Dunia Asia

Ong Kim Swee: Jose Mourinho dari Malaka, Mimpi Buruk Timnas Indonesia

Memasuki era milenium, ada dua nama pelatih asal Malaysia yang kerap menjadi mimpi buruk bagi timnas Indonesia. Menjelang tahun 2010, Malaysia memang tengah mempersiapkan sepak bola dan timnasnya menuju era yang lebih mapan dan lebih progresif, sesuatu yang sampai saat ini belum dirintis dengan baik oleh Indonesia.

Di rentang waktu itu pula, khususnya periode 2009-2011, Negeri Jiran di pelupuk mata kita itu, menjelma menjadi salah satu kekuatan dominan, setidaknya di regional Asia Tenggara. SEA Games 2009 di Vientiane, Laos, menjadi ajang unjuk gigi skuat Harimau Malaya asuhan pelatih yang kemudian akan kita temui di final AFF 2010 yang kelam di Bukit Jalil, Rajagopal Krishnasamy.

2009, Rajagopal memulai revolusi. Norshahrul Idlan Talaha, Kunanlan Subramaniam, dipadukan dengan gelandang genius dalam diri Safiq Rahim dan Baddrol Bakhtiar, sukses dibawanya melaju ke final dan menang medali emas SEA Games. Fondasi skuat ini yang kemudian dibawa pelatih keturunan India ini ketika berlaga di Piala AFF 2010 dan Malaysia menjadi mimpi buruk bagi skuat Garuda dalam dua laga final.

Ketika era Rajagopal berakhir, masuklah rezim baru dari Ong Kim Swee, pelatih muda dari Malaka yang seperti Rajagopal, tahu benar cara menjinakkan Indonesia di sepak bola.

Ong Kim Swee: Sang orator

SEA Games 2011 adalah panggung pertama dari pelatih yang berwajah mirip Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ini. Baddrol Bakhtiar masih di sana, dan ia mengambil tampuk kepemimpinan dari Safiq Rahim di SEA Games yang dihelat di Indonesia ini. Di bawah mistar, publik Indonesia kemudian mengingat jelas nama Khairul Fahmi Che Mat, yang seperti Kim Swee, memantapkan diri menjadi mimpi buruk Indonesia.

Malaysia melaju mulus sejak penyisihan grup bahkan finis di atas Indonesia dengan keunggulan satu poin. Takdir yang kemudian membawa Harimau Malaya bertemu seteru abadinya, sang Garuda, di partai final yang megah dan mewah di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.

Skuat SEA Games 2011 asuhan Rahmad Darmawan adalah salah satu golden generation yang jauh lebih mentereng dari skuat Malaysia. Dua kiper muda terbaik, Kurnia Meiga Hermansyah dan Andritany Ardhiyasa berdiri di bawah mistar. Gunawan Dwi Cahyo dan Abdulrahman membentuk tembok kuat di jantung pertahanan. Andik Vermansyah dan Oktovianus Maniani menyisir sisi sayap dengan kecepatan yang mengagumkan, dilengkapi dengan ketajaman Ferdinand Sinaga, Titus Bonai, dan Patrich Wanggai yang mencetak gol seperti bersenang-senang sejak di penyisihan grup.

Di final, kedigdayaan Garuda mentah di kata-kata sakti Ong Kim Swee. Dikutip dari New Straits Times kala itu, beberapa hari jelang laga final, Kim Swee membakar semangat anak asuhnya. “Mereka (Indonesia) tidak menghormati kalian, tidak menghormati bendera kita, tidak menghormati Raja kita, dan tidak menghormati orang tua kalian. Kalau kalian membiarkan ini berlarut, kalian adalah pengecut. Kalian harus menunjukkan kepada Indonesia seperti apa bangganya menjadi rakyat Malaysia.”

Kata-kata sakti itu sukses dan Malaysia berpesta di Jakarta, sama seperti setahun sebelumnya, ketika Rajagopal merayakan gelar AFF 2010 di tempat yang sama. Dan setelah 2011, Ong Kim Swee membangun reputasinya dengan sangat baik. Media Malaysia bangga menyebutnya, Jose Mourinho dari Malaka.

Pragmatis dan idealis

Saya berkesempatan beberapa kali menemuinya Agustus lalu di SEA Games 2017, ketika ia memimpin anak asuhnya di timnas Malaysia U-22 berjuang untuk meraih medali emas di rumah sendiri. Ia gagal, akibat takluk dari Thailand di final yang alot, tapi satu yang pasti, Ong Kim Swee kembali menjadi mimpi buruk bagi sepak bola Indonesia.

Pembawaannya lebih tenang, mungkin, seiring usia yang bertambah. Gaya bicaranya santun dan tertata, namun terasa begitu tajam di telinga yang mendengarkan. Ketika jurnalis bertanya responsnya terkait psywar Evan Dimas Darmono yang bilang bahwa laga melawan Malaysia di semifinal adalah tentang harga diri bangsa, Kim Swee hanya tersenyum simpul dan merespons diplomatis, “Mari kita buktikan saja di atas lapangan.”

Saya menelan ludah mendengar kalimat tersebut. Ia sangat percaya diri, bahkan dengan fakta bahwa ia akan meladeni Indonesia asuhan pelatih kenamaan dari Spanyol, Luis Milla Aspas. Sama seperti Jose Mourinho, Kim Swee adalah orang idealis, juga pragmatis.

Sisi pragmatis itu tampak dari cara ia membangun kualitas sepak bola timnya dengan basis pertahanan. Memang, Malaysia selalu kebobolan di fase grup, tapi tak pernah lebih dari satu gol. Dan di semifinal, pada malam kelam di Shah Alam, ketangguhan lini belakang Malaysia membuat Garuda Muda terhempas.

Idealismenya juga terasa tiap kali ia menghadiri konferensi pers. Pembawaannya tenang, tak mudah terpancing pertanyaan wartawan, juga sangat karismatik. Di pinggir lapangan, ia tak ekspresif. Datar, namun bersahaja. Ketika pemain-pemain Indonesia mencoba membawa rivalitas panjang Malaysia-Indonesia sebagai bahan bakar jelang semifinal, Kim Swee menolak menambahkan bensin di api rivalitas yang tengah dibawa Evan Dimas dan kolega.

Kepala dingin itulah yang membuat Malaysia kembali menang atas Indonesia kala itu. Sesuatu yang belum bisa dipelajari Indonesia, karena selalu percaya, bahwa api akan selalu membawa kemenangan dibandingkan sikap yang sedingin es.

Selamat ulang tahun, Ong Kim Swee, satu dari segelintir manajer hebat dari Malaysia.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis