Apakah postur Anda setinggi antara 160-170 sentimeter? Apakah Anda bisa bergerak sangat lincah seakan-akan gaya gravitasi di sekitar Anda sangat rendah? Apakah ketika bermain bola Anda hobi melewati satu-dua pemain lawan saat menggiring?
Jika iya, maka saya ucapkan selamat untuk Anda, karena layak menyandang status sebagai “Messi di Sunday League (Liga Amatir)”, dan diperbolehkan memasang tulisan itu dengan penuh rasa bangga di setiap pakaian yang Anda kenakan!
Dari kriteria yang telah disebutkan di atas, tercantum kategori usia. Artinya, siapapun dia asalkan bertubuh mungil, jago gocek, dan memiliki banyak jurus untuk melewati lawan, maka dia boleh disebut sebagai The Next Messi. Sindrom yang melekat di beberapa pemain yang memenuhi tiga kriteria di paragraf pembuka.
Walid Soliman, gelandang tengah timnas Mesir, suatu ketika pernah mendapat “status istimewa” itu, walau selama 12 tahun menjalani karier profesionalnya, baru 25 kali ia membela negaranya. Kini di usianya yang menginjak 33 tahun, seiring kemampuan yang menurun, predikat itupun perlahan luntur. Menjadikannya pemain yang lebih dikenal dengan julukan “dulu seperti Messi.”
Lain halnya dengan Pietro Pellegri. Remaja asal Italia ini pada September 2017 lalu menjadi pemain pertama yang mencetak dua gol dalam satu pertandingan di Serie A, pada usia 16 tahun. Berusia sangat muda dan memecahkan rekor yang sensasional, julukan The Next Messi pun langsung melekat padanya seketika.
Saking fenomenalnya Pietro Pellegri yang saat itu masih bermain di Genoa, BBC langsung memerintahkan James Horncastle yang hebat itu untuk mengemas artikel tentang latar belakang kehidupan sang pemain. Seperti biasa, artikel James sangat informatif dan obyektif, tapi judulnya tak bisa luput dari tiga kata yang selalu hinggap di nama para wonderkids, yaitu “The Next Messi” dilanjutkan dengan kalimat “yang memecahkan rekor Serie A”.
Dunia sepak bola tidak peduli apakah Pellegri masih 16 tahun, belum jadi langganan starter di timnya, bahkan saat itu baru mengantongi 354 menit bermain sepanjang kariernya. Asalkan ada rekor, berposisi penyerang, dan usia pemain itu masih muda, melekatlah julukan The Next Messi padanya.
Tapi jika ditelisik lebih jauh, apakah para penyerang wonderkids tersebut memang menghendaki julukan itu? Apakah mereka sengaja mengincar rekor di usia muda agar dunia mengenalnya sebagai The Next Messi? Atau, apakah mereka memang menjadikan Messi sebagai kiblat permainan mereka?
Inilah konyolnya sepak bola. Di bidang lain, kita tidak bisa menempelkan julukan “The Next” pada apapun begitu saja, yang menyamai atau melampaui prestasi pendahulunya.
Jika seorang anak muda bisa melantunkan nada dengan sangat indah melalui gitarnya yang terbuat dari Norwegian Wood, ia tidak akan dijuluki The Next Beethoven. Jika ada seorang blogger yang sangat fenomenal di internet, dia takkan dilabeli sebagai The Next Hemingway. Begitu pula jika ada seorang aktor muda dengan pembawaan peran yang sangat mendalam, ia tidak akan dijuluki The Next Marlon Brando di bidangnya.
Hanya di sepak bola kita menghadapi kenyataan seperti itu. Hiperbola pre-term istilahnya, yang berarti perkiraan berlebih dari kenyataan sebenarnya, yang bisa membawa konsekuensi besar di kemudian hari.
Pada tahun 2001 di usianya yang masih 6 tahun, Jean Chera bermain di sebuah turnamen lokal di Sao Paulo. Dalam sebuah pertandingan, ia mencetak gol yang sangat cantik dari tendangan bebas dengan jarak yang cukup jauh. Empat tahun kemudian ia kembali menebar sensasi. Videonya yang menggiring bola sambil meliuk-liuk melewati lawan dengan mudahnya viral di internet, dan langsung tersiar kabar ada ketertarikan dari Manchester United.
Kisah Chera kemudian dibingkai dengan sangat manis oleh media-media Brasil, menggambarkan bahwa sang pemain kelak akan menjadi dewa sepak bola baru bagi Negeri Samba, untuk menyaingi Lionel Messi yang begitu dipuja di Argentina, yang notabenenya adalah rival mereka dalam sepak bola.
Namun, Chera pada akhirnya tidak pernah mendaratkan kakinya di sepak bola Eropa. Ia menandatangani kontrak dengan Santos, klub kampung halamannya, tapi tidak bertahan lama karena saat menginjak usia 15 tahun kontraknya dibatalkan lantaran ada perselisihan antara dewan klub dengan ayahnya. Chera pun langsung memutuskan pensiun, dan baru enam tahun kemudian kembali bermain, di divisi empat Liga Brasil.
Bergeser ke Jerman, di usianya yang 18 tahun, seorang pemain muda berulang kali mendapat pujian berkat kecepatan, dribel, serta insting mencetak golnya yang tinggi. Beroperasi di sektor sayap, pemuda itu bernama Marko Marin, yang menjadi sensasi di Borussia Mönchengladbach dan mendapat julukan “Messi dari Jerman”.
Bakat Marin kemudian semakin berkembang saat ia pindah ke Werder Bremen. Di sana ia sangat diandalkan untuk menggedor pertahanan lawan, dan kehebatannya berujung pada ketertarikan Chelsea, klub di mana ia memulai penurunan kariernya, dan semakin tenggelam saat dipinjamkan ke Sevilla, Fiorentina, Anderlecht, dan Trabzonspor. Lalu di mana ia bermain sekarang? Olympiakos.
Jalan hidup serupa juga menimpa Bojan Krkić, bahkan lebih tragis. Ia melakoni debutnya di tim senior Barcelona dalam laga resmi pada usia 17 tahun 19 hari, mengalahkan rekor Messi yang lebih tua 3 bulan 22 hari. Di musim debutnya, Bojan mencetak 10 gol, dan sama seperti Messi, lulus dari Barcelona B, berpostur pendek, lari cepat, dribel menawan, dan rambut yang perlu ditata lebih rapi, dia adalah The Next Messi bahkan di saat Messi sendiri baru merintis kejayaan.
Sayangnya, bakat besar Bojan tak pernah bisa dimaksimalkan. Ia kesulitan menembus tim inti Barcelona, yang membuka pintu baginya untuk hengkang ke AS Roma, singgah sebentar di AC Milan, dan menjalani malam yang dingin nan berkabut di Stoke City. Hingga akhirnya kini, ia terdampar di Deportivo Alavés.
Hal yang sama juga terjadi pada beberapa pemain seperti Marlos Moreno, Juan Manuel Iturbe, Ryan Gould, Sebastian Giovinco, dan Adam Maher. Seiring beranjaknya usia menuju awal 20-an, label The Next Messi ikut melekat dalam diri mereka, dan seiring melajunya waktu, predikat itu perlahan luntur, meredup seperti sinar kebintangan mereka yang belum sempat berpenjar lama.
Lalu apakah di dunia ini tidak akan ada The Next Messi? Apakah setelah Messi pensiun nanti tidak ada pemain lain yang sangat tajam dengan kecepatan, dribel maut, serta akurasi tembakan yang tinggi? Memang belum diketahui, tapi alangkah lebih baik bagi kita untuk duduk manis saja menanti titisan Lionel Messi berikutnya, daripada sibuk mencari ke sana-kemari tapi justru yang didapat harapan kosong.
Semoga kegagalan para pendahulunya tersebut tidak ikut menimpa pemain-pemain yang sudah terlanjur dilabeli predikat The Next Messi, seperti Pietro Pellegri dan Lee Seung-woo.
Author: Stephen Tudor
Penerjemah: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)