Dalam beberapa tahun ke belakang, nama Viking Frontline menjadi buah bibir. Bukan saja di kalangan internal para pendukung Persib Bandung saja, nama Viking Frontline juga menarik perhatian dalam lingkup sepak bola secara nasional. Bukan saja tentang mereka yang aktif mendukung Persib Bandung ketika berlaga, tetapi juga bagaimana sikap mereka di media sosial melalui akun @v_frontline_pc yang sepertinya berbeda dengan suporter kebanyakan.
Nama mereka mulai menghangat di pentas nasional sejak tahun 2017 lalu, terutama ketika salah satu anggota mereka, Ricko Andrean, menjadi salah satu korban akibat rivalitas panas antara Persib Bandung dengan Persija. Alih-alih membalasnya dengan kekerasan lagi, Viking Frontline justru bertemu langsung dengan Ketua Umum Persija Jakarta, Ferry Indrasjarief, untuk menghentikan rivalitas semu yang sudah mulai tidak sehat ini.
A tribute to Ricko Andrean & @v_frontline_pc "Because We Are Young" https://t.co/UhFXXnzYUo pic.twitter.com/5z8jc4QMQO
— 𝖛𝖎𝖐𝖎𝖓𝖌 𝖕𝖊𝖗𝖘𝖎𝖇 𝖈𝖑𝖚𝖇 (@officialvpc) February 19, 2018
Mendengar kata “frontline” tentu yang terbayang adalah konotasi yang dekat dengan kekerasan. Kata frontline membuat banyak orang beranggapan bahwa kelompok suporter ini merupakan tim garis depan dalam setiap pertarungan. Padahal sebenarnya makna frontline sendiri bukan demikian.
Dalam sebuah obrolan santai bersama penulis di sebuah kawasan perkantoran di daerah Jakarta Selatan, dua pucuk pimpinan Viking Frontline, Tobias Ginanjar dan Anky Rahmansyah, memberikan penjelasan mereka terkait nama frontline yang sering disalahartikan.
Tobias dan Anky merupakan sosok dwitunggal dalam kepengurusan Viking Frontline. Karena kedua sosok ini sendiri merupakan otak dari lahirnya Viking Frontline itu sendiri. Meskipun demikian, Tobias-lah yang secara organisasi merupakan pimpinan dari Viking Frontline.
“Memang kita berdua yang mendirikan. Tetapi Tobias-lah yang jadi ketua. Selain soal kapasitas dan kapabilitas yang memang mumpuni, juga karena Tobias sering aktif dalam kegiatan suporter dan banyak terlibat di lingkup Viking itu sendiri secara keseluruhan,” ungkap Anky membuka obrolan.
Tobias dan Anky juga memberikan pejelasan mereka soal banyak pihak yang salah kaprah dengan nama Viking Frontline.
“Sebenarnya kita bukan tim tempur juga istilahnya, ya? Nama frontline dipilih karena dari dulu kami menonton Persib selalu berada di baris depan tribun timur Stadion Siliwangi. Pemilihan nama frontline sendiri ya memang karena kami sering menonton di baris depan,” ujar Tobias.
“Meskipun pada perjalanannya, kami memang beberapa kali sempat terlibat dalam gesekan-gesekan antar-suporter, dan keterlibatan dalam isu-isu lainnya.
“Kami ada di sana waktu memboikot film dokumenter The Jakmania yang kontroversial. Waktu itu, saya bahkan termasuk yang langsung datang ke bioskop, merobek poster film, dan meminta manajemen bioskop untuk tidak menayangkan film tersebut. Kami juga menjadi pihak yang menginsiasi atau memulai ketika banyak kelompok suporter melakukan demo ke Sulanjana (kantor PT. Persib Bandung Bermartabat) karena ada yang salah dengan kondisi Persib.”
Dari obrolan soal nama yang sering salah kaprah ini kemudian berlanjut dengan sejarah bagaimana Viking Frontline ini terbentuk. Bagaimana memang pada awalnya Tobias dan Anky menjadi sosok berdirinya kelompok suporter yang sedang nge-hits ini.
“Sebenarnya, karena dulu saya dan Anky teman dari SMP. Kami sudah jadi anggota Viking sekitar sejak tahun 1998. Kita sering nonton Persib bareng di stadion. Dia yang mengajak saya untuk datang ke stadion dan nonton Persib.“
“Bahkan pada masa ini, sebenarnya kami sudah berniat untuk membuat distrik tersendiri. Tapi pada waktu itu, peraturan membuat distrik di Viking masih amat sangat ribet dan rumit. Ada jumlah KTA (Kartu Tanda Anggota) yang kuotanya mesti dipenuhi dan syarat-syarat lain yang sulit. Niat itu (membentuk distrik) kemudian urung.”
“Akhirnya baru bisa jadi (terbentuk) tahun 2005. Waktu itu kita sama-sama sudah kuliah, dan relasi juga lebih banyak dan lebih baik dari sebelumnya. Awalnya kita mau kasih nama Viking College karena kebetulan waktu itu awalnya anggota lebih banyak anak kampus.”
“Tapi karena sudah ada Viking Unpas (Universitas Pasundan), dan beberapa kelompok dengan nama kampus masing-masing, maka nama lain mesti dicari. Hingga akhirnya dipilihlah nama frontline,” ungkap Anky menambahkan.
Tentang cara tersendiri mendukung Persib dan isu suporter terbaik
Viking Frontline baru saja memperingati hari jadi mereka. Kini anggota mereka sudah terdaftar mencapai angka ratusan orang. Selama 13 tahun perjalanan sejak didirikan pada tahun 2005, tentu ada banyak perubahan yang mereka alami. Dari ketika Persib masih menyusu dana APBD sampai menjadi bergelimang sponsor. Dari tim yang sulit menang sampai berada di puncak takhta juara. Mereka mengalami banyak fase dan transisi dari tim Persib Bandung itu sendiri.
Yang dipertahankan oleh Viking Frontline selama 13 tahun ini adalah soal cara mereka mendukung Persib Bandung. Baik Tobias dan Anky berpendapat bahwa Frontline ini ingin mengembalikan suporter kepada nilai alamiahnya. Yaitu dengan secara natural mendukung tim kesayangan tanpa ada kepentingan dan tendensi apapun dibaliknya.
“Sebenarnya tujuan kami sih lebih ingin mengembalikan suporter ke fitrah-nya istilahnya mah. Bagaimana suporter ya mendukung tim tanpa embel-embel apapun. Termasuk soal dana untuk menghidupi kegiatan kelompok suporter itu sendiri.”
“Kami berani bilang atau klaim jika hanya kami yang mandiri bahkan termasuk soal dana. Yang bahkan untuk urusan kongres saja, kami pakai dan urunan di antara kami sendiri. Ada beberapa kelompok lain yang sampai meminta ke pihak lain. Ini juga berlaku soal pendanaan koreo atau bendera di stadion. Kalau kami buat giant flag atau spanduk, ya dananya dari urunan setiap anggota kami.”
“Dana datang dari udunan dan penjualan merchandise kita. Merchandise ini sendiri tidak kita buat dalam skala besar-besaran, karena Frontline bukan unit bisnis, cuma untuk menambal dana kegiatan di dalam dan luar stadion.”
“Soal dana dari pihak luar ini yang kemudian membuat seakan suporter ini jadi seperti tidak ada wibawanya. Dengan adanya dana dari pihak tertentu pastinya akan membuat kelompok suporter tersebut rawan dengan kepentingan ya?,” ujar Tobias.
Senada dengan Tobias, Anky juga menimpali dengan menyebut bahwa seharusnya mendukung tim kesayangan ya dengan alamiah saja.
“Ngedukung Persib ya bagusnya jujur dan alamiah saja. Nggak perlu embel-embel apapun. Karena jika sudah ada kepentingan, tentu imbasnya akan tidak bagus juga ke cara kita mendukung Persib itu sendiri. Suporter ya suporter aja gitu.”
“Kami di Frontline juga ada latar belakang dan aktivitas masing-masing. Tapi saya, Tobias, dan teman-teman yang lain juga tidak pernah menggunakan Frontline sebagai alat untuk aktivitas kami tersebut.”
Karena hal tersebutlah kemudian Anky menambahkan mengapa di setiap kongres yang diadakan oleh Frontline untuk memperingati hari jadi Frontline, selalu ada tema yang mengiringi. Mereka ingin setiap kongres atau pertemuan tahunan tersebut memiliki makna, tidak sekadar hanya pertemuan saja. Untuk kongres tahun ini tema mereka adalah “Unite for Dignity”.
“Soal karakter suporter itu memang mesti banyak dibenahi. Karena itu tema kongres kami tahun ini adalah Unity for Dignity. Makna besarnya ya soal menyingkirkan perbedaan demi mendukung Persib. Demi cinta dan kebangaan kami mendukung Persib.
Tobias dan Anky juga memberikan pendapat mereka soal isu yang tengah menghangat di kalangan Bobotoh, dan bahkan sampai ke tahap kelompok suporter di lingkup nasional, yaitu soal penghargaan Bobotoh sebagai suporter terbaik di Piala Presiden 2018. Penghargaan ini merupakan yang ketiga kalinya secara beruntun Bobotoh dapatkan di ajang yang sama.
“Indikatornya tidak jelas. Apa yang kemudian membuat Bobotoh dapat penghargaan tersebut (suporter terbaik). Apakah karena koreonya, apakah karena kuantitas yang hadir di stadion, dan hal-hal lainnya.“
“Justru penghargaan ini bukannya mempererat hubungan antar-suporter, rasanya malah menimbulkan permusuhan. Karena pada dasarnya setiap suporter tentu memberikan yang terbaik ketika mereka mendukung tim kesayangan mereka,” kata Tobias.
Sementara Anky juga berpendapat bahwa suporter Indonesia pada tahapan tertentu memang sama saja. Semua berusaha sebaik mungkin untuk memberikan dukungan kepada tim yang mereka dukung. Ia juga beranggapan bahwa penghargaan ini juga termasuk salah satu potensi yang membuat suporter menjadi rawan kepentingan.
“Pada akhirnya semua suporter di Indonesia ini sama saja secara fungsi, ya. Tujuannya kan mendukung tim masing-masing dengan cara terbaik. Lagipula dengan adanya penghargaan justru membuat kita tidak murni lagi dalam mendukung. Nanti membuat koreo atau chants yang bagus justru bukan buat menyemangati tim, tapi agar mendapatkan penghargaan. Padahal keberadaan suporter sendiri kan untuk mendukung tim.”
Mengakhiri obrolan, ketika ditanya bagaimana tentang Persib Bandung saat ini dan peluang mereka di kompetisi nanti. Begini jawaban mereka, “Kami sih ya, inginnya semua menjalankan perannya masing-masing dengan baik. Tim pelatih mengerjakan tugasnya sebagai pelatih, manajemen juga tidak terlalu banyak kepentingan yang kemudian memengaruhi tim. Karena memang seringnya bisnis dan prestasi agak sulit berjalan beriringan.”
“Menurut kami sih, (Mario) Gomez ini pelatih bagus. Curriculum vitae-nya juga sudah menjelaskan bagaimana bagusnya dia (Gomez). Tapi dia perlu waktu juga untuk membentuk tim sesuai dengan visinya. Mungkin semua bakal keluar di musim keduanya, bukan sekarang,” pungkas Anky.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia