Sebelum partai pamungkas di pekan keenam grup A babak 16 besar Liga 2 dimulai, Persis Solo sudah memastikan tempat di babak 8 besar dengan mengoleksi 10 poin. Duduk manis di puncak klasemen sejak pekan kedua, Laskar Samber Nyawa hanya perlu bermain seri di partai terakhir untuk mengamankan posisi puncaknya di klasemen. Sedangkan tiga tim yang berada di bawahnya masih memiliki peluang untuk menemani langkah Persis Solo ke babak 8 besar.
Peluang paling kecil dimiliki oleh peringkat keempat PSS Sleman (5 poin) yang wajib menang atas tamunya, Persis Solo, sembari berharap pertandingan lainnya yang mempertemukan peringkat ketiga, PSPS Riau (5 poin),melawan peringkat kedua, Cilegon United (7 poin), berlangsung seri.
Hal ini dikarenakan PSS Sleman kalah head to head dengan PSPS Riau, sesuai regulasi PT. Liga Indonesia Baru pasal 17 ayat 5 yang memprioritaskan secara berurutan: head to head, koefisien gol, memasukkan gol, kemudian undian.
Pada pekan keenam yang berlangsung pada Selasa (10/10/17), dua tim tuan rumah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. PSS Sleman menang tipis atas Persis Solo dengan skor 2-1, sedangkan PSPS Riau menghancurkan Cilegon United dengan skor 4-0. Dengan hasil ini maka PSPS Riau akan menemani Persis Solo ke babak 8 besar Liga 2.
Nasib tim Super Elang Jawa bisa dibilang tragis karena sebelumnya, mereka digadang-gadang sebagai salah satu tim kuat yang akan promosi ke Liga 1 musim selanjutnya. Dan jika menilik lebih lanjut, petaka ini disebabkan oleh kekalahan mereka atas PSPS Riau di kandang sendiri pada pekan keempat yang digelar pada Senin (2/10/17) yang lalu.
Partai yang benar-benar menyesakkan dada bagi warga Sleman namun sebuah pertandingan yang penuh dengan kebanggaan dan sukacita bagi warga Riau dan Kawanua, sebutan untuk penduduk yang bermukim atau berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Lha kok bisa?
Adalah Mahadirga Lasut, gelandang PSS Sleman, dan penjaga gawang PSPS Riau, Gianluca Pandeynuwu, yang menjadi daya tarik utama tingginya minat warga Minahasa menyaksikan laga ini. Keduanya merupakan pemain asli Minahasa namun berbeda generasi.
Mahadirga, sang top skor PSS Sleman
Mahadirga Lasut, 29 tahun, lahir di kota Tomohon, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari kota Manado. Dirga, sapaan akrabnya, memulai kariernya di klub kota kelahirannya, PSKT Tomohon. Persmin Minahasa yang menyadari bakatnya kemudian, tak ragu untuk menyodorkannya kontrak.
Pria bertato ini sempat bermain sebanyak dua kali selama musim kompetisi 2007/2008 bersama Persmin sebelum “melompat jauh” ke pulau Sumatera pada musim berikutnya untuk bergabung bersama Persiraja Banda Aceh (2008) dan Persih Tembilahan (2009). Namanya mulai dikenal luas semenjak memperkuat Sriwijaya FC pada tahun 2010 dan menjadi elemen penting tim asuhan Ivan Kolev tersebut.
Selepas memperkuat Sriwijaya FC, pemilik 7 caps bersama Timnas U-23 ini berpindah-pindah tim dengan memperkuat Mitra Kukar (2011), Persegres Gresik (2013), Persita Tangerang (2014), dan Persija Jakarta (2015). Di tengah ketidakpastian kontrak, Dirga menyeberang ke Liga 2 untuk memperkuat PSS Sleman musim ini.
Berposisi awal sebagai gelandang jangkar, suami dari Gabriella Wondal ini, disebut memiliki karakteristik yang mirip dengan Stevan Gerrard. Di bawah asuhan pelatih Freddy Muli, musim ini Dirga didorong lebih ke depan dan diberi keleluasaan mendikte pertahanan lawan. Hasilnya, gol demi gol lahir dari kakinya dan menempatkan namanya sebagai top skor tim. “Dirga adalah pemain yang bagus. Pemilihan umpan, eksekusi bola mati, dan tembakannya sungguh berkualitas,” ujar Freddy seperti dikutip dari Indosport.
Gianluca, mewarisi bakat sang ayah
Mendengar nama Gianluca Claudio Pandeynuwu, publik akan terkenang dengan sosok penjaga gawang legendaris Sulawesi Utara, yang pernah memperkuat Persma Manado dan Persmin Minahasa, Hendra Pandeynuwu. Pemain yang lahir di kota yang sama dengan Dirga ini merupakan anak pertama dari pernikahan Hendra Pandeynuwu dan Imelda Londa.
Gianluca yang lahir di masa-masa kejayaan Serie A Italia, tahun 1997, diwariskan dengan nama dari kiper hebat Internazionale Milano dan timnas Italia, Gianluca Pagliuca, dan penjaga gawang juara dunia asal Brasil, Claudio Taffarel. Pun, nama keluarga “Pandeynuwu” dan talenta dari sang ayah turut diwarisi oleh pemain yang memiliki tinggi badan di atas rata-rata ini.
Merantau ke pulau Kalimantan untuk mengikuti trial di Pusamania Borneo FC, Gianluca terpilih menjadi bagian dari tim U-21 dan berlanjut ke tim senior pada tahun 2015. Demi menambah jam terbangnya di bawah mistar gawang, manajemen dan pelatih Borneo FC menyekolahkannya ke tim Liga 2 asal Sumatera, PSPS Riau.
Berstatus sebagai pemain termuda di tim PSPS Riau dan dipercaya menjadi penjaga gawang utama, menegaskan kualitas dan kemampuan yang dimiliki oleh Gianluca.
Masa depan duo Kawanua
Gagal membawa PSS Sleman ke babak 8 besar akan menjadi penyesalan besar bagi Dirga. Bagaimana tidak, mimpi mengenakan seragam timnas senior, yang akan semakin terbuka jika berkompetisi di Liga 1 musim depan, harus dikubur dalam-dalam, setidaknya jika dia memilih akan tetap bersama dengan PSS Sleman di Liga 2 musim depan.
Namun, dengan kualitas dan pengalamannya yang pernah membela tim-tim besar, bukanlah hal yang sulit baginya untuk bermain di Liga 1 musim depan dengan tim yang baru. Dalam konteks ini, kecintaannya pada PSS Sleman akan benar-benar diuji.
Lain halnya dengan Gianluca. Jika berhasil membawa tim Askar Bertuah lolos ke Liga 1, maka akan menjadi prestasi yang fenomenal untuk pemain yang masih berusia 19 tahun ini. Dan juga, mimpi mengenakan seragam Merah-Putih dan menjadi penjaga gawang hebat di masa depan akan sangat terbuka lebar.
Seruan khas Minahasa, “I Jajat U Santi”, yang kurang lebih bermakna “maju terus pantang mundur”, harus selalu diresapi dan digaungkan oleh duo Kawanua ini dalam setiap perjuangan mereka di atas lapangan hijau. Di pundak dua Waranei inilah, warga Minahasa menepuk bangga dan menitip semangat.
Kong, pala so tau?
Author: Yves Vincent Muaya (@YvMuaya)