Judul di atas mungkin cukup klise, tetapi memang ada banyak pelajaran dan pengalaman yang diambil oleh para penggawa timnas Indonesia U-22 setelah kekalahan di babak semifinal melawan tuan rumah Malaysia. Apalagi mereka semua masih berusia muda dan jalan karier sepak bola masih panjang terbentang. Tak terkecuali winger muda eksplosif, Febri Haryadi.
Dari semua cuitan sepanjang cabang olahraga sepak bola di SEA Games 2017, tentang Timnas U-22 yang berlaga, lebih khususnya tentang Febri Hariyadi, ada satu yang menurut saya pribadi paling menarik. Yaitu yang dicuitkan oleh coach Noval Aziz pada laga semifinal melawan Malaysia lalu.
Febri ini pengambilan keputusannya mengerikan. Tapi kalo tiba2 dia bikin gol macam lawan Kamboja, kita bisa apa???
— Qo'id Naufal A.A (@NovalAziz) August 26, 2017
Cuitan coach Noval Aziz di media sosial twitter membuat saya menjadi penasaran. Memang semengerikan itukah pengambilan keputusan dari pemain yang akrab disapa Bow ini? Well, secara keseluruhan, pengambilan keputusan dari para pemain Indonesia memang tidak terlalu baik. Ada beberapa pemain yang punya pengambilan keputusan yang lumayan, tetapi jumlahnya tidak banyak.
Anda bisa melihat kembali rekaman pertandingan skuat asuhan Luis Milla sepanjang fase grup. Sepanjang empat pertandingan, harus diakui bahwa Bow mesti memperbaiki lagi kemampuannya dalam pengambilan keputusan. Bow dalam sebuah kesempatan terlalu cepat melepaskan umpan atau melakukan gerakan memotong ke area tengah padahal masih jauh dari area pertahanan lawan.
Dalam kesempatan lain, Bow sering membawa bola hingga sudut lapangan. Efeknya, ini akan menyulitkan dirinya sendiri untuk memberi umpan pada rekannya yang lain, juga rekannya yang akan menerima bola karena sudah jauh masuk ke jantung pertahanan lawan yang biasanya sudah penuh sesak.
Harus diakui bahwa Febri Bow adalah salah satu bakat potensial yang dimiliki oleh negeri ini. Permainan Bow ini mirip dengan memasak masakan pedas. Jika racikannya pas, maka ledakannya akan nikmat. Apabila racikannya tidak begitu baik, yang ada adalah rasa panas di mulut yang tidak enak. Karena apabila tidak benar-benar bagus bakatnya, tentunya klub asal negara tetangga seperti Selangor FA tentu tidak akan berminat untuk merekrutnya, bukan?
Soal pengambilan keputusan memang mesti diperhatikan oleh pemain kelahiran Bandung, 19 Februari 1996 ini. Bahkan komentar pertama yang muncul dari Luis Milla setelah pertama kali menyaksikan Bow bermain adalah, ia sangat berbakat, bahkan disebutnya sebagai pemain terbaik dan bisa saja bermain di Liga Spanyol. Tetapi Milla menganggap Febri masih harus belajar lagi soal kapan ia mesti menggiring bola, kapan ia harus mengumpan. Lagi-lagi, soal pengambilan keputusan.
Soal ini, selain melalui latihan dan pengalaman dari pertandingan. Ada satu hal lain yang bisa sangat membantu Bow untuk bisa berkembang lebih baik, dan meningkatkan kemampuannya dalam mengambil keputusan. Yaitu belajar dari guru atau mentor yang tepat. Bagi yang bermain gim simulasi Football Manager, tentu paham betul bahwa potensi seorang pemain muda bisa meningkat setelah mendapatkan tutor dari para pemain yang lebih senior.
Di sini, situasi agak pelik terjadi. Dengan segala hormat, di klubnya saat ini, Persib Bandung, Bow tidak mendapatkan panutan gaya bermain yang benar-benar ideal. Shohei Matsunaga sebenarnya merupakan penyerang bukan pemain sayap murni, Sementara Tantan merupakan tipe pemain sayap yang bermain mengutamakan kekuatan fisik alias “tabrak-tabrak”.
Sementara untuk pemain keramat bernomor punggung tujuh di Persib, agak susah dan canggung saya menjelaskannya secara rinci terkait sumbangsih beliau bagi perkembangan karier Bow. Tetapi sederhananya, gaya bermain Bow dan pemain nomor punggung tujuh milik Persib Bandung ini berbeda jenis. Semua pemain senior yang berposisi sebagai pemain sayap di Persib kurang sesuai dengan gaya bermain Febri.
Sebenarnya ketika Muhammad Ridwan masih bermain di Bandung, ia adalah tutor yang sempurna bagi Bow. Anda bisa lihat bagaimana pemain sayap asal Semarang ini bergerak ketika menyerang. Ridwan adalah salah satu pemain sayap terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia begitu luwes ketika melakukan gerakan memotong ke area tengah. Waktu mengoper atau mengumpannya pun sangat baik. Apalagi kombinasinya dengan Supardi Natsir begitu sinergis.
Jadi harus bagaimana? Saya masih memegang pendapat yang sama seperti ketika bulan Mei lalu saya menulis bahwa Febri Bow mesti mengambil tawaran bermain di luar negeri. Harus diakui bahwa iklim dan pelatihan di luar negeri masih jauh lebih baik ketimbang di Indonesia.
Mungkin tidak di Malaysia tapi bisa jadi di Thailand, atau bahkan Vietnam yang kultur bermainnya sangat sesuai dengan gaya bermain Febri Bow yang cepat. Yang pasti cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan diri adalah keluar dari cangkang dan keluar dari zona nyaman. Boleh jadi itu yang dibutuhkan oleh Febri Bow untuk membuat dirinya jadi lebih baik lagi.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia