Tulisan ini ditulis dengan perasaan yang hampir kosong. Bermain cukup baik sepanjang babak pertama, timnas Indonesia kalah dengan cara yang paling menyakitkan. Kebobolan di menit akhir, dengan gol yang berawal dari bola mati, dan tidak ada pemain timnas yang menjaga tiang jauh. Sungguh menyakitkan.
Proses terjadinya sepak pojok untuk Malaysia juga sama menyakitkan. Ketika Ezra Walian digantikan Osvaldo Haay, Luis Milla kemudian menggeser Yabes Roni lebih ke tengah. Namun sungguh sayang, Yabes justru banyak membuang momentum, bahkan salah satunya berakhir dengan Malaysia mendapatkan sepak pojok.
Berada di tengah lapangan, sebelum disergap pemain Malaysia, Yabes mendapatkan ruang cukup untuk segera mengumpan. Ada dua pilihan, dua pemain Indonesia berdiri dekat dengan dirinya, Febri di sisi kiri, dan Evan Dimas di tengah. Namun apa yang dilakukan Yabes? Ia menghentikan laju dan berusaha melewati pemain lawan. Gerakan yang terlalu polos.
Pun, Yabes membuang satu momentum yang bisa menjadi peluang emas. Osvaldo, yang setelah mengirim umpan pendek segera berlari masuk ke kotak penati mendapatkan ruang yang luas untuk menerima bola kembali. Namun apa yang dilakukan Yabes? Dikepung tiga pemain Malaysia, ia menembak bola. Melayang, jauh di atas gawang, hilang di atas impian medali emas Indonesia.
Pengambilan keputusan Yabes yang keliru merupakan sorotan untuk timnas Indonesia selama SEA Games Kuala Lumpur 2017 ini. Masih ingat pertandingan pembuka ketika Indonesia melawan Thailand? Bagaimana proses gol Thailand terjadi. Kurniawan Kartika Ajie, salah mengambil keputusan ketika hendak memotong umpan jauh lawan.
Indonesia kebobolan “gol murah”. Padahal, sepanjang babak pertama, timnas Garuda menguasai pertandingan. Bisa menciptakan beberapa peluang, seharusnya, Indonesia unggul lebih dahulu. Namun salah antisipasi, salah mengambil keputusan, menghukum anak asuh Luis Milla. Sama bukan dengan laga semifinal melawan Malaysia?
Menguasai pertandingan, bermain lebih baik, dan menciptakan begitu banyak peluang bersih. Indonesia ditundukkan hanya dengan satu tandukan sederhana saja. Boleh dikata, semua pemain menyerang Indonesia mendapatkan peluang di kotak penalti. Ezra, Febri Haryadi, dan Yabes, ditambah Evan Dimas, semua punya peluang mencetak gol.
Masih ingat ketika timnas melawan Timor Leste dan Kamboja? Dua pertandingan, di mana pemain-pemain Indonesia termakan provokasi jahat lawan-lawannya. Akibatnya sungguh merugikan, beberapa pemain absen karena hukuman kartu. Terutama tiga pemain penting absen di semifinal karena terlibat kericuhan dan terbawa suasana permainan kasar lawan.
Ketika menyandang ban kapten, banyak orang mengharapkan Anda bisa menjadi contoh mengambil keputusan dengan kepala dingin, memberi makna kepada arti profesional dan penuh dedikasi. Bukannya malah terbawa oleh provokasi lawan dan ikut terlibat. Hansamu Yama Pranata, justru absen di laga paling penting, ketika dirinya selalu dimainkan sepanjang SEA Games.
Marinus Wanewar, salah satu dari dua penyerang yang dibawa Indonesia di SEA Games. Ia juga mendapatkan larangan bertandingan karena hukuman kartu. Emosi, justru menjadi warna paling jelas dari pemain Persipura Jayapura ini. Ia justru mengambil keputusan dengan memakan mentah-mentah provokasi lawan.
Jika tidak mendapatkan larangan bertandingan, bisa jadi, Luis Milla bisa mengganti Ezra dengan Marinus. Karena terbukti, tanpa penyerang di ujung lapangan, cara bermain Indonesia perlahan menjadi semakin tidak jelas. Empat pemain dengan tipe pemain sayap menjejali lini depan. Tanpa faedah, seperti Arsene Wenger yang memasukkan Theo Walcott ketika Arsenal kalah dari Stoke City.
Jadi, kekalahan timnas dari Malaysia bukan hanya dari satu gol di penghujung laga saja. Kekalahan Indonesia sudah terjadi ketika sejak lama, kesalahan mengambil keputusan mewarnai perjalanan kontingen sepak bola Indonesia di SEA Games.
Kekalahan ini seharusnya, meski mungkin Anda sudah muak dengan kata ini: pembinaan dan kompetisi yang waras adalah tonggak penting, menyadarkan bahwa sudah waktunya melakukan pembenahan. Ya, Anda bisa mengatakannya sudah terlambat, atau pemangku jabatan tak punya niat yang tulus untuk membangun sepak bola Indonesia. Saya tak bisa menyalahkan.
Jangan salah mengambil keputusan dengan kembali tidak fokus dengan pembinaan dan memutar kompetisi yang sehat. Jangan sampai salah mengambil keputusan dengan memecah fokus dengan dunia yang benar-benar berbeda dengan sepak bola.
Sepak bola Indonesia sudah selayaknya mendapatkan pengasuh yang bijak, yang fokus, yang bisa membantu mengukur sebuah masalah dan mengambil keputusan yang tepat. Karena terkadang, kalah dan menang dalam sepak bola ditentukan oleh satu momen saja dalam periode yang panjang. Salah ambil keputusan, rusak susu sebelanga.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen