Cerita

Thomas Strakosha, Bocah Albania yang Beranjak Luar Biasa

Selain Islandia, negeri kurcaci lain yang juga mengalami kemajuan adalah Albania. Seperti apa progres negeri pecahan dari Yugoslavia ini?

Partisipasi di Piala Eropa 2016, debut mereka di turnamen resmi internasional adalah jawabannya. Meski gagal mengemulasi ritme untuk lolos ke Piala Dunia di Rusia nanti, Albania tetaplah punya potensi.

Beberapa andalan tim nasional Albania saat ini pun berkutat di daratan Eropa, seperti Elseid Hysaj (Napoli), Taulant Xhaka (Basel), dan Armando Sadiku (Levante). Khusus di sektor kiper, mereka bahkan punya dua penghalau bola berkualitas berkarier di Serie A, Etrit Berisha (Atalanta) dan Thomas Strakosha (Lazio).

Fluktuasi karier pesepak bola terkadang berkelindan dengan apa yang terjadi pada rekan satu timnya. Dan itulah yang terjadi pada dua orang ini. Strakosha yang berumur 23 tahun, sebenarnya kelahiran Yunani. Kariernya pun dimulai dari Panionios, klub lokal di Negeri Seribu Dewa tersebut. Namun, soal timnas, ia memilih negara asal orangtuanya, Albania. Strakosha sendiri memang berdarah sebagai pesepak bola. Ayahnya, Foto Strakosha, juga besar sebagai kiper andalan Albania masa lampau.

Igli Tare, direktur olahraga Lazio asal Albania-lah yang berperan membawa Strakosha ke sana, tepatnya pada 2012. Meski begitu, Strakosha tak langsung menjadi andalan tim ibu kota Italia itu karena usia yang masih hijau, 17 tahun. Selain digodok skill dan mentalitasnya di jenjang Primavera, tak lupa dia merasakan standar operasi khas klub besar Italia kepada pemain muda; dipinjamkan. Strakosha sempat berada di Salernitana, klub Serie B yang juga dimiliki Presiden Lazio, Claudio Lotito pada musim 2015/2016.

Nasib Strakosha dulu hampir tak pernah mujur. Meski sudah beberapa kali masuk skuat senior Lazio sejak musim 2012/2013, dirinya baru menuai debut pada musim 2016/2017. Dia harus menunggu empat musim sejak bergabung untuk merasakan debut bersama Biancocelesti, yang sekaligus menjadi laga pertamanya sebagai pemain profesional. Dari berbagai faktor yang mengawali Strakosha hingga menjadi andalah Lazio saat ini, dia mungkin harus berterima kasih pada seniornya di timnas, Etrit Berisha.

Berisha baru didatangkan Lazio pada 2013 dari Kalmar untuk melapisi Federico Marchetti. Tetapi, seturut cederanya mantan deputi Gianluigi Buffon di skuat Gli Azzurri itu, Berisha beberapa kali muncul sebagai portiere numero uno baik itu di era Vladimir Petkovic, Edy Reja, dan Stefano Pioli.

Penampilan apik Berisha berujung didapuknya dia sebagai kiper utama Albania dari kualifikasi hingga putaran final Piala Eropa 2016. Sejak penampilan apik di Piala Eropa itulah, Berisha merasa layak jadi pilihan utama Lazio. Namun klub justru masih memilih Marchetti. Alhasil Berisha kecewa, meminta dilego dan Atalanta-lah tempatnya berlabuh.

Di awal musim 2016/2017, posisi Strakosha aslinya sebagai kiper nomor empat di bawah Federico Marchetti, Etrit Berisha, dan Ivan Vargic. Kepergian Berisha dan cederanya Marchetti adalah musibah Lazio, namun berujung anugerah bagi Strakosha. Simone Inzaghi yang diangkat sebagai pelatih permanen memberikannya debut.

Inzaghi mungkin paham kualitas Strakosha, terlebih dia juga pernah menukanginya di Lazio Primavera. Dan ternyata bocah Albania itu mampu menampilkan performa apik. Meski Marchetti satu dua kali masih mampu kembali ke starting line-up pada musim lalu, Strakosha tetap banyak bermain (21 kali di Serie A).

Musim ini statusnya makin kuat. Dialah pilihan utama Inzaghi dan diandalkan di semua kompetisi dengan 42 penampilan musim ini. Berdasarkan situs Squawka, Strakosha memang hanya menempati urutan ke enam sebagai kiper dengan skor tertinggi di Serie A musim ini. Dia hanya menghasilkan 2,8 penyelamatan tiap laga, 8 clean sheets, dan akurasi umpan 69%.

Tetapi, hal itu juga dipengaruhi permainan ofensif Lazio dan lini belakang keropos. Gli Aquilotti adalah salah satu klub terproduktif di Serie A (bersama dengan Juventus) dengan catatan 67 gol hingga pekan 29, namun di sisi lain mereka punya angka kebobolan tertinggi di enam besar klasemen, 37 gol. Bahkan, klub papan bawah seperti Genoa pun lebih sukar dibobol daripada Lazio, dengan 32 gol yang mereka derita. Orang mungkin lebih banyak membicarakan Sergej Milinkovic-Savic sebagai sensasi Lazio musim ini. Tidak salah memang, posisinya sebagai gelandang serang, tentu lebih menyedot perhatian penonton laga daripada orang yang bertugas menghalau serangan. Tetapi keberadaan Strakosha setidaknya membuat Lazio tak kalah gengsi dari sang rival, AS Roma.

Ketika Giallorossi memiliki Alisson Becker yang disebut sebagai kiper terbaik Serie A saat ini, Lazio juga punya penjaga gawang bermasa depan cerah seperti Thomas Strakosha. Lebih dari itu, mengorbitnya Strakosha juga menjadi bukti kombinasi kejelian Igli Tare sebagai direktur olahraga dan Simone Inzaghi dalam memaksimalkan minimnya bujet transfer.

Seperti yang terjadi pada Luis Alberto dan Adam Marusic, Strakosha didatangkan dengan harga murah (75 ribu euro dari Panionios) namun punya dampak yang positif. Penilaian dari Transfermarkt, harga Strakosha saat ini di kisaran 20 juta euro. Melonjak dua puluh kali lipat sejak Oktober 2016 ketika dirinya divaluasikan hanya sebesar 1 juta euro.

Akan seperti apa kisah Thomas Strakosha ke depan? Akan lebih baik dari kiper belia lain seperti Gianluigi Donnarumma atau tidak, kita akan segera melihat jelas satu dua musim ke depan. Namun kini kariernya perlahan mapan. Dari sekadar bocah antah berantah dari Albania yang tak dikenal, kini mulai beranjak jadi sosok luar biasa di Serie A.

Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)