Ketika kartu merah terangkat untuknya dan pemuda itu melangkah gontai keluar lapangan dengan tersedu-sedu, bukan wajah sendu Satria Tama di SEA Games 2017 atau tangis emosional Luis Suarez di Piala Dunia 2010 yang saya ingat. Quincy Kammeraad, pemuda Filipina berdarah Belanda, membuat saya ingat timnas Indonesia.
Ada kalanya kita berpesta gol dengan jumlah yang banyak. Tujuh gol ke gawang Mongolia di Kualifikasi Piala Asia U-23 dan kemarin (7/9), Garuda Nusantara baru saja berpesta sembilan gol ke gawang Filipina. Tujuh dari sembilan gol bersarang ke gawang Filipina ketika Quincy Kammeraad mengawal gawangnya. Dia menderita dua penalti, kebobolan tujuh gol, menyebabkan terjadinya penalti ketiga, tapi hebatnya, ia masih sempat menepis satu tendangan penalti Asnawi Mangkualam. Kartu merah mengirimnya keluar dengan perasaan yang pelik.
Saya membayangkan mata Quincy perih menahan sedih. Tidak mudah menerima kekalahan, apalagi dengan skor yang besar. Kalah satu gol saja di Shah Alam melawan Malaysia kala SEA Games lalu, membuat mata saya panas dan dada serasa sesak. Ada emosi yang ingin menggelegak tapi kamu tahu tak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Quincy sudah melakukan segalanya selama berada di bawah mistar, tapi ya bagaimana lagi, Timnas U-19 memang tampil tanpa cela malam tadi.
Saya ingat Bahrain dan tragedi sepuluh gol ke gawang timnas Indonesia kala itu. Di tengah gelapnya nasib federasi dan polemik dualisme, Indonesia babak belur dihajar negara yang tidak bisa dibilang negara superior di Asia. Sepuluh gol kala itu bukan hanya aib, tapi juga rasa sedih bercampur emosi yang menuntut pelampiasan tapi sebagai suporter (mungkin juga para pemain di lapangan), kamu tidak bisa melakukan apa-apa ketika gol-gol tersebut tercipta begitu saja.
Dan di titik itu, menangis menawarkan solusi sederhana dan manusiawi.
Ketika ratusan bahkan ribuan (mungkin) wargamaya Indonesia menunjukkan beragam pujian dan rasa hormat yang tinggi, saya rasa itu sikap yang menunjukkan bahwa bangsa ini khatam benar bagaimana rasanya kalah dan dipermalukan di saat bersamaan. Seketika, kolom komentar di Instagram pribadi Quincy Kammeraad banjir komentar bernada positif. Jumlah komentarnya bahkan membludak hingga 13 ribu lebih. Angka yang fantastis sekaligus menunjukkan betapa potensial kekuatan wargamaya Indonesia di sosial media.
https://twitter.com/infosuporter/status/905803906399141889
Ada berbagai macam tafsir tentang air mata, utamanya bila seorang pria yang menangis. Tapi di sepak bola, air mata bisa menjadi bahasa yang multitafsir dan menarik untuk disimak. Air mata Cristiano Ronaldo di final Piala Eropa 2016 jelas berbeda dengan air mata Lionel Messi di final Copa America Centenario pada tahun yang sama. Tapi uniknya, air mata Paul Gascoigne di Piala Dunia 1990 saya rasa sama maknanya dengan air mata Suarez di Piala Dunia 2010.
Di sepak bola, setiap detailnya memiliki makna. Tak hanya suporter dan pemain saja yang punya cerita, tapi dengan setetes air mata, sepak bola memberi makna mendalam bagi olahraga ini: untuk memanusiakan manusia.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis