Chelsea? Klub apa itu?
Itulah kalimat yang diucapkan Desailly saat mendengar ada salah satu klub berbaju biru di Liga Primer Inggris yang berminat menggunakan jasanya. Desailly sendiri saat itu sudah habis masa kontraknya dengan Milan dan dipersilakan hengkang dengan status bebas transfer.
Lucu dan mengherankan, memang. Seorang pemain mendapat tawaran dari sebuah klub yang tidak ia ketahui sama sekali sepak terjangnya, dan ia justru memutuskan untuk bergabung ke sana! Betul, Tribes, Desailly berangkat ke Stamford Bridge tanpa mengetahui satu hal pun tentang The Blues, dan yang ia ucapkan ke Colin Hutchinson, direktur olahraga Chelsea, saat menyetujui kepindahannya ke London adalah: “Baiklah, mari kita jalan-jalan melihat klubmu.”
Saat itu, Desailly sebenarnya juga ditawar oleh Liverpool, bahkan sudah menjalin pra-kontrak dengan Sir Alex Ferguson di Manchester United lewat sambungan telepon. Akan tetapi, karena Desailly ingin menyekolahkan anaknya di sekolah berbahasa Prancis, ia tidak menerima pinangan dua klub tersebut dan memilih Chelsea sebab London memiliki sekolah dengan kriteria yang ia inginkan.
Jika di awal kedatangannya di Milan ia kesulitan bersaing dengan nama-nama tenar, di Chelsea ia mengalami kendala dalam perbedaan gaya bermain. Liga Primer Inggris sangat berbeda dengan Serie A dan Ligue 1. Jika di kedua klub sebelumnya Desailly sangat ditakuti penyerang lawan karena badannya yang tinggi besar, “perlakukan istimewa” itu sama sekali tidak ia dapatkan di Inggris.
Para juru gedor di Inggris memiliki postur yang sama besarnya dengan Desailly dan berani melakukan tekel, seperti Dion Dublin dan Duncan Ferguson. Itu belum diperparah dengan skema bola panjang yang kerap diperagakan Coventry City dan Sunderland. Periode adaptasi yang sangat melelahkan, sangat menguras tenaga serta pikiran dan itu dijalaninya selama empat bulan pertama.
Dalam penuturannya saat diwawancarai FourFourTwo, Desailly menyebutkan bahwa penyerang tersulit yang ia hadapi di Liga Primer Inggris adalah Alan Shearer. “Ia tidak peduli bagaimana pun ia dihentikan, seberapa kasar ia dilanggar, atau seberapa sering ia dicurangi. Ia akan segera bangkit dan berdiri lagi.”
Kesulitan demi kesulitan yang ia hadapi di awal kedatangannya di Chelsea kemudian ia pelajari lebih lanjut lewat tayangan video. Hasilnya, ia mendapatkan sebuah temuan bahwa di Liga Primer Inggris, ia tidak harus selalu meladeni semua duel udara. Ada kalanya ia hanya perlu diam untuk memperkirakan ke mana bola akan dipantulkan. Ia juga belajar untuk melepas bola lebih cepat untuk menghindari terjangan para penyerang lawan.
Perbedaan budaya juga menjadi permasalahan utama Desailly dalam masa adaptasinya di Inggris. Jika di Italia para penduduknya lebih gemar membeli barang mewah untuk dipamerkan, seperti jam tangan contohnya, di Inggris ia menemui fenomena sebaliknya.
Para orang kaya di Negeri Ratu Elizabeth, termasuk para pesepak bola ternama, lebih suka menggelontorkan dananya dengan membeli mobil mewah untuk kenikmatan sendiri, bukan untuk dipamerkan.
Meski masa adaptasinya dilalui dengan berbagai macam kesulitan termasuk fasilitas latihan dan stadion yang tidak sebagus di Milan, Desailly tetap dapat memberikan kontribusi maksimal dengan meraih satu Piala FA dan satu trofi Community Shield.
Salah satu pertandingannya bersama Chelsea juga menjadi memori yang tak terlupakan baginya. Momen itu terjadi di laga terakhir Liga Primer Inggris musim 2002/2003. Chelsea saat itu tengah mengalami krisis keuangan dan mereka membutuhkan dana segar, salah satunya dari dana kompetisi. Maka dari itu, The Blues berusaha mati-matian untuk menembus Liga Champions dengan mengalahkan Liverpool di pekan terakhir.
Chelsea memulai pertandingan dengan berat. Gawang mereka kemasukan lebih dulu lewat gol Sami Hyypiä, namun tim asuhan Claudio Ranieri dapat bangkit dengan dua gol balasan yang dicetak Desailly dan Jesper Grønkjær. Chelsea pun lolos ke kasta tertinggi kompetisi antarklub Benua Biru dan mereka melaju hingga semifinal.