Suara Pembaca

Melihat Tottenham Hotspur di Dalam Diri Harry Winks

Gelandang muda Tottenham Hotspur, Harry Winks, semakin bersinar namanya di musim ini. Di usia 21 tahun, ia telah melakoni debutnya di timnas senior Inggris pada 8 Oktober lalu melawan Lithuania pada laga lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2018.

Terlebih lagi, akhir-akhir ini sosoknya semakin sering mengisi lini tengah Spurs. Ia diturunkan sebagai starter dalam 7 dari 8 pertandingan terakhir Spurs. “Kemajuannya bukanlah hal yang mengejutkan bagi orang yang mengenalnya dengan baik,” ujar Anita, ibu kandung Winks, mengomentari debutnya bersama timnas senior Inggris yang dikutip dari Dailymail.

Berbicara tentang kesuksesan Winks, tentu tak terlepas dari kecintaannya terhadap Spurs. Ada yang mengatakan bahwa bila seseorang mencintai sesuatu, maka secara sadar ataupun tak sadar, ia akan cenderung mengikuti atau menyerupai apa yang dicintainya tersebut. Begitu pula dengan Winks yang sejak kecil sudah jatuh cinta terhadap klub yang dulu bermarkas di White Hart Lane tersebut. Hal ini juga mungkin karena pengaruh besar sang ayah yang merupakan pendukung fanatik Spurs. Dan karena cintanya itu pula kita akan menemukan “Spurs” yang tersemat di dalam diri Harry Winks.

Perjalanan Winks dalam menapaki karier di sepak bola begitu menarik untuk disimak. Di masa kecilnya sebagai pesepak bola, ia tidaklah terlihat seperti pemain yang menjanjikan. “Harry Winks adalah seorang yang kecil, rapuh, dan bukan atlet yang hebat saat itu. Anda bisa saja mengatakan hal yang sama kepada Harry Kane. Dia juga bukan atlet terbaik. Tapi keduanya sangat bagus secara teknik dan kemauan mereka untuk mendengarkan dan memperbaiki diri itu luar biasa,” ungkap Chris Ramsey, Kepala Pembinaan Pemain Tottenham Hotspur yang sekarang menjabat sebagai Direktur Teknik Queen Park Rangers.

Berlatih di akademi Spurs sejak usia 5 tahun, Winks akhirnya promosi ke tim utama saat ditunjuknya Mauricio Pochettino sebagai pelatih pada Mei 2014. Pochettino tertarik padanya setelah melihat video permainannya. Namun, musim-musim awalnya di Spurs tidaklah begitu baik, sebab ia harus rela hanya menghabiskan banyak waktunya di bangku cadangan.

Pada musim pertamanya ia hanya diturunkan sekali di Liga Europa, dan hanya sebagai pemain pengganti. Pada musim keduanya, ia bermain dua kali pada ajang yang sama, dan lagi lagi hanya sebagai pemain pengganti. Di musim ketiganya, Winks mulai mendapatkan tempat di skuat utama. Ia dimainkan 27 kali dan 6 di antaranya turun sebagai starter.

Berkat kesabaran dan kegigihannya, di musim keempatnya bersama Spurs ia telah menjelma menjadi salah satu pemain yang diandalkan bagi tim. Pemain bertinggi 178 sentimeter itu menjadi pembeda di lini tengah Spurs. Lincah, agresif, dan tenang dalam penguasaan bola. Winks sangat merepresentasikan gaya bermain Pochettino yang lebih menyukai permainan sabar dengan bola bola pendek.

Baca juga: Harry Winks dan Label “The Next Iniesta” yang Melekat

Statistik dari WhoScored mencatatkan bahwa persentase umpan sukses Winks di musim ini 88,8 persen. Winks selalu turun sebagai pemain inti di 7 dari 8 pertandingan terakhir Spurs. Hal ini  secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Pochettino telah memercayakan lini tengah Spurs pada pria 21 tahun ini. Pochettino pun memujinya sebagai gelandang yang sempurna, yaitu yang dapat bermain box to box dan juga sebagai holding midfielder.

Proses menjadi luar biasa Winks di atas dapat juga kita temukan pada Spurs. Spurs dalam beberapa tahun lalu bisa dibilang hanya dianggap sebagai tim “kelas dua”, yang hanya menjadi bayang-bayang tim tim papan atas Inggris seperti Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool. Namun dalam dua musim terakhir, Spurs seakan naik kasta. Spurs tidak lagi hanya sekedar menjadi bayang bayang tim tim papan atas, tapi juga ikut meramaikan perburuan gelar liga.

Kegemilangan Spurs tersebut tak ayal berkat tangan dingin Pochettino. Ia begitu mengandalkan para pemain muda. Buktinya, skuat Spurs merupakan yang termuda di Liga Inggris. Dengan berisikan pemain-pemain muda, tentunya membutuhkan kesabaran untuk membangun tim ini. Kelemahan yang sering dijumpai pada pemain muda adalah sulitnya mengontrol emosi dan inkonsistensi.

Namun, Pochettino punya treatment tersendiri dalam mengatasinya. “Ini seperti halnya anak-anak lelaki saya dan anak-anak muda. Terkadang Anda harus bersikap baik dan ramah dengan mereka, seperti seorang ayah, kadangkala mereka amat kesulitan dan belum matang dalam pemikiran. Anda mesti mendengarkan mereka dan perlu menerapkan psikologi yang tepat di momen yang tepat,” ungkapnya.

Spurs bukanlah tim instan yang dibangun dengan pemain megabintang. Sebagai tim yang finis di papan atas musim lalu, dibanding tim papan atas lain, Spurs bisa dibilang cukup irit dengan hanya menghabiskan dana 61,4 juta paun. Bandingkan dengan Manchester City yang menghabiskan 217,3 juta paun, Manchester United 169,5 juta paun, Chelsea 202 juta paun, dan Liverpool 89,5 juta paun.

Pemain yang didatangkan pun tak hanya sebagai pelengkap tim, tapi benar-benar sesuai dengan kebutuhan tim. Ada nama Davinson Sanchez, pemain muda potensial yang menjadikan Pochettino nyaman dengan skema tiga beknya bersama Toby Alderweireld dan Jan Vertonghen. Kemudian Serge Aurier yang tampil memukau sebagai pengganti Kyle Walker, dan Fernando Llorente yang menjadi pelapis Harry Kane.

Berkat Pochettino, Spurs kini terlihat semakin mengesankan sebagai tim yang muda, ambisius, dan atraktif, dengan gaya permainan counterpressing dan bola-bola pendek. Terakhir, beberapa hari lalu, tim berjuluk The Lilywhites itu baru saja memastikan diri lolos ke 16 besar Liga Champions setelah menang meyakinkan atas juara bertahan Real Madrid dengan skor 3-1 pada Rabu 1 Oktober 2017. Tergabung di grup neraka bersama Real Madrid, dan perempat-finalis musim lalu, Borussia Dortmund, banyak yang memprediksi bahwa Spurs akan mengulangi kegagalannya di Liga Champions musim lalu. Namun siapa sangka, Spurs tampil mengejutkan dengan torehan 4 kali menang dan 1 kali imbang dari 5 laga fase grup.

Dedikasi untuk Inggris

Yang terakhir, tentunya dedikasi mereka untuk sepak bola Inggris. Spurs merupakan penyumbang pemain terbanyak dalam skuat timnas Inggris. Tercatat 6 pemain Spurs yang masuk dalam skuat timnas Inggris untuk laga uji coba menghadapi Jerman dan Brasil November nanti, yaitu Danny Rose, Dele Alli, Eric Dier, Harry Kane, Harry Winks, dan Kieran Trippier, walau kemudian Alli dan Kane harus dicoret karena cedera.

Winks sendiri telah dipanggil Gary Southgate sejak dua laga Kualifikasi Piala Dunia 2018 terakhir untuk menggantikan Fabian Delph karena cedera. Pemanggilan Winks sendiri awalnya banyak dipertanyakan pendukung Inggris karena ia dinilai masih minim pengalaman. Saat itu ia baru mencatatkan 4 kali starter dan 599 menit bermain di Liga Inggris.
Namun Winks menjawab keraguan publik dengan tampil memukau pada saat diturunkan melawan Lithuania dan menjadi man of the match pada pertandingan tersebut. Bukan tanpa alasan tentunya Southgate memberikan debut pada Winks. Southgate tentu telah memahami betul perkembangannya. Winks sendiri telah membela timnas Inggris mulai dari U-17, U-18, U-19, U-20, dan U-21.

Ditambah lagi, sekarang dia belajar di bawah bimbingan Pochettino yang sudah terbukti mampu mengembangkan pemain-pemain muda. Bukan mustahil, Winks akan menjadi salah satu pemain yang akan menjadi tonggak kebangkitan timnas Inggris di masa depan.

Muda dan berbahaya, begitulah kira kira kata singkat yang bisa merepresentasikan Winks dan Spurs. Pochettino menjuluki Harry Winks sebagai Little Iniesta. Tapi, tanpa mengecilkan Andres Iniesta atau membesar-besarkan Spurs, saya lebih senang bila Winks dijuluki Little Spurs.

Author: Aldo Rivaldi (@aldorivaldi_)