Publik sepak bola Indonesia kembali harus menelan pil pahit. Kekalahan tipis 0-1 diderita Evan Dimas Darmmono dan kolega dari tuan rumah Malaysia dalam laga semifinal SEA Games cabang sepak bola tahun 2017, hari Sabtu (26/8) lalu. Dengan demikian, kita masih harus sabar menunggu entah sampai kapan dahaga akan medali emas ini akan terpuaskan.
Bagaimana tidak dahaga, 16 tahun sudah Indonesia tidak merebut medali emas. Terakhir kali mendapatkannya pada tahun 1991, Evan Dimas, Ezra Walian dan kolega pun belum lahir di dunia ini. Sebelum tahun 1991, Indonesia pernah sekali mendapatkan medali emas cabang sepak bola ajang SEA Games pada tahun 1987.
Sedikit menengok ke belakang, ternyata sebuah pusat pendidikan militer di sebuah kota di provinsi Jawa Barat memiliki peran penting bagi dua medali emas yang pernah diraih Indonesia pada rentang waktu yang berdekatan tersebut.
Ketika bepergian dari Jakarta menuju Bandung menggunakan mobil pribadi, mobil travel atau bus, Anda kemungkinan besar akan melewati jalan tol Cipularang. Sebelum memasuki gerbang tol Pasteur yang menandai masuknya Anda ke kota Bandung, mungkin saja Anda memperhatikan, mungkin juga tidak, ada satu pintu keluar tol menuju ke sebuah kota kecil yang dikenal sebagai “Kota Tentara” bernama Cimahi.
Penamaan tidak resmi sebagai “Kota Tentara” ini tidak lepas dari banyaknya pusat pendidikan untuk tentara di kota ini. Salah satu pusat pendidikan ini adalah Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdik POM). Rupanya, Pusdik POM tidak sekadar mencetak calon-calon pemimpin di kesatuan Polisi Militer, tetapi juga memiliki peran yang cukup besar dalam sejarah emas sepak bola Indonesia.
Di Pusdik POM Cimahi inilah pemain-pemain tim nasional sepak bola Indonesia digembleng hingga akhirnya berhasil merebut medali emas pada SEA Games Jakarta tahun 1987 dan Manila tahun 1991. Dan orang yang bertanggung jawab dalam program penggemblengan ini adalah Kolonel IGusti Kompyang Manila atau lebih dikenal dengan IGK Manila.
Seperti diceritakan dalam buku biografi berjudul IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara (2017) ini, kiprah Manila bersinggungan dengan sepak bola dimulai pada tahun 1983, saat PSSI membentuk sebuah tim yang dinamakan PSSI Garuda. Setahun setelah tim terbentuk, PSSI Garuda dijadwalkan akan berlatih selama tiga bulan di Brasil.
Kardono, Ketua Umum PSSI kala itu, mengirim PSSI Garuda ke Pusdik POM yang berada di Cimahi untuk mendapatkan pelatihan ala militer lebih dahulu. Kolonel IGK Manila kala itu bertugas sebagai komandan di Pusdik POM. Terlepas dari sikap skeptis para insan sepak bola pada program ini karena sepak bola berbeda dengan militer, Manila menyanggah bahwa ia hanya mengambil aspek disiplin dari pendidikan militer ini.
Andai sikap disiplin dan profesional telah tertanam di kepala para pemain, dan andai program latihan fisik di klub masing-masing telah sesuai standar internasional, barulah kita bisa berbicara kalau pendidikan ala militer tidak lagi diperlukan.
Para pesepak bola, ujar Manila, tidak akan berkembang jika disiplin tinggi tidak tertanam. “Dalam waktu satu bulan, saya menganggap seluruh pemain adalah prajurit pendidikan. Tidak ada keistimewaan,” ujar pria berkumis tebal ini.
Alhasil selama sebulan, para pemain muda ini berlatih layaknya tentara. Merayap di bawah kawat berduri, lari lintas alam, hingga kewajiban bangun pukul empat pagi. “Pelatihan militer akan membuahkan tiga hal: ketaatan menerima perintah, kekompakan, dan kesadaran mendahulukan kepentingan kelompok,” ujar Manila.
Uniknya, Manila juga mengerti bahwa anak-anak muda ini tetaplah anak-anak muda. Pada hari terakhir pelatihan, mereka diberikan hiburan berupa eksebisi pertandingan campuran bersama Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat) POM ABRI Cimahi. Sebuah penutupan yang amat menyenangkan setelah sebulan penuh menjalani latihan berat.
Latihan ala militer ini membawa hasil. Peningkatan begitu terasa dari segi fisik dan semangat juang. Setelah mereka melanjutkan program latihan di Brasil, PSSI Garuda mengikuti Piala Raja Thailand, di mana mereka berhasil menjadi runner-up.
Lalu berkaca pada kesuksesan ini, di tahun 1987 dibentuk PSSI Garuda II. Di bawah asuhan pria asal Cekoslowakia, Josef Masopust, PSSI pun kembali mengirim mereka ke Cimahi. Hasil penggemblengan ini kembali tokcer, karena timnas Indonesia memang berhasil merebut medali emas pada SEA Games 1987.
Berbekal impresi positif ini, pada tahun 1991, PSSI menunjuk Manila sebagai manajer timnas Indonesia yang akan bertarung di SEA Games Manila. Terjun langsung, tidak lagi berada di belakang layar. Ia mendampingi tim yang ditangani pelatih kepala, Anatoly Polosin dan dua asistennya, Vladimir Urin dan Danurwindo. Target emas kembali dicanangkan, setelah dua tahun sebelumnya di Singapura 1989 hanya memperoleh medali perunggu.
Lalu kemudian dalam perjalanannya, Manila pun melakukan gebrakan-gebrakan berani. Setelah timnas hancur lebur dalam serangkaian uji coba di Hong Kong dan Korea Selatan awal tahun 1991, ia mengambil dua keputusan penting: kembali membawa tim ke Pusdik POM dan mencoret pemain timnas paling top saat itu, Ricky Yacob.
Manila begitu berang kepada Ricky yang belakangan tampil buruk, yang terlihat puncaknya kala timnas beruji coba melawan Malta. Ternyata, saat itu Ricky memang sedang mengalami kebimbangan spiritual. “Ia sampai mengganti namanya dengan Ricky Yakobi,” ujar Manila.
Meski ditentang banyak pihak, Manila teguh pada keputusannya. Pun ketika latihan ala militer di Cimahi kembali membuat timnas ditinggalkan tiga pemain pentingnya: Fachry Husaini, Jaya Hartono, dan Ansyari Lubis, karena mereka tidak setuju dengan pelatihan militer ini. Tanpa pelatihan militer saja, pelatihan ala Polosin pun sudah keras, hingga membuat beberapa pemain kewalahan.
Timnas pun berangkat ke Filipina dengan disertai keraguan. Posisi penyerang diisi trio pemain muda: Widodo Cahyono Putro, Rochi Putiray, dan Peri Sandria. Manila kemudian merekomendasikan penyerang senior, Bambang Nurdiansyah, untuk membimbing trio penyerang muda itu. Mampukah mereka merebut medali emas tanpa diperkuat pemain-pemain terbaik?
Pada akhirnya, keraguan demi keraguan itu sirna seiring medali emas yang berhasil didapatkan. Bagaimana proses selengkapnya dan cerita-cerita menarik seperti apa yang terjadi selama di Manila, Anda bisa membaca Bab 5 berjudul Emas Untuk Indonesia dalam buku terbitan Kawos Publishing yang ditulis oleh Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso ini.
Buku setebal 424 halaman ini bukan sekadar buku biografi tokoh militer semata. Bagi pencinta sepak bola, buku ini bisa menjadi referensi bacaan yang amat menarik karena terdapat tiga bab yang membahas khusus pengalaman Manila selama berkecimpung di dunia sepak bola nasional. Cerita-cerita yang tentu saja menarik dan jarang diketahui media dan khalayak luas.
Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)