang, terdegradasi secara dramatis di akhir musim, tapi kini langsung bangkit, melesat tinggi bersama Persija Jakarta.
Trofi Piala Presiden 2018 menjadi awalan yang sangat baik untuk memulai perjalanan bersama Persija, dan kini berpeluang besar lolos langsung ke fase gugur Piala AFC 2018. Jika sanggup menjaga konsistensinya, bukan tidak mungkin trofi Go-Jek Liga 1 akan digenggam di akhir musim, bersama Persija Jakarta yang sudah 17 tahun puasa gelar liga domestik.
Roda kehidupan memang terus berputar, dan khusus bagi Riko Simanjuntak, roda itu berputar sangat kencang. Dari yang musim lalu berupaya lolos dari lubang relegasi, sekarang berubah menjadi pemburu trofi bergengsi.