‘Kain suci’ adalah jargon umum di kalangan penggemar sepak bola jika mengacu kepada seragam tempur sebuah kesebelasan. Anggapan suci itu sendiri muncul karena masing-masing klub memiliki kostum yang berbeda satu sama lain sebagai penanda identitas, entah klub lokal ataupun asing.
Teruntuk penggila sepak bola nasional, momen launching sebuah tim yang biasanya dibarengi dengan rilis resmi kostum terbaru selalu dianggap menarik. Jelang bergulirnya Liga 1 musim 2018 hari Jumat lalu (23/4), setidaknya ada lebih dari lima klub yang melakukan hal tersebut, mulai dari Arema FC sampai Perseru Serui.
Namun selayaknya seragam milik kesebelasan luar negeri, datangnya momen peluncuran kostum klub-klub Indonesia juga selalu diintai oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab yang gemar membuat kostum tiruan atau populer disebut KW.
Sudah menjadi rahasia umum jikalau Indonesia merupakan salah satu surganya produksi sekaligus penjualan kostum KW. Termasuk klub-klub dalam negeri yang sedang berusaha keras menjadi sebuah entitas profesional.
Dengan dalih harga miring, umumnya separuh dari harga kostum orisinal, kostum KW ini pun menjadi buruan khalayak. Tak peduli bahwa dengan membeli seragam tiruan tersebut, mereka ikut mengebiri pendapatan klub lewat bisnis merchandise.
Bila mengikuti perkembangan sepak bola Eropa, para pencinta sepak bola sudah tentu mafhum kalau penjualan merchandise orisinal adalah satu dari sekian ladang bisnis yang dimiliki oleh klub untuk beroleh pendapatan.
Tribes pasti masih ingat kala Real Madrid beroleh keuntungan masif cuma lewat penjualan kostum dengan nameset Cristiano Ronaldo usai lelaki Portugal itu direkrut dari Manchester United musim panas 2009 silam. Konon, uang senilai 80 juta euro (banderol Ronaldo sendiri mencapai 94 juta euro) berhasil dikumpulkan Los Blancos hanya dalam tempo beberapa bulan!
Dari contoh kasus di atas, kita bisa sama-sama memahami jika bisnis merchandise berpotensi memberi pemasukan yang cukup signifikan bagi klub sepak bola profesional.
Kendati demikian, tantangan untuk bisa meraup sukses dan keuntungan dari ruang bisnis yang satu ini juga tidak mudah. Seperti yang telah saya paparkan di bagian awal artikel, pembajakan jadi salah satu masalah utamanya.
Namun di sisi lain, keseriusan klub-klub Indonesia untuk menggarap sektor ini juga masih kurang. Sebagai contoh, minat tinggi dari para penggemar untuk memperoleh kostum orisinal klub kesayangan mereka tidak terakomodasi dengan mudah.
Pasalnya, banyak kesebelasan Indonesia yang tidak memiliki gerai resmi yang menjual kostum atau segala pernak-pernik orisinal. Terlebih, ketersediaan produk (khususnya jersey yang menjadi item utama buat dikoleksi) kerap tak maksimal lantaran proses produksi dari apparel seringkali tersendat.
Padahal, kepemilikan gerai resmi adalah cara yang membuat klub bisa lebih dekat dengan para penggemarnya sebab bagaimanapun juga, antusiasme dan keinginan untuk memiliki barang-barang yang terkait dengan klub idola pasti akan selalu ada di dada suporter.
Melalui gerai resmi, pihak klub juga dapat memaksimalkan ruang untuk memperoleh pendapatan sekaligus merangsang para suporter untuk membeli produk orisinal. Alhasil, jalan untuk menjadi sebuah tim profesional pun semakin nyata sebab klub bisa terus belajar dan berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri via bisnis merchandise orisinal.
Teruntuk klub-klub di Indonesia, baru sebagian kecil yang memiliki gerai resmi. Sejauh ini, klub-klub Liga 1 yang punya gerai resmi adalah Arema FC, Bali United, Barito Putera, Madura United, Persebaya Surabaya, Persib Bandung, PSIS Semarang, PSM Makassar, Sriwijaya FC, dan Borneo FC.
Sementara Persela Lamongan dan Persija Jakarta, meski belum memiliki gerai resmi sendiri tapi merangkul pihak kedua (Persela dengan Diehard Store, sedangkan Persija dengan Jakmania Store) untuk menjual merchandise orisinak mereka.
Mengacu pada fakta tersebut, berarti masih ada enam klub lain yang berlaga di Liga 1 tapi belum memiliki gerai resmi sendiri. Mereka adalah Bhayangkara FC, Mitra Kutai Kartanegara, Perseru Serui, Persipura Jayapura, PSMS Medan, dan PS TIRA.
Maknanya, kesempatan dari tujuh kesebelasan tersebut meraup pundi-pundi secara langsung via penjualan merchandise nyaris nol. Merugikan? Tentu saja, karena sekecil apapun pendapatan yang bisa diraih dari penjualan merchandise orisinal lewat gerai resmi tetap memiliki efek yang cukup penting guna tumbuh dan berkembang sebagai tim sepak bola profesional.
Seperti para penggemar yang ingin klubnya jadi sebuah tim yang profesional di segala aspek, pihak klub pun harus menggali semua potensi untuk sampai di titik itu. Salah satunya tentu saja mendirikan gerai resmi untuk memasarkan produk-produk orisinal kepunyaan mereka.
Jangan sampai pihak klub justru kecolongan oleh para produsen kostum KW dan senantiasa berdalih merugi karena hal tersebut. Asumsinya sederhana saja, bagaimana mau untung bila salah satu lini yang dapat dimaksimalkan untuk ladang bisnis, malah tak dijamah sama sekali.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional