Sebelas gol dari dua laga di Stadion I Wayan Dipta, Bali United menjelma menjadi penjagal bagi tim tandang. Terakhir, Laskar Tridatu melesakkan lima gol ke gawang Persela Lamongan. Sebelumnnya, Mitra Kukar yang menjadi korban ketika gawangnya dihujani setengah lusin gol oleh anak-anak asuh Widodo Cahyono Putro.
Mengapa Bali United begitu berbahaya ketika bermain di kandang sendiri? Setidaknya ada tiga dasar yang bisa dijadikan alasan. Analisis sederhana ini berusaha menguraikan tiga dasar tersebut.
Sebenarnya, yang dilakukan Bali United adalah cara-cara sederhana dalam usaha membangun serangan. Mereka hanya memaksimalkan dua aspek, yaitu kemampuan individu pemain sendiri dan struktur bertahan klub-klub Indonesia yang jauh dari kata “baik”, jika tak mungkin kita menggunakan kata “sempurna” di sini. Dan masalah struktur ini menguatkan tiga dasar yang akan kita bahas.
Umpan vertikal
Tolong saya dikoreksi bila salah. Terakhir kali klub Indonesia bisa bermain dengan rapi, bola pendek dengan satu atau dua sentuhan adalah ketika Sriwijaya FC ditangani Kas Hartadi. Saat itu, selain enak untuk dinimati, Sriwijaya asuhan Kas Hartadi sangat baik mempertahankan bola. Dengan cara tersebut, Laskar Wong Kito menguasai pertandingan.
Yang jadi masalah adalah klub-klub Indonesia tak bisa merekonstruksi cara yang sama. Banyak yang terjebak dalam situasi “terburu-buru” untuk mengirim bola ke depan. Umpan lambung (vertikal) yang sangat dominan ini membuat cara sabar lewat satu atau dua sentuhan menjadi seperti teori di atas kertas saja.
Bali United sendiri tak ingin bersusah payah bermain satu atau dua sentuhan sepanjang laga. Mereka memilih mengirim umpan vertikal. Ada tiga daerah yang disasar, yaitu dua sisi lapangan, di zona 5, dan di daerah belakang barisan bek lawan. Umpan ini sangat sederhana, namun dilepaskan dengan situasi yang tepat sekaligus memaksimalkan kemampuan pemain.
Perhatikan pembagian zona ala Louis van Gaal di bawah ini:
Zona 4, 5, dan 6 banyak disasar oleh umpan vertikal Bali United, baik umpan vertikal melambung atau datar. Dua pemain yang menjadi pemantik adalah Taufiq atau I Gede Sukadana dan Fadil Sausu. Tiga pemain ini, terutama Fadil, punya akurasi umpan vertikal di atas rata-rata. Umpan vertikal yang dilepaskan biasanya jatuh ke kaki Sylvano Comvalius.
Penyerang asal Belanda ini bisa menjadi pemantul di zona 5, atau menyongsong umpan daerah di zona 4 dan 6. Kemampuan sprint jarak pendek Comvalius sangat bermanfaat. Selain Comvalius, Bali United menggunakan Nick van der Velden untuk menerima bola di zona 5, atau Irfan Bachdim untuk mengejar bola daerah di dua sisi lapangan.
Mengapa menerima bola di daerah ini sangat berbahaya? Pertama, jika berada di zona 5, pemain akan langsung berdekatan dengan gawang. Kedua, pemain akan berada di ruang yang ideal untuk, baik membidik gawang atau mengirim umpan terobosan.
Jika berada di zona 4 dan 6, pemain akan mendapatkan ruang untuk mengirim umpan silang tanpa tekanan yang bearti dari lawan.