Eropa Jerman

Mahmoud Dahoud, Pengungsi Suriah yang Sedang Menapaki Jalan Menuju Sukses

Suriah adalah negara penuh konflik yang berkepanjangan. Perang saudara yang tak berhenti sejak 20 tahun terakhir, perebutan kekuasaan, konflik dengan negara-negara Barat, hingga masalah dengan ISIS, membuat negara Arab tersebut menjadi tempat yang mencekam dan tak layak untuk ditinggali. Wajar saja, banyak penduduk asli Suriah yang mengungsi ke negara lain.

Tak terkecuali keluarga Dahoud di tahun 1996, yang memutuskan untuk mengungsi ke Jerman. Mereka meninggalkan kota Amuda yang berbatasan dengan Turki, untuk menghindari rezim Presiden Bashar Al-Assad yang represif, meski sang anak, Mahmoud, baru berusia 10 bulan.

Sebagaimana layaknya imigran, hidup keluarga Dahoud pun tak berjalan mudah di Jerman. Namun, bagi Mahmoud kecil, ia menemukan kebahagiaannya sendiri lewat sepak bola yang ia mainkan di jalanan. Ia mengaku bahwa ketika masih kecil, hal yang ia lakukan hanyalah bermain sepak bola bersama teman-teman sebayanya, tak kenal waktu dan hanya berhenti jika langit sudah gelap.

“Ketika masih kecil, saya hanya bermain sepak bola sepanjang hari di jalanan, di manapun tempat yang lapang. Semua anak kecil yang tinggal di sekitar rumah kami berkumpul dan bermain bersama, tanpa kenal lelah. Ketika saya bisa berjalan untuk pertama kalinya, saya sudah lekat dengan bola, dan itu tak berhenti hingga sekarang,” ujar Dahoud dikutip dari situs resmi Bundesliga.

Meski masih kecil, Dahoud sudah menjadi ‘pemain’ yang paling menonjol di antara rekanannya yang lain. Suatu saat, bakat imigran Suriah ini terendus oleh klub profesional Liga Jerman, Fortuna Dusseldorf. Tak lama kemudian, sepak bola jalanan resmi ia tinggalkan, dan ia menempuh pendidikan yang layak bersama akademi Fortuna.

Karier juniornya menanjak dengan cepat, hingga pada akhirnya di tahun 2010, ketika usianya masih 14 tahun, ia direkrut oleh klub yang lebih besar, Borussia Mönchengladbach. Bersama Gladbach, sinar Dahoud semakin terang, hingga pada akhirnya di musim 2014/2015, ia berhasil menembus tim utama. Oleh manajer Gladbach yang kini menukangi OGC Nice, Lucien Favre, Dahoud diberi kesempatan untuk tampil bersama tim senior di laga play-off Liga Europa melawan FK Sarajevo, ketika usianya baru 18 tahun.

Tak lama sesudah itu, ia meneken kontrak profesional pertamanya dengan durasi hingga 2018. Namun, di musim tersebut, pemain yang kurus ini hanya tampil sebanyak tiga kali, di satu pertandingan Liga Europa, dan debut di Bundesliga melawan rival Gladbach sekaligus klub masa depan Dahoud, Borussia Dortmund.

Sejarah pun tercipta kala Dahoud menjejakkan kakinya ke lapangan dalam laga kontra Dortmund, karena ia menjadi pesepak bola berdarah Suriah pertama yang bermain di Bundesliga.

Musim berikutnya, Dahoud berhasil menjadi kunci permainan timnya di bawah asuhan manajer baru, Andre Schubert, yang menggantikan Favre akibat dipecat. Di usianya yang masih belum mencapai 20 tahun, ia mampu memantapkan diri menjadi jendral lapangan tengah Die Fohlen. Ia juga mencatatkan penampilan di Liga Champions, mencetak gol pertamanya di Bundesliga kala melawan Augsburg, dan mendapatkan gelar pemain terbaik klub di bulan September.

Di akhir musim 2015/2016, Dahoud total mencatatkan total 41 penampilan di semua kompetisi dengan raihan lima gol dan sembilan asis.  Meskipun begitu, di musim 2016/2017, nama Dahoud mulai menjadi tak populer di kalangan suporter Gladbach. Pasalnya, ia menolak sodoran kontrak baru yang diberikan oleh klub.

Meskipun begitu, penampilannya tak kalah bagus dari musim berikutnya, dengan total 42 penampilan di semua kompetisi ditambah tiga gol dan tujuh asis. Namun, menjelang musim berakhir, Dahoud mengumumkan kepindahannya ke Dortmund dengan mahar sekitar 12 juta euro, sebuah keputusan yang terhitung mengejutkan mengingat banyak klub besar di luar Jerman seperti Liverpool dan Paris Saint-Germain mengincarnya. Tak pelak, namanya pun semakin tak populer di Gladbach.

Sayang baginya, pindah ke Dortmund sejauh ini bukan merupakan keputusan yang tepat. Ia tak sering tampil di Bundesliga, dan bobroknya performa Der BVB membuat sinarnya terhalang. Memang, faktor ini lebih disebabkan oleh kesalahan Peter Bosz, namun Dahoud memiliki peluang baru untuk tampil lebih baik bersama manajer baru, Peter Stöger, atau bahkan kembali pindah di bursa transfer Januari ini.

Ia sering disebut-sebut sebagai penerus dari Ilkay Gündogan. Profil mereka berdua memang cukup mirip, sama-sama berdarah campuran, dan memiliki tipe permainan yang sama. Dahoud adalah tipe gelandang yang komplit, ia mampu mengatur serangan, memiliki visi operan yang presisi, dan kemampuan bertahan yang lumayan. Yang paling menonjol tentu adalah energinya, karena ia mampu mencatatkan daya jelajah hingga 13 kilometer per laga!

“Saya harus terus bergerak, kalau saya diam, saya merasa saya tidak ada dalam permainan lagi,” ucap sang gelandang kepada FourFourTwo.

Dahoud mungkin memang sedang berada di jalan menuju sukses, namun ia tak pernah benar-benar melupakan Suriah. Dilansir dari situs resmi Bundesliga, ia mengungapkan bahwa ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa orang-orang Suriah adalah orang yang berani dan tangguh.

“Saya merasa sedih ketika melihat situasi Suriah saat ini. Saya selalu berharap kedamaian akan segera datang ke sana. Saya dan keluarga selalu berusaha untuk mendukung semua kolega dan keluarga kami yang masih ada di sana. Saya ingin memberikan mereka kekuatan dan perasaan bahwa mereka tak terlupakan.”

Di tahun yang baru ini, usianya baru genap 22 tahun, namun perjuangannya sudah lebih besar ketimbang rekannya yang beberapa tahun lebih tua darinya. Meskipun begitu, perjuangannya tentu masih panjang, dan melihat potensinya, kesuksesan hanya tinggal sejengkal lagi ia rengkuh.

Happy birthday, Mahmoud!

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket